Harga Komoditas Pangan Meroket, Daya Beli Masyarakat Jadi Sorotan

Harga Komoditas Pangan Meroket, Daya Beli Masyarakat Jadi Sorotan

Nasional | genpi.co | Minggu, 1 Mei 2022 - 16:30
share

GenPI.co - Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebutkan kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang sudah berlangsung sejak awal tahun berpengaruh pada daya beli masyarakat.

Kestabilan harga bukan lagi menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Pemerintah perlu memperhatikan daya beli yang menurun akibat pandemi covid-19, kata Kepala Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta di Jakarta, Minggu (1/5/2022).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan September 2021 menunjukkan perbaikan dengan adanya penurunan 9,71 persen setelah setahun sebelumnya pada September 2020 mencapai 10,19 persen.

Namun, lanjutnya, pencapaian positif ini berpotensi menurun karena tingginya harga komoditas pangan.

Pangan merupakan komponen bernilai signifikan dalam konsumsi rumah tangga, terlebih pada masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat mencapai 50 persen.

Indeks Bulanan Rumah Tangga (Bu RT) dari CIPS menunjukkan harga minyak goreng di Jakarta pada Maret naik 32,18 persen menjadi Rp18.505 dari Rp14.000 per liter pada Februari atau naik 39,69 persen dari Rp 13.247 per liter dibandingkan Maret 2021.

Harga daging sapi juga naik sejak awal tahun. Pada Maret 2022 naik 9,27 persen dari Februari menjadi Rp153.700 per kg atau naik 2,28 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Felippa menjelaskan kenaikan harga tersebut berkaitan dengan kenaikan harga daging sapi dunia, kenaikan biaya distribusi, serta peningkatan permintaan jelang Ramadan.

"Karena suplai daging sapi Indonesia masih didominasi impor, yaitu sebesar 30 persen berdasarkan data Kementerian Pertanian 2020, kenaikan harga daging sapi internasional juga berdampak pada kenaikan harga domestik," katanya.

Berdasarkan data BPS, impor daging sapi Indonesia tahun 2020 didominasi Australia (47 persen), India (34,18 persen), Amerika Serikat (8,74 persen), Selandia Baru (6,46 persen), dan lainnya (3,62 persen).

Dalam jangka panjang, menurut Felippa, hal ini dapat memengaruhi konsumsi nutrisi. Masyarakat cenderung memilih makanan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih murah, tapi belum tentu mencukupi kebutuhan nutrisi yang diperlukan tubuh. (antara)

Video populer saat ini:

Topik Menarik