Pemerintah, DPR dan Masyarakat Dukung RUU TPKS Sebagai Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

Pemerintah, DPR dan Masyarakat Dukung RUU TPKS Sebagai Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

Nasional | koran-jakarta.com | Senin, 28 Maret 2022 - 18:20
share

Jakarta (26/03) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi VIII, Komnas Perempuan dan masyarakat mendukung pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sebagai payung hukum yang integratif dan komprehensif dalam menangani kasus kekerasan seksual. Pemerintah berkomitmen mewujudkan sistem pencegahan, penanganan, pemulihan, hingga penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual yang sebagian besar berasal dari kelompok rentan yakni perempuan dan anak.

"KemenPPPA memiliki 5 (lima) isu prioritas arahan Presiden yang salah satunya adalah memastikan upaya-upaya konstruktif untuk menurunkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam melakukan upaya-upaya menurunkan kasus kekerasan, Kemen PPPA memerlukan dukungan, kolaborasi, sinergitas multi pihak dan peran serta masyarakat untuk mendukung penanganan kekerasan seksual, pemulihan, pemenuhan hak korban dan penegakan hukum agar dapat dilakukan secara komprehensif mulai dari hulu dan hilir," tegas Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati dalam Webinar Nasional "Menyelami Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan (RUU TPKS) dan Implikasinya.".

Ratna melanjutkan, sebagai salah satu upaya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebuah regulasi atau payung hukum yang sifatnya lex specialis yang dapat mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual menjadi hal yang sangat penting.

"RUU TPKS telah melalui proses yang panjang, namun pada intinya pemerintah dan DPR sama-sama mendukung RUU ini. Payung hukum yang integratif dan konstruktif dalam menangani sebuah kasus merupakan hal yang penting, serta harus didukung mekanisme penyelenggaraan pelayanan terpadu. Selain itu, dibutuhkan kolaborasi peran lembaga masyarakat yang selama ini mendampingi korban kekerasan, beriringan dengan komitmen bersama antara DPR dan pemerintah," ungkap Ratna.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka optimis terhadap pengesahan RUU TPKS di DPR. Hal tersebut dikarenakan, meskipun masih banyak tantangan dan argumentasi yang disampaikan, baik dari internal DPR sendiri maupun dari pihak eksternal masyarakat, namun para anggota DPR telah memberikan perhatian yang tinggi terhadap RUU tersebut. Maka dari itu, dukungan dari publik sangat penting untuk memperkuat pembahasan RUU TPKS di DPR.

"Lebih lanjut, yang menjadi tantangan selain dari pembahasan RUU ini adalah bagaimana kedepan undang-undang ini akan diimplementasikan dan bagaimana membangun kesadaran sosial bersama. Memabangun kesadaran iu tidak hanya dari komunitas, tapi juga seluruh negara bahwa kekerasan seksual adalah suatu hal yang penting untuk diselesaikan,"

Oleh karenanya, Diah mengharapkan peran serta masyarakat untuk turut serta menyebarkan awareness terhadap pengentasan kekerasan seksual dan membangun budaya yang tidak mewajarkan kekerasan seksual.

Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan permasalahan perempuan dalam mengakses keadilan yang terjadi karena belum munculnya kesamaan persepsi mengenai kekerasan seksual, diantaranya; (1) berkenaan dengan perspektif yang masih mengkonstruksikan gender perempuan sebagai subordinat; (2) budaya hukum yang menangani permasalahan perempuan masih lemah; (3) dukungan pelayanan yang terbatas, kurang efektif dan keterlibatan masyarakat masih minim; dan (4) faktor struktural lainnya relasi kuasa dari strata sosial yang menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi, hingga kemajuan teknologi yang menyebabkan jenis kekerasan seksual merambah ke dunia digital.

"Dalam penghapusan kekerasan seksual bagi perempuan dan anak perempuan terdapat enam elemen kunci yang dapat harus masuk ke dalam payung hukum, sehingga memungkinan pihak korban pendapat ruang keadilan dan pemulihan. Hal tersebut diantaranya pencegahan, tindak pidana, sanksi atau pidana, hukum acara khusus, hak pemulihan korban dan pemantauan," jelas Andy.

Andy juga menegaskan pentingnya menekankan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan korban serta keluarga korban. Serta, memberikan pelayanannya dapat benar-benar dapat mengakomodir kebutuhan korban.

Dalam kesempatan tersebut turut Hadir Akademisi dari Universitas Katolik Parahyangan, Niken Savitri yang menyampaikan pentingnya sosialisasi RUU kepada masyarakat dan aparat penegak hukum. Melalui sosialisasi itu diharapkan sesama masyarakat dapat turut berkontribusi dalam membangun kesadaran mengenai apa itu kekerasan seksual, melakukan pencegahan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, karena seluruh masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama untuk berkontribusi terhadap dalam isu kekerasan seksual sesuai dengan bidang dan kapasitas masing-masing. (IKN/TSR)

Topik Menarik