Presiden dan Lidahnya

Presiden dan Lidahnya

Nasional | jawapos | Senin, 14 Maret 2022 - 06:45
share

PADA 21 Mei 2017, melalui kanal YouTube-nya Presiden Joko Widodo merilis video bertajuk Cerita dari Dapur Presiden. Juru masak Tri Supriharjo menuturkan makanan kegemaran sang presiden yang akrab disapa Jokowi ini sederhana sekali. Ungkapnya, apa yang dimakan sehari-hari oleh Jokowi adalah masakan rumahan seperti sup ayam, sayur bening ayam, tumis pepaya muda, tumis oseng-oseng tempe, mi ketoprak, soto kuning, tempe tahu bacem, teri goreng, dan seperti halnya kebanyakan orang Indonesia, makanan pokoknya adalah: nasi. Kudapan favoritnya singkong goreng, jagung rebus, lento, dan bakwan. Adapun minuman kegemarannya selain jus, juga minum jamu dan teh pahit.

Apa yang dikesankan sederhana oleh sang juru masak mungkin disebabkan makanan dan minuman favorit seorang presiden tidak jauh berbeda dengan yang dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan.

Nama-nama makanan dan minuman yang disebutkannya pun bukan sekadar masakan rumahan, namun sangat mencitrakan cita rasa keindonesiaan sekaligus latar kedaerahan sang presiden. Di awal video, sang juru masak menyebut dirinya berasal dari Solo, kampung halaman yang sama dengan sang presiden. Apa yang dapat dimaknai dari cerita di balik dapur presiden adalah betapa lekat lidah Jokowi sebagai seorang berdarah Jawa terhadap cita rasa makanan dari kampung halamannya.

Makna di Balik Selera Makan

Dalam dunia kepresidenan, ada protokol tertentu yang mengatur aktivitas makan seorang presiden. Salah satu tolok ukur kewibawaan dan martabat seorang presiden tentu dari makanan apa yang dimakan dan bagaimana ia makan. Tidak heran untuk mengetahui gambaran seperti apa selera makan presiden ke-7 RI, yang menjadi penyambung lidahnya adalah sang juru masak.

Namun, protokol semacam itu tidak berlaku bagi Soekarno. Presiden ke-1 RI ini dapat dikatakan sering terang-terangan dalam mengutarakan makanan kegemarannya. Bahkan, ia tidak sungkan difoto dalam keadaan tengah nikmatnya makan bersama rakyat. Dalam orasinya yang berapi-api, kadang didapati Soekarno menyelipkan makanan-makanan kegemarannya sebagai simbolisasi atas perjuangan bangsa, keprihatinan, kesederhanaan, dan spirit antikolonialisme.

Dalam sebuah pidatonya di Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, Soekarno pernah mengungkapkan selera makannya sehari-hari: Nasi sama lodeh, tempe goreng, telor. Saya tidak makan biefstuk saya tidak makan hal-hal yang mahal. Tapi makan saya sehari-hari ialah sama, simple, nasi dengan lodeh dengan sayur asem, dengan tempe goreng, dengan telor, dengan sambel terasi yang sedap. Tidak makan biefstuk alias bistik adalah sebagian kecil dari prinsip antikolonial Soekarno yang nyata merasuk juga terhadap urusan makan. Hal itu tersiratkan dari apa yang disampaikannya kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966): Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar. Hal itu menyebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita dari kabinetku selalu menyediakan jualan makanan Eropa. Kita mempunjai panganan enak kepunyaan kita sendiri, kataku dengan marah. Mengapa tidak itu saja dihidangkan?

