Jejak Letusan Gunung Berapi Indonesia: Sejarah, Duka dan Peringatan dari Alam

Jejak Letusan Gunung Berapi Indonesia: Sejarah, Duka dan Peringatan dari Alam

Terkini | inews | Kamis, 17 Juli 2025 - 02:33
share

JAKARTA, iNews.id -  Indonesia dikenal sebagai negeri yang subur dan kaya akan keindahan alam. Namun, di balik kekayaan itu tersembunyi kekuatan alam yang luar biasa: gunung-gunung berapi aktif yang bisa meletus kapan saja. Letusan gunung-gunung ini telah meninggalkan jejak panjang dalam sejarah, menimbulkan korban jiwa, mengubah lanskap, bahkan mempengaruhi iklim global.

Baru-baru ini, Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, NTT, kembali meletus pada 7 Juli, dua kali dalam sehari. Kolom abu mencapai ketinggian 18 km dan lontaran lava menjangkau 5 km dari puncak. Akibatnya, dua bandara ditutup, dan puluhan penerbangan dibatalkan.

Jejak Letusan Gunung Berapi Indonesia: Sejarah, Duka dan Peringatan dari Alam

Tak hanya Lewotobi, Gunung Merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah juga punya rekam jejak panjang sebagai gunung paling aktif di Indonesia. Letusan terdahsyatnya tercatat pada Oktober–November 2010, menewaskan sekitar 380 orang. Salah satu korban paling ikonik adalah Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi, yang memilih bertahan di rumahnya demi menjalankan amanah spiritual. Wartawan dan relawan yang mencoba membujuknya pun turut menjadi korban wedhus gembel, awan panas mematikan dengan suhu mencapai 400°C.

Sebelumnya, tragedi juga menimpa dua relawan PMI pada 2006. Mereka tewas terjebak di bunker Kaliadem, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun tak mampu menahan panas ekstrem awan panas Merapi.

Indonesia memang berdiri di atas “Ring of Fire”, jalur cincin api dunia sepanjang 40.000 km yang membuat wilayah ini memiliki 127 gunung berapi aktif. Jalur ini merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang sangat aktif, menjadikan Indonesia rawan letusan dan gempa bumi.

Sejarah mencatat sejumlah letusan gunung berapi Indonesia yang mengguncang dunia:

Gunung Tambora (1815) di Sumbawa, NTB, meletus sangat dahsyat hingga menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas” di Eropa dan Amerika. Suhu bumi turun drastis, panen gagal, dan cuaca ekstrem menyelimuti dunia. Beberapa peneliti bahkan mengaitkannya dengan kekalahan Napoleon di Waterloo.

Gunung Krakatau (1883) di Selat Sunda memuntahkan material vulkanik hingga 24 km ke udara. Suaranya terdengar sampai ke Australia. Letusannya menyebabkan tsunami setinggi 24 meter, memicu gelap global selama dua hari, dan mengubah iklim dunia selama lebih dari setahun.

Gunung Agung (1963) di Bali menyemburkan abu hingga 10 km ke atmosfer. Siang hari berubah jadi malam, dan belerang dari erupsi terdeteksi sampai ke lapisan es Greenland.

Dan yang paling purba: Gunung Toba di Sumatra Utara, meletus sekitar 74.000 tahun lalu. Letusan supervolcano ini menciptakan kaldera raksasa yang kini menjadi Danau Toba, dan diperkirakan hampir memusnahkan populasi manusia purba.


Meski manusia tak bisa mencegah bencana, ilmu pengetahuan memberi harapan untuk meminimalkan risikonya. Pengetahuan vulkanologi menjadi kunci dalam membaca tanda-tanda alam, memahami karakteristik gunung, dan menyusun sistem mitigasi yang lebih baik.

Hidup di atas Ring of Fire bukan berarti hidup dalam ketakutan, melainkan dalam kesadaran. Bahwa alam bisa marah kapan saja, dan saat itu tiba—kita harus siap.

Topik Menarik