Menelusuri Masjid Tertua di Malang, Dibangun Pengikut Pangeran Diponegoro pada Abad XVIII

Menelusuri Masjid Tertua di Malang, Dibangun Pengikut Pangeran Diponegoro pada Abad XVIII

Muslim | sindonews | Sabtu, 9 April 2022 - 11:18
share

MALANG - Perkembangan Islam di Malang Raya tak bisa dilepaskan dari suatu daerah di Kecamatan Singosari. Di Kecamatan Singosari inilah Islam mulai menyebar dari sebuah masjid di kawasan Bungkuk, yang kini masuk Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

MNC Portal mencoba menelusuri keberadaan masjid yang diyakini sejarah, sebagai masjid pertama dan tertua yang ada di kawasan Malang raya. Terlihat masjid yang kini bernama Masjid At Thohiriyah ini sepintas memang memiliki konstruksi bangunan baru nan modern. Lokasinya yang berada di Jalan Bungkuk RT 4 RW 4 Kelurahan Pagentan, juga diapit di antara perkampungan padat penduduk warga.

Dari luar kesan masjid tradisional tertua tampak kurang meyakinkan. Belum lagi bangunan masjid yang juga dipenuhi ukiran kaligrafi dan keramik indah, kian mengesampingkan kesan masjid tua. Namun ketika memasuki bagian dalam masjid utamanya di ruang tengah, terdapat empat tiang yang berdiri terpisah dari bagian bangunan konstruksi masjid.

Empat tiang ini membentuk persegi dan dilapisi kayu jati dengan ukiran ayat-ayat kursi di atasnya. Tingginya sekitar lima meter menjulang dengan empat sisinya yang berkaitan. Bergeser ke bagian belakang makam masjid, terdapat kompleks pemakaman yang merupakan pendiri masjid.

Penasehat Takmir Masjid At Thohiriyah KH. Moensif Nachrawi menyatakan, Masjid At Thohiriyah sebenarnya telah dibangun sejak awal abad 18. Saat itu seorang bekas laskar Pangeran Diponegoro bernama Hamimmuddin memulai pembangunan masjid di daerah Singosari, yang masih menjadi hutan belantara.

"Hamimmuddin datang dari Laskar Pangeran Diponegoro, ini menjadi bagian dari laskar yang semburat tercerai berai pasca Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada tahun 1930," ujar KH. Moensif Nachrawi, ditemui di kediamannya di Jalan Bungkuk.

Dari situlah kemudian KH. Hamimmuddin itu memulai aktivitas dakwahnya sebagaimana pesan dari Pangeran Diponegoro yang harus terus menyebarkan agama Islam dimanapun laskarnya berada. Hamimmuddin memulai membuat bangunan kecil berupa gubuk untuk memulai syiar agama islam kepada warga sekitar Singosari saat itu.

"Daerah ini saya bilang masih hutan belantara, dia (KH. Hamimmuddin) bikin gubuk karena terbuat dari bambu dari gedek dari daun-daunan kecil, untuk mengajar mengaji dan salat. Bangunan kecil itu dipakai untuk mengajar ngaji di lingkungan orang-orang yang mayoritas Hindu, memang orang-orang agama Hindu datang jauh lebih dulu di sini, sehingga kerajaan-kerajaan yang ada dulu adalah kerajaan Hindu," ungkap.

Menurutnya, saat islam mulai dikenalkan oleh pengikut Pangeran Diponegoro, agama Hindu-lah yang mendominasi masyarakat yang dianutnya. Maklum pengaruh Kerajaan Singasari yang runtuh di abad 13 masih sangat terasa.

"Kerajaan Singasari itu di sini dibangun abad 12, punahnya abad 13, dan ini masuk abad 18. Jadi artinya sudah sekitar lima ratusan tahun kemudian," kata dia.

Pelan-pelan tapi pasti agama baru itu disebut Moensif menyebar meluas ke beberapa daerah di sekitar Singosari kala itu. KH. Moensif menyebut, faktor mudahnya tersebar dan diterima masyarakat karena agama Islam tidak mengenal kasta - kasta sebagaimana di agama Hindu. Hal ini yang memicu masyarakat utamanya golongan sudra atau rakyat bawah, tertarik belajar agama baru saat menerima informasi tersebut.

