Otak dan Udang Goreng Warung Bu Eha Bandung Kegemaran Inggit Garnasih

Otak dan Udang Goreng Warung Bu Eha Bandung Kegemaran Inggit Garnasih

Nasional | jawapos | Senin, 14 Maret 2022 - 06:30
share

Di Bandung, Bung Karno berjumpa istri keduanya, Inggit Garnasih. Di sana pula kiprah politiknya kian luar biasa. Namun, Kota Kembang juga menyimpan memori indah tentang petualangan kuliner Sang Proklamator. Warung Nasi Bu Eha salah satunya.

SAHRUL YUNIZAR, Surabaya

MAHASISWA dan mereka yang pernah berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pasti mengenal Ma Eha. Atau, setidaknya pernah mendengar namanya. Dia adalah pemilik Warung Nasi Bu Eha. Itu adalah warung langganan mahasiswa ITB. Lebih tepatnya, unit pertolongan pertama bagi mahasiswa-mahasiswa duafa yang kelaparan. Pendeknya, mereka yang sampai harus utang dulu untuk makan.

Ma Eha bagaikan juru selamat bagi para mahasiswa tersebut.

Dia juga tidak pernah menolak kedatangan mereka. Di warung nasi yang dia kelola, para mahasiswa itu boleh makan sesukanya meski kantong mereka bolong. Bayarnya boleh saat kiriman uang dari kampung sudah tiba.

Layaknya warung makan lain di Bandung dan sekitarnya, Ma Eha menyajikan menu khas Sunda. Ada sayur lodeh, pepes ikan, pepes ayam, ayam goreng, tahu dan tempe goreng, gepuk, sambal dadak, juga lalapan. Pembeli yang datang boleh mengambil nasi sepuasnya, pun demikian lauknya. Pola itu tidak berubah sejak kali pertama Ma Eha membuka warungnya.

Mereka yang sudah menjadi pelanggan di warung itu tidak akan kagok saat butuh makan banyak. Sebaliknya, mereka juga tidak takut kekurangan jika terlalu sedikit mengambil nasi dan lauk. Sebab, mereka bisa nambah lagi.

Lokasi warung yang tidak pernah pindah dari awal berdiri juga memudahkan pelanggan untuk berkunjung. Warung Nasi Bu Eha berada di Pasar Cihapit, Bandung. Letaknya memang agak ke dalam. Dari parkiran pasar, pengunjung harus menyusuri lorong dengan berjalan kaki sekitar lima menit lebih dulu.

Warung legendaris itu selalu ramai pengunjung meski lokasinya tidak persis di pinggir jalan raya. Bahkan, banyak yang bukan mahasiswa atau almamater ITB yang menyempatkan datang ke warung tersebut. Mereka penasaran dengan warung nasi yang menjadi langganan para pejabat Jawa Barat itu.

Jauh sebelum menjadi warung favorit para pejabat atau mahasiswa, masakan Ma Eha lebih dulu memikat Bung Karno. Inggit kerap memesan masakan dari warung tersebut. Baik untuk dia konsumsi sendiri maupun untuk disantap bersama keluarga. Jika Bung Karno sedang singgah ke Bandung, Inggit menyuguhkan masakan Sunda buatan Ma Eha di rumah.

Biasanya otak sama udang, udang goreng, ungkap Ma Eha tentang masakan favorit Inggit yang disuguhkan kepada Soekarno. Kepada Jawa Pos yang menemuinya pada 11 Desember 2021, perempuan 90 tahun itu mengatakan bahwa Bung Karno memang belum pernah datang langsung ke warungnya. Tapi, masakan Ma Eha berkali-kali disantap Putra Sang Fajar tersebut.

Kebanggaan itu Ma Eha abadikan dengan memajang foto Bung Karno pada salah satu sudut warungnya. Sepanjang ingatan ibu tujuh anak tersebut, selain Inggit, dua putra Bung Karno juga beberapa kali memesan masakan dari warungnya. Mereka adalah Guntur Soekarnoputra dan Guruh Soekarno Putra.

Meski tidak rutin membeli, masakan Ma Eha cocok dengan selera keluarga Bung Karno. Itu jelas menjadi kebanggaan bagi Ma Eha dan keluarganya. Meski demikian, Ma Eha selalu memperlakukan semua pembeli dan pelanggan warungnya dengan istimewa. Kepuasan mereka adalah kebahagiaan Ma Eha. Karena itulah, di usia yang sudah sepuh, Ma Eha tetap mengawasi dapur warungnya.

Ma Eha mengarahkan, mencicipi, dan memastikan rasa semua masakannya lezat. Enak dan bisa membuat lidah para pelanggannya berdansa. Meski sebagian besar pengunjung warungnya adalah pelanggan dan mereka yang benar-benar ingin menikmati masakan Ma Eha, ada pula yang sekadar datang dalam rangka membuat konten hiburan.

