Komnas HAM: Penembak Yosua Bisa Tiga Orang

Komnas HAM: Penembak Yosua Bisa Tiga Orang

Kriminal | jawapos | Senin, 5 September 2022 - 11:02
share

Hasil Uji Balistik Temukan Perbedaan Lubang Peluru

JawaPos.com Komnas HAM kembali menyebut dugaan baru yang berseberangan dengan temuan polisi dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mereka menyebutkan, penembak Yosua bisa saja tiga orang.

Dugaan itu disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Dia menjelaskan, dari hasil uji balistik, muncul dugaan adanya pelaku lain yang menembak Yosua. Artinya, penembak Yosua bukan hanya dua, melainkan tiga orang. Polri harus menyelidiki, ujarnya.

Dugaan itu muncul dari besarnya lubang peluru yang berbeda. Diduga, ada dua senjata yang digunakan untuk menembak Yosua.

Bila Sambo menyebut hanya Bharada E yang menembak, Bharada E justru mengaku penembak bukan hanya dirinya. Lalu, siapa yang menembak dengan senjata berbeda dari Bharada E. Penyidik harus mencari bukti-bukti pendukung kuat, selain keterangan saksi, jelasnya.

Pernyataan Komnas HAM tersebut berbeda dengan kronologi yang dirilis Polri menggunakan video animasi. Dalam kronologi itu, digambarkan bahwa Bharada E menembak Yosua sebanyak tiga atau empat kali. Lantas, Sambo menembak Yosua di kepala bagian belakang dengan senjata milik Bharada E. Kalau uji balistik menemukan peluru jenis senjata lain, lantas siapa penembak ketiga itu? Hingga tadi malam, polisi belum menjelaskan secara resmi tentang dugaan yang diungkap Komnas HAM.

Sementara itu, pengamat kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, problem utama selama ini adalah Polri telah menjadi lembaga super. Perencanaan anggaran, perumusan kebijakan, operasional, dan sekaligus pengawasan berada dalam satu tubuh, yakni Korps Bhayangkara itu sendiri. Pengawasan dilakukan internalnya dengan perkoncoannya, ujarnya.

Antara satu sama lain, atas nama korps, letting, jiwa korsa, atau apalah itu, penegak hukum malah melakukan kejahatan. Polisi tidak bisa seperti itu, terangnya kepada Jawa Pos kemarin (4/9). Pengawasan eksternal yang dilakukan Kompolnas justru diracuni. Kewenangannya sekadar rekomendasi. Komposisi dan personalnya justru dari kepolisian. Di negara lain, Kompolnas ini membawahkan polisi. Di Indonesia, Kompolnas kawan sendiri, ujarnya.

Buktinya, tiga anggota Kompolnas sekarang adalah purnawirawan polisi. Karena itu, problem Kompolnas bukan lembaganya, melainkan karena personalnya justru rawan konflik kepentingan. Maka, perlu perbaikan sistem kepolisian, jelasnya.

Dia mengatakan, andai Menko Polhukam bukan Mahfud MD, jalan cerita kasus pembunuhan Brigadir Yosua bisa jadi akan berbeda. Maka, revisi UU 2/ 2002 tentang Kepolisian sudah wajib hukumnya, paparnya.

Poin revisi itu adalah mengubah status Polri menjadi lembaga yang berada di bawah kementerian. Bukan hanya di bawah Kemendagri, melainkan bisa kementerian-kementerian lain. Gambarannya bisa seperti UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU 34/2004 tentang TNI. Kemenhan membawahkan anggaran TNI. Tapi, panglima TNI langsung berada di bawah presiden. Polri secara anggaran bisa di bawah kementerian, tetapi Kapolri langsung berada di bawah presiden, jelasnya.