Sampah Datang, Spanduk Bertindak: Ketika Doa dan Amarah Bersatu Demi Lingkungan

Sampah Datang, Spanduk Bertindak: Ketika Doa dan Amarah Bersatu Demi Lingkungan

Terkini | inews | Minggu, 15 Juni 2025 - 19:05
share

Yunaldi Libra
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

WARGA Perumahan Bukit Pesanggerahan Indah 2, Bojonggede, Bogor, memilih melawan dengan cara yang unik untuk melawan gempuran sampah yang kian merajalela. Mereka memasang spanduk berisi sumpah serapah dan doa kutukan bagi pembuang sampah sembarangan. Terkesan lucu memang, tapi inilah salah satu potret nyata keputusasaan yang dijadikan alat perlawanan ekologis oleh masyarakat.

Kita sering melihat spanduk larangan buang sampah di mana-mana. Warga perumahan yang berlokasi di desa ragajaya ini, menulis narasi yang mampu membuat pembacanya tertegun.

“Demi Allah Saya Ikhlas, Anak Cucu Saya 7 Turunan Akan Menderita dan Sakit Berkepanjangan Jika Saya Buang Sampah di Sini.”

Spanduk larangan buang sampah di Perumahan Bukit Pesanggerahan Indah 2, Bojonggede, Bogor. (Foto: Dok. Yunaldi Libra)

Narasi ini tentunya bukan kalimat dalam ceramah agama atau naskah yang diucapkan aktor dalam drama sinetron. Narasi “keras”ini adalah pesan warga yang ada di spanduk, yang dipasang di pinggir jalan tempat tumpukan sampah "kiriman" biasa bersarang. Bukan hanya di Bojonggede, fenomena serupa muncul di banyak kota. Di Bantul ada gambar pocong, di Jember ada ancaman “miskin tujuh turunan”, dan di Sukabumi tertulis “Hanya Monyet yang Buang Sampah Sembarangan”.

Spanduk-spanduk unik tersebut merupakan cerminan suara hati masyarakat yang sudah jengah, muak, dan marah. Tapi di sisi lain, mereka tidak pasrah begitu saja. Mereka melawan. Bukan dengan cara kekerasan, tapi dengan komunikasi yang menyentuh, bahkan menggelitik.

Media Murah yang Tepat Sasaran

Melalui spanduk yang dibikin oleh warga perrumahan bukit pesanggerahan indah 2 kita bisa belajar bahwa tidak perlu papan reklame atau kampanye jutaan rupiah untuk menyampaikan komunikasi efektif kepada masyarakat. Spanduk plastik murah bisa menjadi alat komunikasi yang lebih tepat dari pada baliho resmi pemerintah. Kenapa? Karena narasi yang tertulis di spanduk tersebut datang langsung dari hati warga. 

Meski menggunakan bahasa sehari hari, isi spanduk tersebut tidak basa basi dan penuh dengan emosi, karena memberi sentuhan  religius, sindiran, bahkan ancaman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk strategi yang mungkin tidak disadari. Namun cara itu mampu menghadirkan rasa malu, dan menggerakkan tanggung jawab, serta rasa hormat pada lingkungan (Jatmika, 2022).

Komunikasi visual berperan penting dalam menyampaikan pesan sosial dan ekologis. Menurut Kress dan van Leeuwen (2006), elemen visual mampu mentransmisikan informasi, dan juga membentuk makna sosial. Spanduk larangan buang sampah, yang ditempatkan secara strategis di titik-titik rawan pembuangan sampah, menjadi simbol perlawanan warga. Spanduk tersebut juga menjadi media komunikasi yang efektif untuk mengkomunikasikan nilai sosial tertentu, termasuk kepedulian, rasa malu, dan tanggung jawab sosial.

Spanduk sebagai Ecomedia

Dalam kerangka teoritis ecomedia, media adalah alat untuk menyampaikan informasi, dan juga menjadi bagian dari ekosistem sosial dan ekologis. Rust, Monani, dan Cubitt (2015) menjelaskan bahwa ecomedia mengaitkan komunikasi dengan konteks lingkungan, budaya, dan praktik sosial. Spanduk menjadi bagian dari lanskap ekologis untuk menyampaikan larangan, dan membentuk kesadaran serta respons terhadap masalah lingkungan.

Spanduk larangan buang sampah berfungsi sebagai bentuk nyata dari ecomedia, sederhana, murah, namun efektif dalam membentuk kesadaran ekologis. Spanduk tersebut juga menjadi alat kontrol sosial karena keberadaannya menciptakan tekanan moral bagi warga dan orang luar yang melewatinya. Bahkan, bentuk dan isi pesan menjadi viral di media sosial, memperkuat efeknya secara luas.

Komunikasi Partisipatif di Level Akar Rumput

Fenomena spanduk juga menunjukkan kuatnya komunikasi partisipatif di tingkat komunitas. Servaes (2008) mengemukakan bahwa komunikasi partisipatif memungkinkan warga untuk tidak hanya menjadi penerima pesan dari otoritas, tetapi juga pencipta dan pengirim pesan itu sendiri. Warga pemasang spanduk adalah subjek yang berperan aktif dalam komunikasi sosial. Mereka mengambil inisiatif sendiri tanpa menunggu kebijakan atau instruksi dari pihak yang lebih berwenang.

Warga juga turut membentuk opini publik dan mengarahkan perilaku sosial melalui narasi pesan yang mereka ciptakan. Dalam hal ini, komunikasi berjalan secara horisontal, dan lebih demokratis. Inilah esensi dari media komunitas. Media  dibuat oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri.

