Saatnya Hukuman Mati bagi Koruptor

Saatnya Hukuman Mati bagi Koruptor

Nasional | sindonews | Rabu, 19 Januari 2022 - 13:07
share

KORUPSI menjadi penyakit kronis yang tumbuh subur di negeri ini. Meskipun sudah ada lembaga antirasuah yang berumur hampir dua dekade, tidak ada rasa jera bagi para koruptor. Tingkat korupsi di negeri ini makin parah lantaran tak ada hukuman berat bagi para pelaku. Belum ada satu koruptor pun yang divonis hukuman mati dan dieksekusi di Indonesia, seperti halnya pelaku terorisme maupun pembunuhan berencana. Padahal, akibat perbuatan korup tersebut keuangan negara dirugikan, mengganggu roda perekonomian, dan dampaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Umumnya para koruptor hanya mendapatkan hukuman separuh dari tuntutan. Itu pun bisa berkurang kala para koruptor melakukan upaya hukum lebih lanjut. Seolah para koruptor ini mendapatkan keistimewaan. Saat menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan pun banyak dari mereka yang masih menikmati hidup nyaman dan bebas berkomunikasi dengan dunia luar.

Hukuman terhadap mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari misalnya, dipangkas dari 10 tahun penjara menjadi hanya hanya 4 tahun penjara. Dengan beragam obral remisi yang kerap diberikan kepada koruptor, dan privilege lainnya, bisa jadi mantan jaksa yang tersangkut kasus buron terdakwa korupsi cessie (hak tagih) eks Bank Bali, Djoko S Tjandra itu tak perlu menikmati dinginnya jeruju besi hingga 4 tahun.

Potongan hukuman itu diberikan oleh hakin Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Dalam putusan pengadilan tinggi, salah satu pertimbangannya yakni Pinangku masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik.

Masyarakat juga terhenyak saat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra dalam kasus suap status red notice yang juga menjerat Jaksa Pinangki. Pengadilan mengurangi hukuman Djoko dari semula 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan. Sebelumnya, majelis hakim tindak pidana korupsi memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara.

Bahkan salah satu hakim agung yang menangani peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko S Tjandra, Eddy Army menilai, Djoko Tjandra layak dilepaskan karena yang diperbuatnya adalah perkara perdata. Terlihat ada kesenjangan antara vonis dengan aspirasi masyarakat yang menginginkan koruptor dihukum berat karena dianggap mencederai rasa keadilan.

Dari catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 20 koruptor yang mendapatkan keringanan hukuman selama periode 2019-2020. Keringanan yang diberikan bahkan hingga potongan 3 tahun penjara. OC Kaligis misalnya, dalam kasus suap PTUN Medan, hukumannya dipotong menjadi 7 tahun dari sebelumnya 10 tahun. Sedangkan mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dalam kasus suap, dipotong menjadi 4 tahun dari sebelumnya 5,5 tahun penjara.

KPK pernah menjerat advokat bernama Lucas karena dianggap merintangi penyidikan terhadap Eddy Sindoro, bekas petinggi Lippo Group yang menjadi tersangka penyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman pelaku menjadi 5 tahun. Di tingkat kasasi, MA kembali memberikan diskon menjadi hanya 3 tahun saja.

Mantan Menteri Sosial dan politisi Partai Golkar Idrus Marham dihukum bui tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Namun, MA memberikan diskon menjadi 2 tahun penjara. Idrus pun sudah menikmati udara segar.

Komitmen pemberantasan korupsi di Tanah Air terus mendapat sorotan. Vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor banyak dipertanyakan karena dinilai masyarakat terlalu ringan. Vonis tersebut tidak sebanding dengan kerugian dan penderitaan yang mereka ciptakan.

Maraknya kasus korupsi menunjukkan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor belum memberikan efek jera. Karenanya perlu ada terapi kejut bagi para koruptor dengan mengabulkan tuntutan vonis mati sesuai dengan dakwaan jaksa dan fakta hukum. Sehingga putusan itu bisa menjadi yurisprudensi agar para pejabat publik gemetar saat hendak melakukan tindak pidana korupsi.

Topik Menarik