Warning Direktur Eksekutif IPR Awasi, Candidacy Dan Vote Buying Muncul Di Pemilu

Warning Direktur Eksekutif IPR Awasi, Candidacy Dan Vote Buying Muncul Di Pemilu

Nasional | rm.id | Senin, 3 Januari 2022 - 06:55
share

Sejumlah kalangan mewanti-wanti munculnya jual beli tiket pencalonan atau candidacy buying dan jual beli suara atau vote buying di Pemilu, Pilkada atau Pilpres 2024. Praktik ini harus ditindak tegas.

Peringatan itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin kepada Rakyat Merdeka .

Menurut Ujang, praktik candidacy dan vote buying tentunya tidak bisa dihindari di setiap Pemilu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun Pemilu Presiden (Pilpres). Praktik ini bukanlah hal baru dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.

Hanya hal itu sering luput dan bahkan seolah dibiarkan. Karenanya, Ujang meminta, pada event politik terbesar di 2024, semua pihak harus menindak tegas praktik ini.

Ini harus diberantas serius dan ditindak tegas juga, karena sama bahayanya dengan politik uang di pemilihan, kata Ujang.

Untuk candidacy buying , lanjut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini, memang agak sulit dibuktikan. Pasalnya, praktik ini melibatkan partai politik dalam mengusung calon baik di Pileg, Pilkada maupun Pilpres.

Ranah ini sulit disentuh penyelenggara apalagi pengawas Pemilu itu. Biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ujarnya.

Sedangkan, vote buying selalu terjadi, tapi kadang muncul tenggelam. Bahkan sudah menguat akan terjadinya vote buying , eh malah tiba-tiba hilang. Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tentu harus lebih jeli dan tegas menindak praktik ini, tegasnya.

Hal senada disampaikan Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini. Dia memperkirakan, problematik pada Pemilu sebelumnya bakal berulang pada Pemilu 2024, termasuk praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan ( candidacy buying ) dan jual beli suara ( vote buying ).

Begitu pula dengan basa-basi laporan dana kampanye. Politik berbiaya tinggi yang tidak akuntabel, kontestasi mahal tapi tidak tergambar dalam laporan dana kampanye, kata Titi pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 bertajuk Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia secara daring.

Titi menyampaikan sejumlah masalah lainnya yang berpotensi berulang pada Pemilu 2024 yang pelaksanaannya bersamaan dengan Pilkada di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyebutkan, ketentuan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas pencalonan Presiden. Lalu, syarat calon perseorangan yang makin berat, hegemoni Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam pencalonan pilkada dan ongkos politik yang makin mahal.

Di sisi lain, lanjutnya, disparitas makin senjang dan terbuka antara sikap pembuat undang-undang dan aspirasi publik terkait pengaturan Pemilu demokratis, seperti pembatalan revisi UU Pemilu dan pelanggengan ambang batas pencalonan Presiden.

Kendati demikian, pegiat Pemilu ini menilai demokrasi elektoral Indonesia secara prosedural makin baik. Tapi, fenomena kehadiran hambatan makin berlapis untuk mengakses kompetisi Pemilu atau Pilkada yang bebas, adil, dan setara ( multiple barriersto entry phenomena ). [EDY]

Topik Menarik