Geertz Wilders: Sinyo Urakan Sukabumi yang  Anti Islam dan Kini Serukan Indonesia Minta Maaf

Geertz Wilders: Sinyo Urakan Sukabumi yang Anti Islam dan Kini Serukan Indonesia Minta Maaf

Nasional | republika | Senin, 21 Februari 2022 - 14:22
share

Pernyataan Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte yang telah menyampaikan permintaan maaf atas kekerasan ekstrem dan sistematis saat perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1950 terus menjadi perhatian publik Indonesia hari-hari ini. Banyak orang Indonesia yang masih marah dan menaruh dendan, sebab diantara mereka banyak sekali punya keluarga yang dahulu dibantai begitu saja. Sampai sekarang mereka tak tahu keluarganya itu di makamkan di mana.

Namun, di tengah suasana yang masih panas, tiba-tiba anggota parlemen Belanda, Geert Wilders mengkritik permintaan maaf pemerintah Belanda tersebut. Politisi sayap kanan keturunan Sukabumi itu menganggap bahwa permintaan maaf itu tidak pantas karena Belanda juga banyak dirugikan selama perang kemerdekaan Indonesia.

"Di mana permintaan maaf dari pihak Indonesia atas kekerasan mereka terhadap Belanda dan Bersiap? Menghukum tentara Belanda adalah memalsukan sejarah. Mereka adalah pahlawan. Kita harus berdiri di belakang veteran kita. Permintaan maaf tidak pantas," demikian cuitan politisi kontroversial itu dalam bahasa Belanda di akun Twitter pribadinya @geertwilderspvv, Sabtu (19/2/2022).Baca artikel detiknews, "Politisi Kontroversial Geert Wilders Kritik Permintaan Maaf Belanda ke RI".

Cuitan Wilders kontak memantik kemarahan publik Indonesia. Netizen Indonesia kontan menggeruduk akun dia. Sumpah serapah tentu berhamburan seperti frase nitip sandal hingga menyebut dia sebagai orang tak tahu sejarah. Ini karena Belanda-lah yang datang menyerbu Indonesia padahal kala itu sudah merdeka.

Meski berdarah Sukabumi, dalam sebuah artikel yang terbit di media Belanda, groene.nl Wilders memang tidak merasa nyaman dengan asal-usulnya. Melalui tulisan dalam biografinya It can\'t get much crazier (2008) karya Arthur Blok dan Jonathan van Melle, Wilders, ketika ditanya tentang latar belakang Indonesianya, muncul dengan cerita yang tidak jelas. Terlihat Wilders malu atas usasl usulnya yang datang dari tentara Belanda yang lazim disebut sebagai anjing Nica, yakni tentara KNIL. Anjing mungkin diangap berharga bagi orang Belanda, tapi bagi orang Indonesia disebut sebagai panggilann hina dina karena binatang haram.

Ayah ibu saya adalah seorang mayor di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan dia dikirim ke sana. Ibu saya lahir dari orang tua Belanda, tetapi dia memiliki beberapa saudara perempuan, salah satunya menikah dengan pria Indonesia. Sejauh yang saya tahu dan ingat, saya memiliki dua sepupu asli dan seorang paman dari Indonesia. Saat itu, ibu saya tinggal di Hindia Belanda selama tiga bulan dan kemudian pergi ke Prancis, ketika ayahnya, kakek saya, harus kembali. Semua putrinya kemudian juga kembali dengan kerabat melalui pernikahan, jadi ada beberapa pengaruh India yang terlihat di keluarga saya. Kami kadang-kadang pergi membuat kerupuk udang di akhir pekan bersama kakak perempuan tertua ibuku, yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda.\'

Menurut media itu, keluarga Wilders memang mengalami nasib buruk dii Hindia Belanda. Kenyamannya sontak terampas ketika Jepang mengalahkan Belanda dengan sangat mudah tanpa satu tembakan meletus di Hindia Belanda. Setelah itu, orang tua Wilders kontan masuk dalam derajat masyarakat \'kelas kambing\' yang menghuni kamp-kamp interniran. Jepang kala itu mengeluarkan kebijakan pelarangan kehadiran kulit putih sepenuhnya dari ruang publik.

Sikap inilah yang kini masih berakar pada komunitas Hindia Belanda yang menjadi pendukung Wilders. Ini makin menjadi ketika di dalam bawah sadar Wilders dan kelompoknya tahu bahwa orang Islamlah yang terus menerus melawan dan menggerofoti kenyamanan mereka selama masa penjajahan. Benar Islam sebagai pengganggu itu tertanam begitu kuat di alam bawah sadar mereka. Dan ini kemudian terekspresi pada sosok Wilders yang kini menjadi politikus nomor wahid yang anti Muslim di Belanda.

Anak pensiunan pekerja kolonial yang bangkrut

Bila di lihat dalan Arsip Nasional Belanda, ada kisah untuk bisa mengetahui siapa sebenarnya kakek Wilders yang bernama Johan Ording yang ternyata orang biasa saja dan bukan dari golongan elit atau kaya, apalagi bangsawan.

