Cerita Santri Peranakan Tionghoa dan Arab Perkuat Pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa
Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari santri dan tokoh agama melawan Belanda. Kedua kelompok ini bahkan turut langsung membantu Pangeran Diponegoro berperang di Perang Jawa setelah berkumpul di Selarong.
Sekitar 200 santri gabungan baik laki-laki dan perempuan, bergabung ke pasukan Pangeran Diponegoro, pada Perang Jawa. Mereka datang dari berbagai etnis mulai dari Arab, hingga konon ada santri peranakan Tionghoa yang bergabung.
Dikutip dari buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" tulisan Peter Carey, selain santri pondok pesantren itu, ada beberapa santri istana. Santri istana ini yakni golongan santri istana.
Mereka merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa - desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok - pondok pesantren.
21 Pati TNI AD yang Bertugas di Daerah Dimutasi Jenderal Agus Subiyanto, Ini Daftar Namanya
Kelompok besar lain dibawa oleh Kiai Mojo, ketika ia bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, awal Agustus. Kelompok ini merupakan anggota keluarga besarnya dan santri dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. S
isanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca.
Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup, berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun - alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650.
Perang - perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke - 17 hingga awal abad ke-18, menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat. Para ulama seperti di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja.
Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 - 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak - kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.