Berwisata Religi ke Makam Islam Tertua Se-Asia Tenggara di Gresik

Berwisata Religi ke Makam Islam Tertua Se-Asia Tenggara di Gresik

Nasional | jawapos | Sabtu, 15 Januari 2022 - 13:06
share

JawaPos.com- Tidak banyak kabupaten/kota dengan kekayaan cagar budaya berupa makam para tokoh penyebar Islam di nusantara. Nah, di antara yang sedikit itu ada Kabupaten Gresik, Jatim. Kini, makam-makam bersejarah itupun menjadi destinasi wisata religi. Setiap tahun, ribuan orang berkunjung.

Salah satu di antara makam tersebut adalah makam Siti Fatimah binti Maimun. Makam di Desa Leran, Kecamatan Manyar, itu termasuk yang makam Islam tertua di Indonesia. Bahkan, disebut-sebut di Asia Tenggara.

Memang, pengunjung makam Siti Fatimah binti Maimun, tidak seramai ke makam Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri. Dua nama yang termasuk Wali Songo. Hanya pada momen-momen tertentu, peziarah ramai berdatangan ke makam Siti Fatimah binti Maimun seperti saat haul. Yakni, setiap tanggal 15 Syawal.

Siti Fatimah binti Maimun atau dikenal juga Putri Retno Suari itu memiliki jasa besar untuk Gresik sebagai penyebar awal agama Islam pertama, kata Dr Muhammad Thoha, sejarawan Gresik.

Hanya, lanjut dia, proses penyebaran Islam yang dilakukan Siti Fatimah binti Maimun bersifat personal. Lingkup wilayahnya hanya komunal atau di lingkungan sekitarnya. Beda dengan yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri atau para Wali Songo lainnya yang bersifat politik pemerintahan.

Saat itu, masyarakat Gresik, terutama wilayah Leran dan sekitarnya masih beragama Hindu, ujarnya.

Pepohonan cukup rindang. Menghias di kanan-kiri jalan begitu berada di Desa Leran, kompleks makam Siti Fatimah binti Maimun. Lokasinya, tidak jauh dari kawasan pelabuhan internasional JIIPE Manyar. Saat JawaPos.com berkunjung pada Kamis (13/1) siang, suasana makam itu sepi. Belum ada seorang pun peziarah yang datang.

Makam Siti Fatimah binti Maimun berada dalam sebuah cungkup. Dibangun berbahan batu kapur. Meninggi. Dikutip dari website Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemkab Gresik, bebatuan itu diambilkan dari Gunung Suci, salah satu desa di wilayah Kecamatan Manyar.

Cungkup tersebut menyerupai bangunan sebuah candi. Konon, cungkup tersebut dibangun seorang Raja Majapahit yang beragama Hindu, yang dulu hendak mempersunting Siti Fatimah binti Maimun.

Kedatangan Siti Fatimah binti Maimun karena diutus Sultan Machmud Syah Alam, ayahandanya. Putri rupawan keturunan Malaka dan Aceh itu hendak dipersunting seorang Raja Majapahit. Sebagai satu syarat kesediaannya untuk diperistri, harus mengislamkan raja bersangkutan. Tapi, utusan yang menyampaikan hal itu justru diperlakukan dengan tidak layak oleh Raja Majapahit.

Belum sampai menikah, terjadi wabah kusta yang meluas di wilayah Leran dan sekitarnya. Hingga Siti Fatimah binti Maimun meninggal dunia. Saat itu, usianya masih 18 tahun. Nah, untuk menebus rasa bersalahnya, Raja Majapahit membangun cungkup makam Siti Fatimah binti Maimun tersebut. Karena itu, arsitektur bangunan cungkup dipengaruhi oleh Hindu.

Sehari-hari, cungkup tersebut dikunci gembok. Namun, setelah mendapat izin dari juru kunci, JawaPos.com mendapat kesempatan masuk ke cungkup Siti Fatimah binti Maimun.

Di dalam cungkup berukuran sekitar 64 meter itu tidak hanya jasad makam Siti Fatimah binti Maimum dimakamkan. Tetapi, ada juga sejumlah makam lain. Konon, makam itu adalah para dayangnya. Tidak seperti makam aulia pada umumnya, area untuk berziarah di dalam terbilang sempit.

