Potensi Sagu sebagai Pangan Lokal Perlu Dioptimalkan
Impor terigu lebih dari 100 triliun rupiah, sehingga menggerus devisa yang besar sekali.
Luas lahan sagu di Indonesia 5,4 juta hektare atau yang terbesar di dunia.
YOGYAKARTA - Di tengah ancaman kenaikan harga komoditas pangan dan energi global, pemerintah diminta segera melakukan langkah antisipasi. Salah satunya dengan meningkatkan produktivitas pangan lokal, terutama yang sudah dikonsumsi masyarakat selain beras.
Diversifikasi pangan tersebut dengan mengurangi kebergantungan pada beras dan memperbanyak konsumsi jenis pangan lainnya, seperti jagung, singkong yang bisa jadi mocaf, dan sagu.
Khusus sagu, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan bahwa komoditas itu kalau diolah bisa menggantikan terigu. Syaratnya pun sederhana, yakni pemerintah punya kemauan dengan mengerahkan segala daya upaya kebijakan dan kemampuan untuk mendukung produksi sagu.
"Dari dulu kan komitmen politik yang belum ada. Mau kembangkan substitusi impor, kurangi impor, ini kapan mau dilaksanakan, hanya berhenti jadi wacana saja? Soal sagu, sebagian besar Papua dan juga di Maluku sangat mungkin bisa jadi sentra produksinya," papar Dwijono.
Menurutnya, pengembangan areal tanam sagu di Papua sudah dikerjakan oleh perusahaan dari Tiongkok. Kalau ada kemauan pemerintah untuk makin intensif produktivitasnya, dia yakin akan banyak pengusaha yang bersedia untuk terlibat baik dari dalam maupun dari luar negeri.
"Impor terigu lebih dari 100 triliun rupiah, ini uang yang besar sekali. Semua pasti mau terlibat kalau ada upaya bagaimana strategi agar bisa setidaknya harganya tak kelewat mahal dibanding terigu. Ada banyak upaya, yang penting komitmen politik," tandas Dwijono.
Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan sumber karbohidrat lokal masih sangat besar, tetapi saat ini sangat bergantung pada padi-padian dengan kontribusi lebih dari 60 persen.
Hal itu tentu saja sangat berisiko karena bebannya sangat berat pada padi/ beras padahal tantangan produksi padi sangat banyak. Mulai dari ancaman perubahan iklim, konversi lahan, stagnansi produksi karena degradasi agroekosistem. Belum lagi soal lahan sawah yang terus terkonversi, kelangkaan pupuk, dan lainnya.
"Dari dulu kita kenal banyak masyarakat di berbagai wilayah mengonsumi sagu, jagung, sorgum, ubi, dan lainnya sebagai pangan pokok. Sayangnya, sejak Orde Baru, semua masyarakat didorong mengonsumsi beras," kata Said.
Mumpung masih ada waktu, masyarakat harus didorong untuk beralih ke pangan alternatif lain yang beragam, salah satunya sagu. Inisiatif mengembangkan sagu sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dan swasta, namun belum memadai. Bahkan, di Sumatera dan Papua justru banyak area sagu yang kini berubah jadi kebun sawit.
Penguatan konsumsi sagu sebagai pangan pokok juga semestinya dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga menjadi industrialisasi yang melibatkan pelaku usaha lokal.
Selain itu, pengembangan kuliner sagu yang sesuai dengan situasi kekinian juga perlu dilakukan. Tentu saja dukungan pembiayaan dan fasilitasi perlu diberikan kepada masyarakat yang masih mengelola sagu.
Di Luwu Utara, jelas Said, pemerintah daerah sudah memiliki regulasi soal sagu untuk didorong sebagai pangan masyarakat bahkan mereka sudah mendapat pengakuan dari pemerintah pusat sebagai pemilik dari kuliner berbahan baku sagu yaitu kapurung, tetapi sayangnya dukungan dari pemerintah pusat rendah sehingga gerakannya masih belum optimal.

Terbesar di Dunia
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, mendorong pemerintah mengembangkan sagu sebagai bahan pangan nasional. Sebab potensi sagu Indonesia terbesar di dunia mencapai 5,4 juta hektare dari 6,5 juta hektare total luas lahan sagu dunia.
"Sekitar 95 persen dari luas lahan sagu di Indonesia berada di Papua yaitu seluas 5,3 juta hektare," kata Daniel.
Dia mengatakan, sagu adalah salah satu hasil bumi di Asia Tenggara yang banyak tumbuh di area rawa atau daerah dengan sumber air yang melimpah seperti di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua.
Sagu, katanya, dapat menjadi penunjang kebutuhan pangan karena memiliki sumber karbohidrat yang tinggi dan dapat dijadikan berbagai macam produk olahan.










