Lebaran, Makanan, dan Harmoni

Lebaran, Makanan, dan Harmoni

Nasional | jawapos | Jum'at, 6 Mei 2022 - 19:48
share

CITRA Islam Indonesia kerap ternodai oleh sikap fanatisme keagamaan yang menggiring pada intoleransi dan kekerasan. Selain menyalahi fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, sikap itu menyalahi fitrah Islam Indonesia yang sejatinya mengandung nilai-nilai keharmonian terhadap kebinekaan budaya. Hal itu bisa dibuktikan dari citra makanan Idul Fitri/Lebaran. Apa hubungan Lebaran, makanan, dan harmoni?

Pertanyaan itu kiranya bisa sedikit dikaitkan dengan solilokui menggelitik dari mantan Presiden Burkina Faso Thomas Sankara (19841987) ketika dia menulis: Vous ne saves pas o est limprialisme? Regardez dans votre assiette! (Tak tahukah Anda di mana imperialisme? tuh lihat yang terhidang di piring Anda!). Sankara ingin memberi unjuk bahwa imperialisme bukan semata soal penjajahan politis. Tapi, juga asimilasi budaya kuliner di Afrika yang dipengaruhi budaya si penjajah (baca: Prancis).

Lantas, jika pernyataan Sankara itu diubah ke dalam konteks Islam Indonesia, bisa menjadi menarik jika diajukan pertanyaan: Seperti apakah wujud Islam di Indonesia? Lihat saja hidangan Lebaran-mu! Ya, dalam menu hidangan Lebaran, kita bisa lihat betapa terbukanya selera umat Islam terhadap pengaruh kuliner asing. Di dalamnya didapati bauran pengaruh kuliner lokal (daerah) dan asing (India, Arab, Tiongkok, dan Eropa).

Saking sudah berasimilasi, setiap unsur pengaruh itu tidak lagi dianggap asing. Malah menjadi menarik ketika banyak keluarga muslim menganggapnya sebagai tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari perayaan Lebaran. Jika demikian bukti keharmonisan Islam di Indonesia, kiranya perlu disigi, sejak kapan tradisi itu bermula?

Elemen Kuliner Lebaran

Salah satu simbol utama Lebaran adalah ketupat. Menurut H.J. de Graaf dalam Chinese Muslims in Java in the 15th Centuries (1984), ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa Kerajaan Demak abad ke-1516. Dalam budaya Jawa, ketupat atau kupat dimaknai secara simbolis dengan ngaku lepat (mengakui kesalahan). Makna tersebut selalu melekat saban Lebaran. Itu menunjukkan betapa luwesnya penerimaan Islam yang dibawa dari dunia Arab ketika ditambahi kearifan lokal seperti tradisi kupat.

Tentu kupat perlu hidangan pendamping. Untuk membasahi kupat yang padat dan kenyal dimakan itu, kehadiran kuah kari (sapi, kambing, ayam, atau telur) menjadi penting. Meski identik sebagai hidangan Lebaran, kari berasal dari pengaruh India yang dikenal kuat menggunakan banyak bahan rempah. Hubungan Nusantara dengan India sejak masa Hindu turut menjadikan kari sebagai bagian dari selera pribumi, mula-mula di kawasan pesisir Sumatera, yang berabad-abad sejak sebelum abad ke-13, memiliki hubungan niaga rempah-rempah dengan India.

Ketika pengaruh Islam mulai masuk dibawa orang-orang Arab yang berdagang sambil menyiarkan Islam sejak abad ke-13, sejak itu pula pengaruh kuliner Timur Tengah masuk ke dalam kuliner Nusantara. Beberapa pedagang Arab tinggal menetap dan menikah dengan para perempuan pribumi di pesisir Sumatera dan Jawa. Hubungan domestik itu turut membentuk asimilasi kuliner. Pengaruh kuliner asal Timur Tengah seperti opor, gulai, dan rabeg ternyata dapat dipadu dengan pengaruh rempah India dan kemudian menjadi khas kuliner Islam di Nusantara.

Aktivitas syiar Islam artinya bukan cuma soal misi melakukan Islamisasi terhadap pulau-pulau di Nusantara saja. Pendekatan kultural, termasuk di dalamnya kuliner, merupakan modal penting yang membuat si penyiar dan yang disyiar Islam saling memberi pengaruh kuliner mereka.

Selain menyebarnya pengaruh kuliner India dan Arab, orang-orang peranakan Tionghoa di Nusantara pun tidak ketinggalan menanam pengaruh kulinernya dalam kuliner Lebaran. Manisan adalah salah satu ciri khas kuliner peranakan yang dapat diresepi lidah masyarakat muslim. Di Cianjur, Jawa Barat, hingga kini kebanyakan empunya toko-toko manisan buah adalah orang-orang peranakan Tionghoa.

Mengingat begitu akrabnya hubungan sosial antara orang-orang muslim pribumi dan orang-orang peranakan (di antara mereka juga ada yang memeluk Islam), wajar jika aneka manisan seperti pala dan kolang-kaling juga tak luput dijadikan sebagai menu khas Lebaran. Tidak hanya memberikan pengaruh; orang-orang peranakan pun turut menerima pengaruh kuliner lokal, khususnya dodol, yang diadopsi sebagai makanan spesial dan khas kala mereka merayakan Imlek.

Keharmonian tidak berhenti sampai di situ. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20 turut mewariskan pengaruh kulinernya ke dalam tradisi kuliner Islam di Nusantara. Belanda yang lama menguasai Nusantara juga turut mewariskan pengaruh kulinernya. Mulai semur yang diturunkan dari kata smoor (Belanda mengadopsinya dari kuliner Jerman, schmoren) hingga kue-kue kering semisal kaastengels dan ananas taart atau nastar. Semuanya itu telah menjadi unsur pelengkap yang wajib ada dalam hidangan Lebaran.

Apa penyebab pengaruh kuliner Eropa bisa masuk menjadi bagian dari hidangan Lebaran? Hal itu disebabkan saling adopsi selera antara keluarga elite muslim pribumi (priayi) dan keluarga Eropa pada masa kolonial.

Jika keluarga pribumi merayakan Lebaran, ada keluarga Eropa yang mengantar kue-kue Eropa. Sebaliknya, jika keluarga Eropa merayakan Natal, ada keluarga pribumi yang mengantarkan olahan-olahan pribumi. Tidak heran jika ajang tukar-menukar resep pernah menjadi tradisi tersendiri antarkeluarga pribumi dan Eropa.

Keharmonian

Lapisan sejarah di atas telah membentuk kuliner Lebaran sebagai melting pot antar berbagai pengaruh religi dan budaya di Indonesia. Meski begitu, ini bukan sebatas soal berbagi makanan (sharing cuisine) atau urusan perut belaka.

Lebih dari itu, terkandung makna penting bagaimana muslim Indonesia sejatinya mampu berbagi kerukunan (sharing harmony) dalam keberagaman. Dan, Lebaran adalah momen tepat menikmati makna kuliner Lebaran untuk merekatkan kembali fitrah kebinekaan kita. (*)


*) FADLY RAHMAN, Dosen Departemen Sejarah & Filologi Universitas Padjadjaran

Topik Menarik