Kemenkes Sebut Hepatitis Akut Tidak Berpeluang Pandemi

Kemenkes Sebut Hepatitis Akut Tidak Berpeluang Pandemi

Kesehatan | jawapos | Rabu, 11 Mei 2022 - 22:42
share

JawaPos.com Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenekes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penyakit hepatitis akut tidak berpeluang menjadi pandemi. Sebab, sebaran kasus secara global bergerak lambat.

Tidak berpeluang pandemi jika melihat perkembangan jumlah kasus dan sampai saat ini hanya enam negara yang melaporkan hepatitis akut dengan jumlah kasus lebih dari enam pasien, kata Siti Nadia Tarmizi seperti dilansir dari Antara di Jakarta, Rabu (11/5).

Dia mengatakan, seluruh kasus tersebut bersifat probable hepatitis akut misterius. Sementara total kasus probable hepatitis akut secara global berjumlah 348 dengan 70 kasus tambahan yang masih dalam penyelidikan, ujar Siti Nadia Tarmizi.

Dikonfirmasi terpisah, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kemungkinan hepatitis akut menjadi pandemi perlu melalui kajian pendahuluan WHO.

Tentang kemungkinan penyakit apapun jadi pandemi, akan melalui proses ditentukan dulu sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), terang Tjandra Yoga Aditama.

Dia menjelaskan, PHEIC akan mengukur sejumlah barometer status pandemi di antaranya sebaran penyakit lintas benua, menimbulkan masalah kesehatan yang berarti, serta merupakan jenis penyakit yang baru.

Lalu sesudah itu dilihat lagi perkembangannya, kalau terus meluas baru akan disebut pandemi, papar Tjandra Yoga Aditama.

Kalau melihat pengalaman Covid-19, dia menambahkan, pertama kali dilaporkan WHO pada 5 Januari 2020, dinyatakan PHEIC 31 Januari 2020, dan pandemi pada 11 Maret 2020.

Terkait 15 kasus dugaan hepatitis akut di Indonesia, dia mengatakan, perlu dijelaskan apakah kasus itu termasuk klasifikasi WHO probable , epi-linked, atau masih pending, yang memerlukan investigasi lebih lanjut.

Setidaknya akan baik kalau disebutkan bagaimana hasil pemeriksaan virus hepatitis A sampai E pada 15 kasus itu, tutur Tjandra Yoga Aditama.

Dia juga mendorong hasil tes laboratorium terkait kemungkinan adanya virus lain, seperti SARS-COV-2, Adenovirus, Epstein Barr , dan lainnya, atau mungkin juga toksin dan ada tidaknya autoimun.

Kalau memang sudah ada 15 kasus tentu sudah dilakukan Penyelidikan Epidemiologis (PE) mendalam sehingga pola penularan dapat mulai diidentifikasi, baik antarkasus maupun juga dengan lingkungan dan lainnya, ucap Tjandra Yoga Aditama.