"Di luar dugaan kyai Hamimuddin, karena rupanya setelah itu orang berbondong-bondong, sebab musababnya agama Hindu mengenal empat kasta dari brahmana yang tertinggi sampai sudra yang terendah," ungkap tokoh ulama berusia 87 tahun ini.

Selama mendakwahkan agama Islam ini KH. Hamimmuddin mengajarkan cara-cara beribadah salat, ngaji, bersujud. Dari cara ibadah melalui salat di rukuk dan sujud inilah muncul kata Bungkuk, yang berasal dari kata kerja serapan bahasa Jawa, yang berarti posisi tubuh agak ditekukkan ke depan. Maka ketika orang-orang yang masih beragama Hindu melihat cara peribadahan islam yang mudah dan tidak membeda-bedakan kasta menjadikan ketertarikan.

"Kiai Hamimuddin mengajar, di sana ngajar ngaji, ngajar salat, di sana wong bungkuk bungkuk. Iya nggak tahu aktivitas apa, tahunya gini wong bungkuk - bungkuk (rukuk - rukuk, rukun salat), yang rupanya sampai sekarang dilestarikan wilayah ini namanya wilayah Bungkuk," terangnya..

Istilah bungkuk pun kian populer digunakan masyarakat dan terdengar dari mulut ke mulut. Agama Islam menyebar dengan cepat karena ketiadaan kasta layaknya di agama Hindu. Masyarakat Singosari saat itu menyebutnya bungkuk, agar mudah mengistilahkan ajaran agama baru yang dibawa oleh KH. Hamim

Mereka disebut KH. Moensif lantas melabeli daerah tempat KH. Hamimmuddin mengajarkan agama Islam sebagai istilah bungkuk. Dari situ awal muka bungkuk dikenal dan kian mendatangkan banyak santri-santri dari berbagai kalangan yang tinggal di Singosari.

"Merasa santri makin lama makin banyak mulailah dibangun gedung masjid yang lebih luas, Kalau awalnya berupa gubuk saja, dari bambu, dari daun-daun, kemudian sudah nggak bisa nampung lagi. Dipikirlah sebuah bangunan yang lebih semi permanen, sudah ada bata, ada kayu, ada genteng, karena sudah dimulai genteng itu maka harus ada penyangga kuda-kuda dan ada tiang itu zamannya kiai Hamimuddin, ketika santri sudah mulai makin lama makin banyak," paparnya.

Empat tiang itu dibangun era KH. Hamimuddin di sekitar abad 18, tiang yang merupakan cikal bakal Masjid Bungkuk tetap dipertahankan hingga kini. Namun seiring waktu akhirnya KH. Hamimuddin yang memiliki 7 orang anak menyerahkan pengelolaan pondok pesantren dan masjidnya kepada menantunya KH. Thohir dari anak pertamanya bernama Siti Murtasiah.

Sosok KH. Thohir sendiri disebut berasal dari Cangaaan, Bangil, ia satu angkatan dengan ulama asal Madura Syaikhona Kholil. Kharismanya begitu besar membuat santri-santri kian berdatangan dari berbagai daerah ke daerah Bungkuk. Oleh karenanya kharismanya dan beliau merupakan salah satu waliullah yang memiliki karomah luar biasa.

"Santri makin lama semakin banyak santri hingga akhirnya masjid itu dinamakan Masjid At Thohiriyah, yang diambil namanya KH. Thohir," tuturnya.

KH. Moensif Nachrawi mengakui dari beberapa literasi dan informasi beberapa dosen yang menugaskan mahasiswanya penelitian perkembangan Islam di Malang raya, Masjid Bungkuk ini merupakan masjid tertua yang ada di Malang raya. Namun secara pasti ia menyebut tidak memiliki data penelitian tersebut.

Tapi kalau melihat dosen dosen pembimbing yang mengirim mahasiswa mahasiswanya itu belajar awal sejarah awal perkembangan agama Islam di minta ke sini. Rupanya saya nilai disini ini yang awal, Saya nggak bisa mengatakan pasti karena saya tidak pernah survei, yang jelas di sini abad 18," jelasnya.

Kini Masjid At Thohiriyah memang telah bertransformasi sebagai salah satu pusat syiar agama Islam dan tempat ibadah yang lebih modern. Desain bangunan pun menyesuaikan zamannya dengan tiga kali proses rekonstruksi, namun corak khas empat tiang utama yang jadi awal mula masjid tetap dipertahankan hingga kini.