Nama Siti Fatimah binti Maimun juga telah diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Gresik. Yakni, di wilayah Kawasan Industri Gresik (KIG). Kawasan makam Siti Fatimah binti Maimun dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan. Sejak 1973 telah ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya nasional.

Pintu Masuk ke Majapahit

Mengutip situs cagarbudaya.kemendikbud.go.id, pada masa lampau, Gresik termasuk daerah kekuasaan Majapahit. Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Ma Huan (XV M), Gresik digambarkan sebagai salah satu pelabuhan yang cukup penting di pesisir utara Jawa. Selain itu, Gresik juga merupakan salah satu pintu masuk menuju ke Kotaraja Majapahit yang terletak di pedalaman.

Salah satu wilayah yang terdapat di Gresik adalah Leran, tempat ditemukannya kompleks makam Leran yang dianggap sebagai makam Islam tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Hal ini didasarkan pada angka tahun kematian salah satu tokoh yang dimakamkan di dalam kompleks makam tersebut.

Selain berkembang agama Islam, di daerah Leran juga berkembang agama Hindu. Hal ini seperti yang dituliskan pada sebuah prasasti perunggu bernama Prasasti Leran, yang kini menjadi koleksi Museum Nasional.

Prasasti yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa Kuno ini berisi tentang sebuah daerah perdikan (sima) bernama Leran yang memiliki bangunan suci Hindu tempat Rahyangta Kutik. Meski tanpa disertai angka tahun, namun berdasarkan hurufnya Prasasti Leran diperkirakan berasal dari abad XIII M.

Tokoh pertama yang meneliti tentang makam beserta inskripsi pada nisan milik Fatimah binti Maimun bin Hibatallah adalah J. P. Moquette, seorang peneliti berkebangsaan Belanda.

Pada 1920-an, karya tulisnya yang membahas mengenai Leran berjudul De Oudste Moehammadaansche Inscriptie op Java (op de Grafsteen te Leran telah dimuat dalam Verhandelingen van het Eerste Congres voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Java Gehouden te Solo.

Pada awal ditemukan, bangunan serta makam dalam kondisi memprihatinkan. Misalnya, jirat makam berantakan, nisan tidak berada pada tempat aslinya, dinding bangunan retak dan sebagian telah runtuh, atap cungkup hanya tersisa seperempatnya saja, serta banyak batu berserakan di sekitar dinding cungkup.

Di dalam artikelnya, J. P. Moquette menulis semua data yang berkaitan dengan nisan Fatimah binti Maimun, termasuk mengenai cerita rakyat yang melingkupi kompleks makam tersebut. Di dalam artikel juga dilampirkan alih aksara dan bahasa nisan, serta beberapa foto kondisi kompleks makam Leran kala itu.

Paul Ravaisse, seorang peneliti dari Perancis, kemudian melakukan perbaikan pada hasil bacaan J. P. Moquette. Pada alih aksara yang dilakukan oleh J. P. Moquette, angka kematian Fatimah binti Maimun dibaca 495 H atau 1.101 M. Sedangkan Paul Ravaisse membaca tahunnya dengan angka 475 H atau 1.082 M.

Kedua angka tahun yang telah dihasilkan peneliti-peneliti tersebut masih diacu oleh para peneliti di Indonesia. Naniek Harkantiningsih beserta timnya (1997/1998) melakukan kajian terhadap Situs Pasucian Kecamatan Manyar pada 1994 hingga 1996 menulis, bahwa Fatimah binti Maimun meninggal pada 495 H atau 1.101 M.

Sementara itu, peneliti lain Danang Wahju Utomo (2011) menulis tahun kematian tokoh tersebut dengan angka 475 H atau 1.082 M. Meski terdapat perbedaan angka tahun, namun hal tersebut tidak dapat membantah bahwa makam Fatimah binti Maimun merupakan bukti tertua mengenai awal kedatangan serta perkembangan Islam di Pulau Jawa.

Selain itu, angka tahun yang tertera pada nisan tersebut juga merupakan bukti tertua mengenai Islamisasi di Indonesia.

Topik Menarik