Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Dibangun Era Panembahan Senopati

Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Dibangun Era Panembahan Senopati

Nasional | radarjogja | Minggu, 17 April 2022 - 13:51
share

RADAR JOGJA Masjid Gedhe Mataram Kotagede merupakan masjid tertua di Jogjakarta. Mulai dibangun pada 1578 dan berdiri 1587 oleh pendiri Kerajaan Mataram Islam Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Itulah mengapa Masjid ini juga terkenal dengan nama Masjid Panembahan Senopati.
Bendahara II Takmir Masjid Gedhe Mataram Kotagede Muhammad Arsad menceritakan sejarah berdirinya masjid. Berawal dari perpindahan Ki Ageng Pemanahan dan anaknya Danang Sutawijaya ke Alas Mentaok Kotagede. Tanah ini merupakan pemberian Kasultanan Pajang atas pemberantasan pemberontakan Arya Penangsang.
Dulu alas Mentaok lalu dijadikan masjid atas saran gurunya, Sunan Kalijaga. Mulai dibangun 1575 oleh putranya Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya. Lalu berdiri 1587 bangunan induk fisik dan dua bangsal kanan kiri, jelasnya ditemui di Masjid Gedhe Mataram Kotagede, Minggu (17/4).
Arsitektur bangunan masjid memiliki ciri khas tersendiri. Berupa pagar bercorak Hindu yang mengelilingi area masjid. Berdasarkan sejarah, corak ini adalah wujud akulturasi antara Islam dan Hindu kala itu.
Arsad menuturkan, pembangunan masjid dilakukan secara gotong-royong. Umat Islam membangun bangunan utama masjid. Sementara umat Hindu mendirikan pagar mengelilingi masjid.
Dulu saat Ki Ageng Pemanahan dari Pajang ke Jogja melewati kampung Hindu. Jalan kaki, naik gerobak lalu masyarakat banyak yang tanya ada apa. Lalu tertarik untuk ikut. Masih ada nuansa Hindu memang tidak kita ubah. Setelah selesai, uniknya ada nuansa Islam kuat tapi Hindu juga kental, katanya.
Beragam pembangunan masih menghiasi sejarah Masjid Gedhe Mataram Kotagede. Sepeti pengembangan serambi masjid oleh Prabu Hanyokrowati pada 1601. Disempurnakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma pada 1613.
Pada era modern juga ada perombakan sisi depan. Berupa penambahan kolam yang mengelilingi masjid oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X pada 1926. Adapula sebuah prasasti pembangunan yang bertuliskan PB X di halaman masjid.
Memang sekarang Keraton Jogja dan Surakarta tapi penggunaan masjid siapapun boleh. Selain masjid juga ada 2 sumber mata air di sisi selatan. Sendang Kemuning untuk keluarga Pemanahan dan Send ag Selirang untuk pekerja masjid, ujarnya.
Memasuki 1613 Kerajaan Mataram Islam berpindah ibukota dari Kotagede ke Kerto, Pleret, Bantul. Perpindahan tak menyisakan apapun kecuali benteng kerajaan. Saat itu pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusuma.
Jejak Keraton Mataram Islam masih terlihat di berbagai sudut Kotagede. Hanya saja mayoritas sudah rusak dan hilang. Salah satunya akibat serangan Belanda pada kala itu.
Jejak keraton masih ada, benteng masih ada tapi keraton dulu begitu ditinggal pergi oleh pindah ke Pleret, diserang Belanda. Masjid tidak rusak karena dipakai terus. Masjid ditinggal tapi tetap dipakai warga, ceritanya.
Kini semua artefak sejarah tersimpan di Museum Kotagede. Termasuk Quran dalam tulisan tangan. Adapula atap masjid pada era pertama dibangun.
Tapi beberapa yang masih bisa dipakai tetap di sini. Seperti mimbar itu bantuan dari kerajaan Aceh. Lalu bedug juga masih digunakan setiap salat tiba, ujarnya.
Beragam kegiatan juga menghiasi Masjid Gedhe Mataram Kotagede selama Ramadan. Salah satu ciri khas adalah salat tarawih malam hari. Berlangsung dari 02.00 WIB hingga 03.00 WIB.
Bedanya dengan tarawih sore adalah bacaan surat yang cenderung panjang. Jamaahnya juga didominasi para orangtua maupun sesepuh. Setelah salat tarawih berlanjut saur, salat subuh berjamaah dan kajian Quran.
Salat sore imamnya ambil yang muda lebih cepat dan tidak lama, kalau malam agak lama, sekalian itikaf. Tarawih malam biasanya juga karena sore tidak bisa atau malah lebih senang di sepertiga malam, katanya. (Dwi)

Topik Menarik