Ording, lahir di Utrecht, adalah Wakil Inspektur Pengawas Keuangan Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur. Dia telah menghabiskan enam bulan pertama cutinya, musim gugur 1933, di Nice. Dia kemudian menetap di desa gereja Grubbenvorst dekat Venlo, bersama dengan istrinya Johanna, yang berasal dari keluarga tua Indonesia dan tujuh anak mereka yang masih kecil.

Ording untuk sementara menetap di Grubbenvorst yang terpencil karena alasan ekonomi. Saat sudah di Nice, dia pernah dinyatakan pailit (lagi) di Surabaya. Pada musim gugur tahun 1934 ia tiba-tiba menerima telegram di Grubbenvorst yang memberitahukan bahwa ia telah diberhentikan karena tidak layak untuk dinas. Dia disarankan untuk mengajukan pensiun sesegera mungkin. Pensiun itu masih belum dibayarkan, jadi dia sangat membutuhkan uang.

Lagi-lagi dia bangkrut. Parahnya lagi, Ording dan keluarganya ternyata tidak mendapat ganti rugi untuk pulang ke Hindia Belanda, karena dia lahir di Belanda. Istri dan anak-anaknya, bagaimanapun, semuanya lahir di Jawa.

Bagi isteri Ording, Johanna yang kala itu sedang hamil serta berasal keluarga Meijer Hindia-Yahudi yang terkenal dan besar dan terbiasa dengan segerombolan pelayan di sekitarnya, tinggal pertama di Belanda seperti itu pastilah mengerikan. Dia kini harus merawat anak-anak (yang tertua berusia tiga belas tahun) sendiri. Baginya jelas sebuah pengalaman baru yang aneh. Dia mungkin hampir juga tidak bisa memahami dialek lokal di Belanda kala itu.

Selama bulan-bulan pertama keluarga yang terdampar di Belanda ini menerima sejumlah kecil bantuan sementara dari Hindia, yang juga berkurang karena hutang. Dua bulan setelah Johanna melahirkan pada Januari 1935, bantuan ini berakhir tanpa pemberitahuan. Ording dan keluarganya menjadi pengemis dan juga diancam akan digusur. Dia menulis surat kepada Komite Krisis Nasional untuk mendapatkan dukungan

Meskipun serangkaian permintaan informasi, Ording masih belum mendengar mengapa, setelah 17 tahun, ia dinyatakan tidak layak untuk layanan tersebut. Memang benar bahwa dalam kehidupan pribadinya ia secara teratur harus menghadapi kesulitan keuangan yang besar dan kebangkrutan (yang ia kaitkan dengan \'kurangnya tanggung jawab penuh untuk sementara\' dari istrinya). Dia juga sementara bekerja di posisi lain sebelum keberangkatannya.

Begitu dia meninggalkan Hindia Belanda, ternyata Ording kembali terlilit hutang yang tinggi selama persinggahan panjang dalam perjalanan ke kapal, di Soekaboemi (di mana ibu Wilders dilahirkan sebagai anak ketujuh, mungkin di rumah orang tua Johanna). Di Soekaboemi, penyelidikan yudisial atas Ording juga telah dibuka atas tuduhan penipuan oleh pasangan tersebut. Yang kemudian ditetapkan adalah bahwa Ording dengan sengaja merugikan beberapa kreditur, tidak hanya di Hindia Belanda, tetapi juga cuti di Nice. Penilaian resminya, bagaimanapun, selalu lebih dari cukup dan, menurut laporan resmi, "kemampuannya tidak buruk."

Dengan demikian Ording tidak mengetahui mengapa dia tidak menerima pensiun dan mengapa bantuan sementara tiba-tiba berhenti: dia tidak menerima informasi lebih lanjut, baik dari Hindia Belanda maupun dari Den Haag.

Dengan kehabisan akal, pada bulan April 1935, dia menghadap Menteri Koloni Colijn dengan petisi yang mengharukan, di mana Ording memintanya untuk menyelamatkan keluarganya \'pada saat terakhir dari kehancuran total\'. Sekarang Provinsi Jawa Timur meninggalkan saya dan keluarga saya, yang terdiri dari delapan anak yang masih sangat kecil selain saya dan istri saya, untuk amal umum. Saat ini, Yang Mulia, keluarga saya sangat membutuhkan.

Atas saran Gubernur Jenderal De Jonge, Colijn memutuskan untuk menolak permohonan pensiun Ording. Menurut De Jonge, Ording bersalah atas \'pelanggaran serius\' di Hindia Belanda sehingga dia kehilangan semua hak pensiunnya. Dilaporkan dari Jawa Timur bahwa dia "tidak bisa mengatur urusannya", bahwa dia "benar-benar tidak dapat diandalkan baik secara finansial maupun moral," dan bahwa "seperti istrinya, dia terbiasa hidup jauh di luar kemampuannya."

Fakta bahwa Ording tidak pernah bisa membela diri terhadap tuduhan luar negeri ini tampaknya tidak memiliki bobot dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk membatalkan keputusan secara hukum, Colijn menggunakan trik yang buruk: karena Ording tidak dapat mengatakan bahwa dia tidak layak untuk semua dinas di Hindia Belanda, dia tidak memenuhi syarat untuk skema pensiun saat ini.

Topik Menarik