Mei

Mei

Nasional | jawapos | Minggu, 8 Mei 2022 - 06:36
share

Segalanya terbakar pada bulan Mei. Gedung, mobil, toko-toko, hingga jasad yang bertumpuk. Mei adalah ingatan tentang api yang melahap kehidupan, memusnahkan harapan menjadi serpihan abu.

PERISTIWA Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang menjadi lembaran kelabu dalam sejarah Indonesia. Mei merupakan kegetiran dalam almanak yang berisi kekacauan, huru-hara, penjarahan, dan pemerkosaan massal yang menimpa para perempuan etnis Tionghoa. Kekerasan yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei 1998 menyandera kesadaran masyarakat Indonesia dengan realitas yang menunjukkan perangai massa yang biadab dan sadis. Kekejian amuk massa tidak terlepas dari kesesatan pandangan rasialis dan seksis, wujud kebencian berlapis yang berbasis ras dan gender, yang dilampiaskan pada perempuan etnis Tionghoa.

Saksi sejarah yang juga anggota tim relawan untuk kekerasan terhadap perempuan pada tahun 1998, Ita Fatia Nadia, menceritakan pendampingannya terhadap korban pemerkosaan, salah satu korban berusia 11 tahun yang mengalami pemerkosaan di daerah Tangerang. Anak perempuan itu diperkosa hingga vaginanya terluka. Ibu dan kakak perempuan dari anak itu juga mengalami pemerkosaan, namun telah meninggal dunia beberapa jam yang lalu. Dia meninggal di pangkuan saya, ungkap Ita Fatia Nadia (arsip pemberitaan BBC).

Dalam buku berjudul Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan karya Dewi Anggraeni, tertulis secara jelas kronik peristiwa Mei 1998 yang sarat akan kekerasan seksual berikut uraian perjalanan berliku upaya elemen masyarakat sipil melakukan advokasi bagi para korban dan mendesak kehadiran negara dalam kasus pelanggaran HAM ini. Buku ini memaparkan pengalaman para relawan seperti Ita Fatia Nadia yang membantu dua perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan berkelompok. Mereka diperkosa di dalam mobil selama berjam-jam, kemudian dianiaya pada area payudara dan vagina.

Tokoh lainnya yang bersuara menggugat pemerintah adalah akademisi Melani Budianta. Ia menuliskan kekecewaannya dalam surat terbuka yang kemudian dipublikasi sebagai opini dalam salah satu media cetak pada tahun 1998. Ia mempertanyakan keheningan Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita (UPW) yang tampak abai terhadap kekerasan yang terjadi pada warga negara Indonesia. Ia mempertanyakan apakah keheningan negara terhadap nasib korban pemerkosaan tersebut disebabkan kejadian ini menimpa kelompok minoritas? Kemarahan Melani Budianta amat dapat dimengerti sebab sikap tak acuh pemerintah kala itu diterjemahkan sebagai bentuk kesangsian pada suara korban.

Ita Martadinata, seorang penyintas dari kejadian pemerkosaan Mei 1998 di Jakarta, memutuskan untuk menjadi relawan agar dapat membantu para perempuan korban lainnya. Ia juga bertekad bersaksi di mimbar resmi demi menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada publik. Ita Martadinata yang berusia 18 tahun dan masih mengenyam pendidikan tingkat menengah atas direncanakan berbicara dengan komite khusus internasional di PBB tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual pada kejadian Mei 1998. Tragisnya, Ita Martadinata dibunuh dengan kejam tiga hari sebelum keberangkatannya bersaksi di PBB. Tubuh Ita Martadinata ditemukan kali pertama oleh pendampingnya, yang memang secara intensif mengikuti proses pemulihan kejiwaan gadis itu. Ita Martadinata dibunuh secara bengis. Ia diperkosa, lalu tubuhnya ditikam di perut, dada, dan lengan, kepalanya nyaris terputus dari potongan di lehernya. Kepolisian menutup kasus pembunuhan Ita Martadinata sebagai kasus kriminal biasa. Namun, para rekan relawan serta kerabat korban meyakini bahwa pembunuhan itu adalah politik teror dan tekanan untuk membungkam pengungkapan fakta kekerasan Mei 1998.

Dokumen laporan temuan tim gabungan pencari fakta (TGPF) peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasi Komnas Perempuan menyampaikan data-data terkait dengan pola, skala, lokasi, maupun data korban kerusuhan. Kesimpulan dari laporan itu menerangkan bahwa dalam pola kerusuhan, meski terdapat massa pasif dan aktif di lokasi kejadian, TGPF menemukan bukti-bukti keberadaan kelompok provokator yang menggerakkan massa dan memancing keributan. Kelompok ini tidak berasal dari penduduk setempat dan merupakan kelompok kecil yang terlatih. Meski ada bentuk kerusuhan umum, indikasi sistematis dan kesengajaan lebih besar. TGPF menuding ada latar belakang pertikaian tingkat elite. Laporan itu juga menunjuk pihak yang berperan seperti premanisme lokal, organisasi politik, bahkan keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dalam tubuh ABRI.

Dalam laporan TGPF, dituliskan penuturan saksi seorang keluarga korban, Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko dan menjarah barang-barang. Sebagian lainnya menelanjangi korban (bernama R) dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar. Kedua gadis itu mati, sedangkan korban berhasil selamat karena ada yang menolong. (14 Mei 1998)

Melalui perspektif interseksional, kita dapat membongkar berlapisnya kekerasan yang dialami perempuan etnis Tionghoa. Kekerasan itu menargetkan tubuh mereka sebagai perempuan sekaligus identitas etnis mereka. Dalam hal ini, pemerkosaan bukan semata soal agresi kuasa lelaki terhadap perempuan, namun juga sebagai senjata teror rasial. (*)

SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia

Topik Menarik