Survei: 31 Negara Eropa Berupaya Legalkan Islamofobia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2020 mengungkapkan bahwa beberapa negara di Eropa mengambil langkah untuk melegalkan Islamofobia. Laporan yang dilakukan oleh Profesor Enes Bayrakl dari Universitas Turki-Jerman dan Farid Hafez dari Universitas Georgetown menganalisis adanya kebangkitan sentimen anti-Muslim di Eropa, termasuk pernyataan yang mendukung undang-undang yang menekan hak-hak Muslim Eropa.
Sekitar 37 akademisi, pakar, dan aktivis masyarakat sipil yang berspesialisasi dalam isu-isu yang berkaitan dengan rasisme berkontribusi dalam laporan tersebut untuk menganalisis status Islamofobia saat ini di 31 negara. Di Austria, pemerintah mendirikan pusat dokumentasi pada Juli 2020 untuk memasukkan Muslim ke dalam daftar hitam.
Pusat tersebut mengumpulkan informasi tentang institusi Muslim, termasuk lebih dari 600 masjid dan pusat pendidikan, ideologi, administrator, dan alamat mereka, dan membagikan peta digital yang disebut Islam-Landkarte yang berisi semua informasi ini kepada publik. Tindakan ini sontak memantik kemarahan komunitas Muslim di negara itu.
Sebuah kelompok yang dipimpin oleh profesor Ednan Aslan dari Universitas Wina berpendapat bahwa peta digital menggambarkan Muslim sebagai penjahat. Kelompok itu juga menduga pemerintah sengaja memanipulasi publikdengan mengkambinghitamkan umat Islam untuk mengalihkan isu korupsi.
Di Jerman, seorang hakim keturunan Turki diberhentikan dari tugasnya karena mengenakan jilbab, sementara Mahkamah Konstitusi di Belgia memutuskan bahwa pelarangan simbol politik dan agama di lembaga pendidikan pasca sekolah menengah adalah sah.
Mahkamah Konstitusi Brussels pada awal Juni lalu juga memutuskan bahwa larangan jilbab tidak akan bertentangan dengan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR). Kasus ini dirujuk ke Mahkamah Konstitusi oleh pengadilan Brussels setelah mahasiswa Muslim menggugat Francisco Ferrer Brussels University College atas larangan semua simbol agama.
Putusan itu memicu reaksi di media sosial di kalangan anak muda dan mahasiswa, dengan organisasi hak asasi manusia juga mengecam langkah itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Sejak keputusan itu, 12 universitas dan perguruan tinggi Belgia telah meyakinkan siswa bahwa mereka tidak akan memberlakukan larangan seperti itu, menekankan bahwa kebebasan beragama dilindungi di ruang kelas mereka, menurut The Brussels Times.
Di Bulgaria, pegulat Muslim Muhammed Abdulkadir dituduh berpartisipasi dalam aksi teroris setelah berbagi foto dirinya mengenakan seragam militer di Suriah pada 2016. Sementara di Prancis, Presiden Emmanuel Macron memperkenalkan undang-undang yang mengusulkan pelarangan jilbab bagi anak perempuan di bawah usia 18 tahun di ruang publik dan politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders juga mencoba memperkenalkan undang-undang serupa untuk melarang jilbab dan ritual pengorbanan selama Idul Adha.
Sementara di Belanda, Geert Wilders, seorang politikus sayap kanan Belanda yang dikenal dengan sikap anti-Muslimnya, sering memposting postingan yang menentang Muslim. Pada bulan April, ia membagikan postingan yang mengatakan hentikan Islam, hentikan Ramadhan.
Islam bukan milik Belanda, kata Wilders.
Ramai Dianggap Sesat, Pujian untuk Ponpes Al-Zaytun Malah Datang dari Lingkaran Orang Dekat Jokowi
Sedangkan pemerintah Swedia melarang pendirian sekolah-sekolah Muslim di negara itu setelah pengumuman Menteri Pendidikan Anna Ekstrom untuk mendukung langkah menentang sekolah-sekolah agama.
Sumber :
https://www.dailysabah.com/politics/eu-affairs/governments-legalize-islamophobia-in-europe-report