Kisah Kelam Aktivis GSF di Tahanan Israel: Muslimah Dirampas Jilbabnya dan Dipukul
JOHANNESBURG, iNews.id - Kesaksian mengerikan datang dari enam aktivis kemanusiaan asal Afrika Selatan yang baru dipulangkan dari Israel. Mereka, yang tergabung dalam misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla (GSF) menuju Gaza, menceritakan bagaimana tentara Israel memperlakukan para tahanan dengan kejam, termasuk kekerasan terhadap perempuan Muslimah dan pelecehan terhadap simbol keagamaan.
Salah satu korban, Fatima Hendricks, menggambarkan malam penangkapan itu sebagai “neraka yang tak akan terlupakan”. Dia dan para aktivis lain diserbu tentara Israel ketika kapal mereka melintasi perairan internasional menuju Gaza.
Setelah ditangkap, mereka diborgol, diarak, dan dipaksa menunduk di depan warga Israel di pelabuhan Ashdod.
“Kami ditodong senapan ke dahi, lalu dipukul ketika mencoba membantu dua rekan yang jatuh. Mereka menyeret perempuan ke sel isolasi,” ujar Hendricks, dalam keterangannya dikutip Sabtu (11/10/2025).
Menurut Hendricks, di dalam penjara, tentara Israel memaksa para tahanan Muslimah melepaskan jilbab.
Purbaya Siap Hadapi Gugatan Pajak Pesangon dan Pensiun ke MK, Sebut Pemerintah Tak Boleh Kalah
“Saya sudah mengenakan jilbab sejak usia 11 tahun. Memaksa kami untuk menanggalkannya adalah bentuk penghinaan terhadap keyakinan kami dan bukti kebencian mereka terhadap Muslim," katanya.
Dia menuturkan ada sekitar 10 hingga 12 tahanan perempuan di sel mereka. Namun saat meminta kasur tambahan, dua perempuan dipukuli oleh penjaga.
“Mereka tidak mengenal belas kasih selain kekerasan,” ujarnya.
Kesaksian serupa juga disampaikan oleh Mandla Mandela, cucu mendiang Nelson Mandela, yang turut serta dalam misi GSF. Dia menyebut tindakan Israel bukan sekadar penahanan, tetapi penculikan di laut internasional.
Namun dia tak ingin membesar-besarkannya karena tak ingin fokus pemberitaan menjadi teralihkan, bukan lagi ke penderitaan warga Gaza.
“Kami diculik di perairan internasional. Rakyat Palestina setiap hari diserang dan dibunuh. Narasinya bukan tentang kami, tapi tentang kekejaman yang mereka hadapi,” ujarnya.
Mandla menuturkan, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben Gvir sempat mendatangi ratusan aktivis di pelabuhan Ashdod dan meneriaki mereka sebagai teroris. Namun para aktivis membalas dengan teriakan “Bebaskan Palestina!”.
“Anda mendukung pembunuh bayi lalu menyebut kami teroris!” seru Mandla, menirukan teriakan para aktivis.
Ben Gvir, yang dikawal ketat aparat keamanan, akhirnya meninggalkan lokasi setelah terus-menerus diteriaki oleh massa aktivis. “Rakyat bersatu tak akan pernah bisa dikalahkan. Kami memulangkan Ben Gvir dari pelabuhan itu,” kata Mandla tegas.
Misi Kemanusiaan yang Dibalas Kekerasan
Aktivis lain, Zaheera Soomar, menegaskan bahwa meski disiksa, mereka tidak menyesal ikut dalam misi kemanusiaan ke Gaza.
“Kami datang membawa makanan, obat-obatan, dan harapan bagi rakyat Palestina yang hidup di bawah blokade. Tapi yang kami terima adalah borgol dan kekerasan,” ucapnya.
Menurut Soomar, pengalaman kelam itu justru memperkuat tekad mereka untuk melanjutkan perjuangan.
“Kami akan ikut lagi dalam misi berikutnya. Sampai genosida di Gaza berakhir, kami tak akan berhenti,” katanya.









