Melepas Nafsu dengan Secangkir Kopi Pangku

Melepas Nafsu dengan Secangkir Kopi Pangku

Nasional | republika | Kamis, 20 Januari 2022 - 15:27
share

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sebelum coffe shop bertebaran bak layangan di langit sore, sejak era penjajahan Kompeni, warung kopi sudah banyak bertebaran di wilayah Hindia Belanda. Namun, tidak hanya warung kopi yang benar-benar menjual cita rasa minuman hitam tersebut, warung yang menjual kopi dengan tambahan servis plus-plus dari pramusaji juga sudah ada. Di era sekarang warung remang-remang tersebut dikenal dengan istilah "Kopi Pangku".

"Kopinya diminum, penjualnya dipangku", begitu kira-kira ucapan nyeleneh para pelanggannya.

Di era sekarang, warung kopi yang menyediakan pelayanan seksual yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia memiliki berbagai istilah. Selain Warkopang (Warung Kopi Pangku), ada juga sebutan warung kopi senang, warung kopi pangkon, atau dakocan alias dagang kopi cantik. Istilah ini mengerucut kepada satu penjelasan, pramusaji yang menjual kopi berparas ayu, berpakaian seksi, dan bersedia memberikan pelayanan tambahan.

Ditemui Kurusetra ketika sedang bersantai, SS, menceritakan pengalamannya menjadi pelanggan kopi pangku di wilayah Cibitung. "Istilahnya Cibitung TB, tenda biru," kata SS membuka percakapan, Kamis (20/1/2022).

SS mengaku baru tiga kali mendatangi warung kopi remang-remang tersebut. Ia bercerita, datang ke Warkopang bersama teman-temannya tiga hingga enam orang. Tujuannya, kata dia, apalagi kalau bukan untuk bersenang-senang.

"Kopi pangku buat gue pribadi lumayan seru. Karena ada rasa penasaran. Namanya juga laki-laki," kata SS sembari tertawa.

Harga kopi di Warkopang, kata SS, tidak jauh berbeda dengan di warkop-warkop biasa. Sekitar Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Namun, di Warkopang tarifnya bisa menjadi lebih mahal jika mendapatkan layanan tambahan dari pramusajinya.

SS pun beralasan jika nongkrong di Warkopang adalah untuk menggerakkan perekonomian. " Kan buat (bantu) ekonomi yang jual juga. Meski harga kopinya biasanya tiga ribu, di sana harganya bisa lima ribu. Mba-mba-nya juga asyik diajak ngobrol . Suka nanya-nanya, \' dari mana Mas, kerja di mana\'. Seru aja ," ujar SS.

Namun, SS mengakui tujuan utamanya pergi ke Warkopang bukan hanya untuk berbincang basa-basi dengan pramusaji. Ia mengaku datang ke Warkopang yang dinilainya cukup nyaman untuk selonjoran dan menghilangkan pegal-pegal serta rasa suntuk. "Sekalian nganu juga karena mba-mba-nya manis sih, dirayunya juga enak. Sambil dikit-dikit megang to*** gitu ," ujar SS.

Apalagi menurut SS terkadang sang pramusaji suka memancing dengan membuka kancung baju. " Body penjualnya aduhai mengundang birahi, gemes," tutur dia.

Pramusaji yang bekerja di Warkopang menurut SS biasanya perempuan berusia 20 sampai 29 tahun. Mereka memoles wajahnya dengan riasan tebal dan berpakaian seksi untuk menggoda pelanggan. "Menor, bajunya seksi. Pakai (celana) jeans ketat atau pake rok dan tanktop," ujar SS.

Selain menyediakan kopi sebagai minuman utamanya, Warkopang juga menyediakan makanan ringan hingga minuman keras. Di Warkopang yang dia datangi, kata SS, menyediakan bilik kamar di dalam. Bilik-bilik itu disediakan untuk menikmati kopi atau indehoi. Namun, tenda biru yang menjadi lokasi Warkopang di Cibitung pada Maret 2021 sudah disegel Polres Metro Bekasi, Kodim 0509, dan Satpol PP.

"Bisa juga buat ngebir. Juga bisa joget-joget kayak tempat karaoke. Jadi lebih mengarah ke nganunya sih, ketimbang mengarah ke ngopinya ," tutur SS.