Narasi ini diperkuat oleh kesaksian Sugiman, salah satu warga dan tokoh lingkungan di perumahan tersebut. Ia menyatakan bahwa upaya menjaga kebersihan lingkungan telah dilakukan berkali-kali, namun gagal.

 "Sebelumnya itu kita pasang spanduk dengan isi undang-undang dan etika seperti 'bersih negeriku', tapi hanya bertahan tiga hari, spanduk hilang, sampah malah nambah," ujarnya.

 Akhirnya, muncul ide untuk membuat spanduk bernada sumpah serapah sebagai bentuk ekspresi kekesalan kolektif warga.

Spanduk larangan buang sampah yang dibuat warga Perumahan Bukit Pesanggerahan Indah 2, Bojonggede, Bogor. (Foto: Dok. Yunaldi Libra)

Sugiman menambahkan, "Setelah dipasang spanduk bernada sumpah itu, alhamdulillah sungai tidak terlalu kotor lagi. Masyarakat jadi khawatir karena merasa seperti menyumpahi diri sendiri." 

Sugiman yakin, meskipun secara teknis tidak mungkin menghentikan sampah dari hulu, namun secara signifikan sampah karungan dan dari luar daerah menurun drastis.

"Saya sendiri pernah tangkap tangan orang buang sampah jam 2 pagi," tegasnya. "Tapi kalau hanya mengandalkan aparat, sulit. Harus ada pendekatan warga. Kami sampai komunikasi ke RT, RW, BPD, Karang Taruna agar wilayah lain bisa meniru."

Menurut Sugiman, pendekatan religius dalam spanduk juga penting. "Ketika kita kaitkan dengan Allah, harapannya bisa menyentuh hati mereka. Kita tidak ingin ada yang tersiksa tujuh turunan, tapi ini bagian dari penyadaran," pungkasnya.

Religiusitas, Emosi, dan Bahasa Sehari-hari

Penggunaan frasa "Demi Allah" sebagai unsur religius dalam spanduk dan ancaman tentang penderitaan tujuh turunan, bukanlah hal yang patut disepelkan bagi pembacanya. Kata kata tersbut merupakan simbol dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam komunikasi, pesan yang mengandung unsur kepercayaan lokal cenderung lebih mudah diterima dan ditaati karena beresonansi dengan nilai-nilai mendalam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat (Jatmika, 2022).

Peran emosi dalam pesan-pesan tersebut juga tak kalah penting. Spanduk yang memuat pesan menyentuh seperti “Kalau Buang Sampah di Sini, Saya Doakan Miskin 7 Turunan,” membangkitkan rasa malu dan bersalah. Hal tersebut sesuai dengan teori komunikasi afektif yang sangat efektif dalam mempengaruhi perilaku (Rust et al., 2015).

Tantangan terhadap Sistem Pengelolaan Sampah

Keberadaan spanduk ini menyiratkan kritik terhadap sistem pengelolaan sampah formal yang dianggap tidak memadai. Warga yang membuat dan memasang spanduk seringkali melakukannya karena merasa tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari pihak berwenang. Kondisi inilah yang membuat masyarakat mengambil alih peran pengawasan, penyuluhan, dan bahkan "penegakan hukum sosial" dengan cara mereka sendiri.

Dalam analisis sosial, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem komunikasi resmi. Masyarakat menciptakan saluran alternatif, ketika saluran formal gagal menyampaikan pesan yang efekti. Saluran komunikasi alternatif yang lebih sesuai dengan konteks lokal dan lebih menyentuh hati khalayak, menjadi kekuatan media komunitas dalam krisis komunikasi publik.

Lokalitas dan Budaya Visual

Spanduk protes larangan buang sampah yang muncul di berbagai daerah juga mencerminkan karakter lokal. Di Bantul, gambar pocong dijadikan sebagai simbol horor untuk menakuti pembuang sampah. Di Jember, warga menggunakan nada sindiran lokal. Ini menunjukkan bahwa media lokal sangat kaya secara visual dan budaya. Simbol dan pesan yang digunakan menjadi efektif karena tidak dilepaskan dari konteks budaya dan bahasa lokal. (Kress & van Leeuwen, 2006).

Selain berfungsi sebagai alat komunikasi spanduk juga artefak budaya. Spanduk  menggambarkan bagaimana masyarakat menegosiasikan nilai-nilai ekologis dengan cara mereka sendiri. Melalui media sederhana tersebut masyarakat menunjukkan kreativitas luar biasa dalam menyampaikan pesan dengan sumber daya yang sangat terbatas.

Pemerintah Harus Dengarkan Suara Warga 

Spanduk larangan buang sampah menjadi representasi dari jeritan hati masyarakat. Ia menjadi simbol komunikasi ekologis yang muncul dari partisipasi akar rumput. Bukan hanya ekspresi kemarahan, tetapi juga harapan akan lingkungan yang lebih bersih dan adil.

Pemerintah dan lembaga terkait seharusnya serius dalam menanggapi dan tidak memandang sebelah mata bentuk komunikasi ini. Pemerintah perlu menjadikannya inspirasi dalam membangun kampanye lingkungan yang lebih efektif, berakar pada nilai lokal, emosional, dan partisipatif.

Solusi terbaik dalam keberhasilan kampanye lingkungan adalah dengan mendengarkan suara  warga. Bukan karena mereka yang paling terdampak, tapi karena mereka juga pemilik solusi.

Topik Menarik