Nasib Menkeu Afghanistan, Kabur ke AS Hidup Jadi Sopir Taksi Online

Nasib Menkeu Afghanistan, Kabur ke AS Hidup Jadi Sopir Taksi Online

Nasional | law-justice.co | Senin, 21 Maret 2022 - 12:20
share

Hingga musim panas tahun lalu, Khalid Payenda masih menjabat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) Afghanistan dan mengawasi anggaran sebesar US$ 6 miliar (Rp 86 triliun). Kini, tujuh bulan usai Kabul jatuh ke Taliban, Payenda mengemudikan kendaraannya menjadi sopir taksi online di Amerika Serikat (AS).


Seperti dilansir media terkemuka AS, The Washington Post, Senin (21/3/2022), Payenda mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menkeu sepekan sebelum Taliban menguasai Kabul tahun lalu. Saat itu, mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menegurnya dalam rapat publik dan kemudian mencelanya secara privat atas kegagalan Kementerian Keuangan untuk melakukan pembayaran relatif kecil ke sebuah perusahaan Lebanon.

Payenda menuturkan saat itu dia tidak berpikir pemerintahan Afghanistan akan jatuh, namun dia merasa telah kehilangan kepercayaan presiden. Dia mengaku khawatir jika Presiden Ghani menangkap dirinya dengan dakwaan palsu, oleh karena itu dia terbang ke AS menyusul istri dan anak-anaknya yang terlebih dulu mengungsi.

Saat ini, Payenda tinggal bersama keluarganya di Woodbridge, Virginia, AS, dan harus bekerja sebagai sopir Uber. Keberhasilannya kini diukur dalam ratusan dolar, bukan lagi miliaran dolar.

"Jika saya menyelesaikan 50 perjalanan dalam dua hari berikutnya, saya menerima bonus US$ 95 (Rp 1,3 juta)," tutur Payenda.

Menjadi sopir Uber kini menjadi cara Payenda menghidupi istri dan empat anaknya, setelah dia menghabiskan tabungannya untuk menyokong kehidupan keluarganya yang mengungsi ke AS. "Saya merasa sangat bersyukur untuk itu," ucap Payenda yang berusia 40 tahun ini.

"Itu berarti saya tidak perlu putus asa," imbuhnya.

Bekerja sebagai sopir taksi online di AS juga menjadi pengalihan sementara bagi Payenda atas tragedi yang melanda negaranya, Afghanistan, yang sudah menderita akibat kekeringan, pandemi virus Corona (COVID-19), sanksi internasional, perekonomian yang kolaps, kelaparan dan kebangkitan kekuasaan Taliban.

Pertanyaan soal apa yang terjadi dan siapa yang salah terkait situasi di Afghanistan, terus menghantui Payenda. Dia menyalahkan sesama warga Afghanistan.

"Kami tidak memiliki keinginan kolektif untuk reformasi, untuk menjadi serius," sebut Payenda.

Dia juga menyalahkan AS karena menyerahkan negaranya ke Taliban dan mengkhianati nilai-nilai yang disebut menghidupkan perjuangan mereka. Payenda juga menyalahkan dirinya sendiri. "Itu memakan Anda hidup-hidup," ucapnya.


Payenda menuturkan dirinya merasa terjebak antara kehidupan lamanya dan mimpi untuk Afghanistan, dengan kehidupan barunya di AS yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan.

"Sekarang, saya tidak punya tempat. Saya tidak pantas di sini, dan saya tidak pantas di sana. Ini adalah perasaan yang sangat kosong," sebutnya.

Pada 15 Agustus tahun lalu, saat pemerintah Afghanistan jatuh dan Taliban berkuasa, Payenda terbangun membaca pesan singkat dari Direktur Bank Dunia di Afghanistan yang berbunyi: "Sungguh hari yang menyedihkan."

Dia pun memberikan jawabannya usai memeriksa Twitter dan menyadari Taliban kini berkuasa di Afghanistan.

"Sekarang itu telah berakhir, kami memiliki 20 tahun dan dukungan seluruh dunia untuk membangun sistem yang akan bekerja untuk rakyat. Kami gagal total. Yang kami bangun hanyalah rumah kartu yang runtuh secepat ini. Rumah kartu yang dibangun atas dasar korupsi. Beberapa dari kami di pemerintahan memilih untuk mencuri bahkan ketika kami memiliki kesempatan terakhir yang tipis. Kami mengkhianati rakyat kami," tulisnya saat itu.

Topik Menarik