Pentingnya Dukungan Psikososial untuk Penyintas Bencana dalam Membangun Resiliensi Jangka Panjang
Muhammad Iqbal, Ph.D.
Psikolog, Associate Professor Universitas Paramadina
BANJIR bandang dan longsor kembali melanda tiga provinsi besar di Sumatra, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana ini tidak hanya merusak rumah, fasilitas publik, dan infrastruktur, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan fisik, emosional, dan psikologis masyarakat.
Ribuan korban jiwa dilaporkan hilang dan sebagian besar belum ditemukan. Kerugian ini bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat.
Pengamatan saya di lapangan, terlihat dengan sangat jelas dampak psikologis penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisiknya. Banyak warga kehilangan orang yang dicintai, harta benda, lahan, ternak, serta penghasilan yang menjadi sumber kehidupan keluarga. Semua itu membentuk tekanan mental yang sangat besar.
Dampak psikologis setelah bencana, yakni, acute stress reaction, anxiety disorders, prolonged grief disorder, dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30–50 penyintas bencana besar dapat mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama (Norris et al., 2002). UNICEF juga mencatat anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan mengalami dampak psikologis jangka panjang.
Dalam observasi lapangan, masyarakat menunjukkan gejala seperti sulit tidur, mimpi buruk, ketakutan terhadap suara hujan atau gemuruh, penurunan minat aktivitas, menarik diri dari interaksi sosial, hingga gejala depresi.
Aspek psikologis mutlak harus mendapat perhatian pemerintah untuk ditangani. Mengapa? Pertama, bencana menciptakan stressor ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang. Ketika individu merasa tidak berdaya dan situasi dianggap tidak terkendali, muncul kecemasan, ketegangan, dan keputusasaan (Lazarus & Folkman, 1984).
Kedua, trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh. Muncul dalam bentuk hipervigilansi, ketegangan otot, dan reaksi panik terhadap pemicu tertentu (van der Kolk, 2014).
Jelang Timnas Indonesia U-17 vs Brasil U-17, Mathew Baker Bicara Pentingnya Dukungan Suporter
Ketiga, pemulihan trauma tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, keluarga, komunitas, kebijakan pemerintah, hingga sistem budaya. Karena itu, dukungan psikososial harus diberikan secara berlapis dan komprehensif.
Pemerintah perlu menangani masalah pascabencana dengan dukungan profesional. Dukungan psikososial dalam bentuk intervensi yang menangani dua aspek sekaligus, yakni psikologis meliputi, stres, trauma, kecemasan, dan kehilangan. Kemudian, sosial, meliputi relasi, lingkungan, keluarga, dan komunitas.
Satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah Psychological First Aid (PFA), yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh masyarakat, maupun responden darurat.
Pendekatan PFA berfokus pada tiga prinsip utama. Pertama, protect untuk memastikan keselamatan fisik dan mengurangi paparan stres tambahan. Kedua, connect, yakni membangun dukungan sosial, empati, dan keterhubungan. Ketiga, empower, yakni membantu penyintas mendapatkan kembali perasaan mampu dan kendali.
Sebagai catatan, PFA terbukti menurunkan risiko trauma jangka panjang dan meningkatkan resiliensi komunitas (Hobfoll et al., 2007).
Selanjutnya penyintas memerlukan dukungan psikososial. Dukungan psikososial bersifat berlapis, meliputi dukungan individual, yakni screening stres dan konseling sederhana, latihan grounding dan manajemen emosi, serta dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Sementara dukungan keluarga termasuk aktivitas keluarga (storytelling, relaksasi), edukasi orang tua tentang respons stres anak dan penguatan peran keluarga sebagai unit dukungan utama.
Penyintas juga membutuhkan dukungan komunitas berupa safe space untuk anak dan lansia, kegiatan berbasis budaya lokal dan tokoh agama, serta kolaborasi puskesmas, sekolah, dan NGO.
Sementara dukungan sistem dan negara yang dibutuhkan meliputi, integrasi layanan mental health dalam BNPB dan pemda, pelatihan massal PFA untuk relawan dan guru, dan anggaran rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Catatan Penutup
Selain kebutuhan dasar seperti makanan, air, selimut, dan tempat tinggal sementara, penyintas memerlukan dukungan emosional berupa ruang aman untuk bercerita, terapi kelompok, aktivitas psikososial. Selain itu, dukungan komunitas, yakni solidaritas, interaksi sosial, dan pemulihan struktur sosial.
Penyintas juga membutuhkan dukungan informasi berupa edukasi mitigasi, akses bantuan, dan literasi kesehatan mental. Selain itu, penguatan fungsi keluarga untuk membantu keluarga stabil, pulih dan bangkit.
Tujuan akhirnya adalah membangun resiliensi jangka panjang, agar penyintas tidak hanya pulih sementara, tetapi mampu menghadapi dan membangun kembali kehidupan pascabencana. Penyintas bencana tidak hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga kehilangan rasa aman, kendali hidup, dan kadang makna keberadaan. Oleh karena itu, dukungan psikososial harus menjadi bagian utama dari penanganan bencana. Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia.