Almarhum Kang Oded (mantan wali kota Bandung)sering ke sini. Kang Emil (Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Red) juga suka datang, kata Ma Eha. Karena urusan warung, termasuk masak-memasak, sudah ditangani putra-putrinya, kini kegiatan Ma Eha hanyalah menemani pelanggan dan mengajak mereka ngobrol.

Dalam aktivitas itulah, biasanya Ma Eha menceritakan kisah-kisah lama seputar warung tersebut dan pelanggannya. Nostalgia. Tono, salah seorang pelanggan, mengatakan bahwa ngobrol dengan Ma Eha adalah hal yang sangat dia nikmati di warung tersebut. Resep (Suka, Red) kalau ke sini itu Ma suka ngajak ngobrol. Malah lebih lama ngobrol daripada makannya, ucapnya.

Ma Eha tidak hanya menyapa mereka yang pelanggan lama. Dengan tekun, dia menghampiri hampir semua meja. Pengunjung yang baru kali pertama singgah ke warungnya pun tidak luput dari keramahannya. Gimana masakannya, enak atau nggak? Apa kurangnya? katanya.

Warung Nasi Bu Eha buka setiap hari kecuali Minggu. Tanggal merah juga buka. Malah rame banget kalau tanggal merah, kata Ma Eha. Warung yang buka dari pagi buta itu selalu ramai pada jam sarapan dan makan siang. Dan pada jam-jam sibuk tersebut, Ma Eha juga berada di warungnya setiap hari.

Ma enggak bisa dilarang. Selama bisa, maunya kerja, kata Yusup, salah seorang anak Ma Eha. Sebagai anak, dia sebisanya ikut membantu dan mengawasi. Dia juga bertekad meneruskan cita-cita ibunya untuk tetap melestarikan warung nasi di dalam pasar tersebut.

Jadikan Bung Karno Brand Warungnya

MEREKAT rangkaian memori dari tiap pelanggannya. Begitulah cara Ma Eha mengelola warung nasi miliknya. Kekuatan kenangan pula yang membuat warung nasi sederhana di tengah-tengah Pasar Cihapit, Kota Bandung, Jawa Barat, itu bertahan.

HALL OF FAME: Foto Presiden ke-1 RI Soekarno terpajang di dinding warung Ma Eha di Pasar Cihapit, Bandung. (Salman Toyibi/Jawa Pos)

Sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman menyebut Ma Eha sebagai sosok yang piawai merawat memori.

Lebih dari itu, dia pun pandai merawat tiap keping memori tersebut sehingga para pelanggan selalu rindu datang lagi ke Warung Nasi Bu Eha yang dikelolanya. Itu adalah kemampuan merawat memori, kata penulis buku Jejak Rasa Nusantara tersebut kepada Jawa Pos pada awal Maret.

Tiap kali ada pelanggan yang datang, Ma Eha menyajikan makanan favoritnya sambil menemaninya berbincang. Tiba-tiba saja warung nasi itu seperti terlempar ke masa lalu. Masa-masa ketika Ma Eha dan si pelanggan masih lebih sering bertemu pada jam-jam makan.

Ma Eha memang kemudian menjadi alasan tersendiri bagi para pelanggan untuk kembali ke warung tersebut. Sapaan hangat dan interaksi yang diciptakan Ma Eha lewat perjalanan dari meja ke meja, kursi ke kursi, di dalam warung itu, menggarisbawahi kembali kenangan antara si pelanggan dan dirinya.

Bagaimana dengan pelanggan baru? Ma Eha akan tetap mendatangi dan mengajak bicara. Istilahnya, menciptakan kenangan. Dalam pertemuan pertama, Ma Eha tidak akan pelit berbagi tentang sejarah warungnya. Ya pasti tentang Bung Karno juga. Sebab, presiden pertama RI itu adalah pelanggan tetap. Sampai sekarang, foto Sang Proklamator masih melekat pada salah satu dinding warung.

Bung Karno memang belum pernah datang langsung ke Warung Nasi Bu Eha. Tapi, dia adalah fans masakan Sunda yang menjadi kekuatan warung tersebut. Memang yang dimunculkan oleh Ma Eha itu merupakan satu bentuk pencitraan, imbuh Fadly.

Kepada para pelanggan warung, Ma Eha mem-branding warungnya agar identik dengan Bung Karno. Menurut Fadly, di situ letak kehebatan Ma Eha. Dia mampu mengelola warung nasi sederhana, yang menghidangkan makanan Sunda pada umumnya, menjadi warung yang luar biasa. Melegenda di Cihapit, ucapnya.

Topik Menarik