Kami Tidak Kalap, Punya Tabungan, dan Uang Berputar untuk Anak-Cucu

Kami Tidak Kalap, Punya Tabungan, dan Uang Berputar untuk Anak-Cucu

Nasional | jawapos | Senin, 31 Januari 2022 - 14:00
share

Satu Tahun setelah Heboh Kampung Miliarder di Tuban

Para pemilik tanah yang menerima kompensasi miliaran rata-rata membeli lahan lagi untuk bercocok tanam. Sebagian uang juga didepositokan yang hasilnya wis cukup gawe mangan.

ARIF ADI WIJAYA , Jawa Pos , Tuban

MOBIL lalu-lalang di akses utama masuk ke dua desa bertetangga itu. Sepanjang pengamatan Jawa Pos pada Sabtu (29/1) siang sampai sore lalu di akses utama kedua kampung, semuanya kendaraan dari kelas menengah ke atas.

Pembangunan rumah mewah pun masih bisa dijumpai di sepanjang berkeliling dua desa di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu: Sumur Geneng dan Wadung. Rumah yang sudah jadi rata-rata dipagar tembok setinggi 3 meter dengan pintu gerbang baja di depannya.

Yang belum jadi pun sudah terlihat mewah. Rata-rata menggunakan desain rumah kontemporer dengan atap segitiga yang tidak terlalu tinggi. Sisi modern sangat terlihat dari desain rumah tersebut. Ada pula yang mengombinasikan gaya rumah modern-klasik dengan menambahkan dua pilar besar di bagian depan rumah.

Setahun lalu, mayoritas warga dari Kampung Sumur Geneng dan Wadung menjadi miliarder dadakan. Mereka mendapat ganti rugi pembebasan lahan atas proyek pembangunan new grass root refinery (NGRR). PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia akan membangun kilang minyak di kawasan tersebut.

Warga yang lahannya terdampak proyek kilang minyak mendapat ganti rugi yang cukup fantastis. Dari Rp 2 miliar sampai Rp 25 miliar. Kabar tersebut ramai menjadi sorotan ketika warga, khususnya dari Sumur Geneng, berbondong-bondong membeli mobil dalam waktu yang hampir bersamaan. Diler mobil dari Surabaya dan Gresik sampai menerjunkan car carrier atau truk pengangkut mobil untuk mengirimkan puluhan unit mobil yang dipesan.

Berbagai sales dan marketing berbagai produk dan jasa pun berbondong-bondong datang ke kampung miliarder tersebut. Mulai marketing kartu kredit, asuransi, hingga properti.

Ternyata besarnya sorotan itu memicu ketidaknyamanan warga. Teman-teman asuransi, bank, media, macem-macem datang ke sini semua. Warga sampai risi jadinya, kata Wantono, warga Sumur Geneng yang mendapat ganti rugi sekitar Rp 4,2 miliar.

Tidak heran jika saat ini warga setempat cenderung tertutup dengan orang luar. Warga selalu melotot ketika ada kendaraan dengan nomor polisi (nopol) dari luar wilayah Tuban melintas di kampung.

Njenengan cari orang lain saja, jangan saya, kata salah seorang warga yang belum sempat menyebutkan namanya ketika ditemui Jawa Pos .

Menurut Wantono, warga sudah adem ayem setelah kehebohan kampung miliarder mereda beberapa bulan terakhir. Tapi, pekan lalu, situasi di kampung tersebut kembali memanas. Selain karena adanya konflik internal, juga akibat pemberitaan di salah satu media daring yang menyebut warga kampung miliarder tersebut bangkrut.

Sebab, faktanya tidak demikian. Terutama yang menerima ganti rugi sampai miliaran rupiah. Uang itu mereka kelola. Kata orang dulu, karena itu uang hasil dari (penjualan, Red) tanah, harus dikembalikan ke tanah. Jadi, mayoritas beli tanah lagi dan dikelola sebagai lahan pertanian, ujar Matraji, ayah Wantono.

Wantono mengatakan, secara ekonomi, para pemilik lahan sejatinya tidak ada masalah. Mereka masih bercocok tanam dengan hasil yang cukup.

Ada yang menanam jagung, padi, hingga umbi-umbian. Mereka (penerima ganti rugi, Red) ini bukan orang bodoh, terang pria 42 tahun tersebut.

Mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu mengaku sempat mendepositokan uangnya di bank. Dengan perjanjian jangka waktu deposito satu bulan. Jadi, bunga deposito bisa diambil setiap bulan.

Namun, tidak sampai satu tahun, uangnya ditarik kembali untuk membeli lahan pertanian dan ruko. Yang dibelanjakan untuk membeli mobil dan membangun rumah hanya sebagian kecil dari hasil ganti rugi. Yang paling banyak dibelanjakan untuk membeli tanah lagi, papar bapak satu anak itu.

Bagaimana dengan pemberitaan yang menyebutkan bahwa ada yang sulit makan dan jatuh miskin? Wantono menjelaskan, para pemilik lahan rata-rata bekerja sebagai petani. Mereka memiliki buruh tani dari kampung sebelah. Ketika lahan dijual, para buruh tani tersebut otomatis terdampak. Mereka tidak bisa bekerja lagi. Mungkin itu yang dimaksud, ucapnya.

Darsono yang juga warga Sumur Geneng mengaku tidak ada masalah soal ekonomi keluarganya. Justru, dia merasa kondisinya lebih baik dari sebelumnya.

Karena itu, Darsono menepis jika ada anggapan bahwa warga setempat tidak bisa mengelola uang yang diterima dari hasil ganti rugi. Sebagian saya depositokan ke bank. Iku wis cukup gawe mangan (itu sudah cukup buat makan), tuturnya.

Sama halnya dengan Wantono, Darsono yang mendapat ganti rugi Rp 5,2 miliar membelanjakan uangnya untuk membeli lahan. Sebagian untuk membeli mobil Pajero Sport. Kami tidak kalap dengan membelanjakan uang sembarangan. Kami masih punya cukup tabungan dan uang berputar untuk anak-cucu kami, ungkapnya.

Dari Jakarta, PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia memastikan telah melibatkan pekerja lokal untuk menggarap proyek Kilang Grass Root Refinery (GRR) Tuban. Direktur Utama Pertamina Rosneft Kadek Ambara Jaya menyebut, pihaknya proaktif melibatkan 1.220 pekerja di area Tuban.

Kadek menjelaskan, pihaknya berkomitmen untuk menciptakan multiplier effect bagi masyarakat Tuban melalui proyek Kilang GRR Tuban.

Kadek menambahkan, komitmen Pertamina Rosneft dalam memberdayakan tenaga kerja lokal di area Tuban telah dilakukan sejak tahap pembersihan lahan ( land clearing ).

Topik Menarik