Catatan Hari Pers Nasional: Rosihan Anwar, Wartawan Lima Zaman

Catatan Hari Pers Nasional: Rosihan Anwar, Wartawan Lima Zaman

Nasional | republika | Rabu, 9 Februari 2022 - 15:15
share

A footnote of history atau \'Sebuah Catatan Kaki dalam Sejarah\', julukan yang disematkan kepada Rosihan Anwar oleh tokoh pers dan ahli hukum senior, Tasrif, S.H. Barangkali Rosihan Anwar adalah satu dari sedikit wartawan yang memiliki pengalaman luar biasa sebagai seorang pewarta.

Ia adalah \'kuli tinta\' yang melintasi lima zaman, mulai dari masa penjajahan \'saudara tua\' Jepang, Orde Lama zaman Ir. Soekarno, Orde Baru rezim Soeharto, hingga era Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY). Berangkat dari sanalah, pria kelahiran 10 Mei 1922 itu pantas disebut maestro jurnalisme Indonesia.

Hingga ia meninggal di usia 89 tahun pada Kamis (14/4/2011), ia tak pernah lepas menulis. Meski gangguan jantung yang dideritanya mengharuskannya mondar-mandir ke rumah sakit.

Rosihan semula hanyalah anak kampung. Dilahirkan di sebuah kampung kecil yang dikelilingi bukit barisan, Kubang Nan Duo, Solok, Sumbar, ia menyelesaikan pendidikan di HIS (1935) dan MULO (1939) di Padang, lalu merantau ke Kota Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan di AMS-A II pada 1942. Dari sana ia telah membuka pintu gerbang untuk menjelajahi dunia.

Setahun di "Kota Gudeg", ia mulai merintis karier sebagai seorang jurnalis di surat Kabar Asia Raya kemudian loncat ke Majalah Siasat lalu Koran Pedoman. Pada medio 1945-1946 ia dipercaya pemilik sekaligus pendiri Harian Merdeka, B.M Diah sebagai redaktur. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi bagian dari sejarah agresi Belanda (Clash) ke-II ke Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota RI.

Selama satu dekade, Rosian Anwar terus berpindah-pindah media. Mulai mendirikan Majalah Siasat (1947-1957), Pendiri/Pemred Harian Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974), menjadi Kolumnis di berbagai media seperti Business News (1963), Kompas, KAMI, AB (1966-1968), Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971), Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985), wartawan Freelance (1974), hingga menjadi Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976).

Ia juga dipercaya sebagai Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973), lalu menjadi Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978) ketika digantikan Harmoko, dan terakhir menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983). Karena itu, Rosihan dan Jurnalistik seperti dua sisi mata uang, tak bisa dilepaskan.

Dalam buku terbitan terakhirnya, \'Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV\' terbitan Juni 2004, pemilik nama kecil Rozehan, berarti Sinar Cahaya itu menceritakan advise-nya kepada Anwar Ibrahim muda untuk mengubah haluan perjuangan. "If cant beat them, join them. Jika tak bisa mengalahkan UMNO bergabung saja dengan UMNO, tulis Rosihan. OMNU adalah Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau United Malays National Organisation, partai politik terbesar di Malaysia dan pendiri dari koalisi Barisan Nasional, yang telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaannya tanpa terputus.

Tak hanya itu, ada tulisan ciamik lainnya dari Rosihan, tentang cerita \'Belajar Sholat\' Prof. Soedjatmoko sebelum dikirim ke Washington sebagai Dubes RI. Tulisan Rosihan tentang Soedjatmoko tak berbeda jauh dengan uraian mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Ahmad Syafii Maarif yang mengatakan, Soedjatmoko menemukan kesholehan di hari tuanya. Berbeda dengan tutornya, Sjahrir, yang tak sholat hingga kematiannya di Zurich Swiss pada usia 57 tahun, kata Syafi\'i.

Karier Rosihan tak hanya di bidang tulis menulis. Berkat ilmu yang didapat dari Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat (1950), ia pun rancak dalam membuat film. Bersama Usmar Ismail, ia mendirikan Perusahaan Film Perfini pada 1950.

Ia mulai menjelajah dunia perfilman dengan film pertama \'Darah dan Doa\' ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan menjadi produser film \'Terimalah Laguku\'. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film.

Namun, warisan yang sangat berharga bukan hanya film. Rosihan sudah meninggalkan warisan berharga melebihi segunung intan, yakni buku.

Sedikitnya 21 buku telah terbit dari tangan maestro tersebut. Torehan intan yang akan terus dibaca oleh anak bangsa sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki kesalahan dan melempar jauh dosa-dosa yang telah membuat bangsa ini menjadi kerdil. Pak Rosihan Anwar itu punya daya ingat yang luar biasa, begitu kata Prof. Syafi\'i Maarif yang merujuk kearifan dan kepantasan Rosihan layak disegani masyarakat luas.

Alasannya tak lain karena pergaulan dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh penting di negeri khatulistiwa ini selama lima zaman. Hal itu yang menjadi inti kekuatan dari tulisan-tulisannya. Sebab, menulis lewat interaksi langsung dengan tokoh yang diceritakan menjadi catatan lebih hidup, tak sekadar teori.

Meski terkadang tulisannya tajam, tetapi sisi romantis tak bisa dilepaskan dari anak keempat dari sepuluh bersaudara itu. Menjelang wafat 11 tahun lalu, Rosihan tengah merampungkan \'Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida\', sebagai prasasti cinta yang menjadi pelajaran buat para petualang cinta yang tak pernah puas dengan satu kekasih hati.

Kakek saya bekerja sebagai kepala stasiun kereta api pada zaman kolonial. Dia Paman Marah Roesli pengarang roman Siti Nurbaya dan Roestam Effendi putra Indonesia yang terpilih jadi anggota Parlemen Belanda (Twede Kamer) yang mewakili Partai Komunis Belanda," begitu kata Rosihan di Petite Histoire.

Pernyataannya itu menjawab pertanyaan mengapa ia begitu apik dalam menulis. Alasannya tak lain karena ia memiliki darah seni dan sastra. Seperti kata pepatah, \'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya\'.

Semasa hidupnya, Rosihan dikarunia tiga orang anak hasil pernikahannya dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada 1947. Pada September 2010, istrinya sudah lebih dulu berpulang pada usia 87 tahun.

Pada 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan PWI di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan \'Life Time Achievement\' atau \'Prestasi Sepanjang Hayat\' dari PWI Pusat.

Topik Menarik