Di luar pembelian jajajan seperti minuman seperti kopi dan bir, serta rokok, pramusaji yang bisa disewa untuk ditiduri memasang tarif berbeda-beda. "Biasanya dipatok 200 (ribu). Tapi bisa ditawar-tawar sesuai kesepatakan," ujar SS.

Pelanggan Warkopang pun bermacam-macam. Tetapi menurut SS pengunjungnya biasanya naik motor atau mobil pribadi. "Karena (masuk) gang-gang sempit gitu ," kata dia.

Bicara soal prostitusi di warung kopi, bisnis tersebut sebenarnya sudah lama eksis di tanah air. Dalam buku Perkotaan, Masalah Sosial dan Perbudakan di Jawa Masa Kolonial, karya John Ingelson menerangkan, ahli Dermatologi R.D.G.Ph. Simons membagi prostitusi jalanan menjadi delapan kelas.

"(1) Pekerja seks yang mangkal di kedai-kedai kecil sekitar pelabuhan dan di kota pelabuhan itu sendiri, (2) Pekerja seks yang beroperasi di jalan, berasal dari kampung-kampung setempat, (3) Rumah-rumah bordil di pusat kota milik orang Cina dan Jepang, (4) Lokalisasi rumah-rumah bordil di kampung di pinggiran kota, (5) Jasa pelayanan seks terselubung yang diberikan oleh para pembantu rumah tangga perempuan lokal, (6) Jasa pelayanan seks amat terselubung yang dilakukan oleh para nyonya (ibu rumah tangga) Belanda yang terkengkang di rumah kepada sinyo- sinyo muda yang belum menikah, (7) Pelacur warga Eropa yang terorganisasi di lokalisasi tertentu, (8) Pelacuran homoseksual dan perjantanan."

Ketujuh kelas tersebut meliputi warung-warung kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua. Rumah-rumah bordil orang Jepang dan China (shuian), dan rumah bordil di kampung-kampung pinggiran kota. Sementara pelacuran homoseksual dan perjantanan dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang.

Prostitusi di warung kopi dulu memang dikenal lekat dengan pelabuhan. Sejumlah gadis bekerja menjadi pramusaji menjajakan kopi plus pelayanan tambahan. Mereka bisa dicium, dicolek, dipangku, hingga bisa disewa untuk ditiduri.

Sosiolog UIN Syarif Hidayahtullah, Musni Umar mengkhawatirkan semakin tak terkendalinya prostitusi bisa berakibat buruk kepada generasi muda. Bahaya jika prostitusi tidak dituntaskan. Kasus prostitusi ini kan sudah diketahui luas oleh masyarakat, yang saya khawatirkan puteri-puteri Indonesia kemudian mengikuti cara ini, ungkap Musni seperti diberitakan Republika.co.id, Kamis (14/5).

Psikolog anak Endang Setianingsih menilai selain dipengaruhi gaya hidup, salah satu penyebab terjadinya prostitusi, termasuk prostitusi anak adalah keluarga. Keluarga menurut Endang adalah faktor utama dari semua persoalan ini, karena karakter dan pendidikan agama diterima dari dari keluarga atau menjadi madrasah pertama membentuk mental dan jiwa anak.

Kemudian, faktor ekonomi juga bisa menjadi dasar, pendidikan, lingkungan serta perdagangan orang. "Lingkungan sangat perlu diperhatikan, karena di usia remaja anak mengalami transisi dan pencarian identitas diri, maka anak perlu diawasi ketat," ujar Psikolog forensik anak itu.

Di zaman revolusi fisik, prostitusi jalanan menjadi pantangan bagi serdadu Belanda karena dituding sebagai biang keladi penyebaran penyakit kelamin. Karena itu, pengawasan dilakukan pemerintah dengan melibatkan polisi khusus hingga dokter dan pastor untuk mencegah para serdadu "bermain" di tempat lokalisasi. Apalagi tak ubahnya di zaman sekarang, tempat lokalisasi di era Belanda juga sering dilakukan razia, terutama yang tidak membayar pajak.

"Kadang deg-degan juga kalo sampe digrebek, meski gue pribadi gak pernah digrebek ," kata SS mengakhiri ceritanya.

Topik Menarik