Kesan makanan kesukaannya yang sederhana, tidak mahal, dan sama dengan apa yang dimakan rakyatnya bukanlah sebentuk pencitraan Soekarno selaku bapaknya wong cilik. Di rumah tangganya kesan menu makan sehari-hari Soekarno memang sangat bercita rasa Indonesia. Hal itu dikisahkan oleh Fatmawati tentang pengalamannya dalam memasakkan hidangan untuk Soekarno ketika staf rumah tangga kepresidenan belum terbentuk. Dalam buku Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1978), istri Soekarno ini mengatakan: Sukarno selalu minta supaya aku memasak makanan yang menjadi kesukaannya seperti lodeh rebung, rendang, balado ikan, pecel, tempe goreng, sambal lele, gado-gado, ikan teri goreng, ikan kuning, pepes daun singkong dll.

Dari menu domestik kesukaan Soekarno olahan Fatmawati tersebut terlihat keragaman makanan yang bukan hanya berasal dari Jawa. Ada unsur cita rasa Minang, Betawi, dan Sunda pula di dalamnya. Sebagai seorang berdarah Jawa, lidah Soekarno juga terbuka dengan makanan-makanan dari daerah lain. Secara simbolik, boleh dibilang ini mewakili sebentuk kebinekaan Indonesia di pinggannya selaku seorang presiden. Perhatiannya terhadap makanan Indonesia pun diejawantahkannya ketika pada 1960 ia mencetuskan ide kepada Menteri Pertanian Aziz Saleh untuk menyusun buku masak nasional sebagai wujud memperkuat identitas kebangsaan. Buku masak tersebut terbit pada 1967 dengan judul Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Meskipun aroma politis terasa di dalam proyek penyusunan Mustika Rasa, ada kesan penting yang menyeruak di balik kurang lebih 1.600 resep sebagaimana terkandung di dalam buku masak ini. Sebuah kesan yang memancarkan citra betapa melimpahnya rasa kedaerahan kuliner Indonesia.

Pluralisme Makanan

Seperti halnya Soekarno dan Jokowi, lidah presiden Indonesia lainnya juga sangat lekat dengan selera Indonesia. Soeharto sangat menyukai tempe. Salah satu penulis biografi presiden ke-2 RI ini, Mahpudi dalam bukunya Pak Harto: The Untold Stories (2011), menyingkap makanan favorit Soeharto: tidak mewah, biasanya hanya tempe bacem, sayur lodeh, dan makanan lain yang murah.

Presiden Ke-3 Habibie, selain lidahnya gemar makan sayuran dan aneka olahan ikan khas Sulawesi, menyukai makanan tradisional Bugis-Makassar seperti barongko, putu passe, dan sanggara bandang. Berbeda dengan selera makan Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia dikenal berani ambil risiko menikmati aneka makanan Minang semisal gulai (otak sapi dan limpa) dan dendeng batokok serta makanan khas kampung halamannya (Jombang): nasi kikil. Adapun Presiden Ke-5 Megawati gemar makan gado-gado dan bakmi jawa. Dan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, di samping tempe bacem, pecel lele, pecel madiun, dan tahu sumedang, gemar makan nasi goreng.

Apa yang bisa disarikan dari selera lidah para presiden Indonesia dari masa ke masa adalah kebinekaan kuliner di balik makanan kegemaran mereka. Gus Dur pernah memberi komentar menarik perihal makanan Indonesia sebagai simbol untuk memaknai pluralisme. Dalam dialognya dengan KH Maman Imanulhaq Faqieh seperti tertuliskan dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010), Gus Dur mencetuskan istilah pluralisme makanan.

Istilah cetusan presiden ke-4 RI itu rasanya sangat mewakili selera lidah para presiden Indonesia terhadap makanan-makanan kegemaran mereka. Jika makna pluralisme makanan ini dikaitkan dengan selera lidahnya para presiden, tentu saja jadi memiliki arti lebih di mata rakyat sebagai pesan kebinekaan yang terwujudkan melalui keragaman cita rasa keindonesiaan. Ini makna yang sejatinya perlu ditonjolkan ketimbang tanpa disadari merendahkan makna kegemaran para presiden dengan istilah: sangat sederhana, tidak istimewa, tidak mahal, dan murah. (*)

*) FADLY RAHMAN, Departemen Sejarah & Filologi Universitas Padjadjaran

Topik Menarik