Duh! Warisan Utang Jokowi Tembus Rp8.262 Triliun, Ekonom Nilai Tak Produktif
JAKARTA, iNews.id - Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah berada di angka Rp8.262,10 triliun per akhir Maret 2024. Sayang, besaran utang tersebut ternyata tidak produktif.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom Bright Institute Awalil Rizky dalam Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita 'Warisan Hutang Jokowi dan Prospek Pemerintah Prabowo' yang digelar pada hari ini, Senin (16/9/2024).
Awalil menjelaskan ada empat hal yang menyebabkan utang pemerintah tak produktif. Pertama adalah kenaikan pendapatan negara, lalu kenaikan nilai aset tetap pemerintah, ketiga posisi investasi di BUMN dan terakhir dari laju pertumbuhan ekonomi.
Dari data terlihat nilai aset tetap pemerintah lebih rendah dibandingkan posisi utang pemerintah pusat dari tahun 2020-2023. Kemudian, PMP pada BUMN juga berada di level Rp2.000-3.000 triliun atau jauh sekali dari posisi utang pemerintah yang saat ini berada di angka Rp8.000 triliun.
klik halaman selanjutnya untuk membaca>>>
Bahkan, Awalil mengatakan rasio utang pemerintah atas pendapatan negara meningkat di Era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lalu, pada RAPBN 2025 angkanya juga meningkat.
"Rasio utang pemerintah atas pendapatan negara meningkat pada era Jokowi. 2014 (168,27 persen), 2024 (315,81 persen). RAPBN 2025 meningkat lagi," ucap dia dikutip iNews.id, Senin (16/9/2024).
Akibatnya, saat ini rasio beban utang atas pendapatan negara meningkat. Bahkan, pembayaran utang menjadi belanja pemerintah pusat yang besarannya mencapai 19,50 persen.
"Pembayaran bunga utang merupakan jenis belanja pemerintah pusat yang terbesar saat ini (2024), mencapai 19,50 persen dari total belanja negara sebesar 14,62 persen dari pendapatan negara mencapai 17,80 persen dalam porsinya atas PDB, termasuk yang tertinggi di dunia. Semua rasio meningkat di Era Jokowi, melampaui rekomendasi IMF dan IDR," kata dia.
Tak cuma itu, Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini juga menyoroti risiko utang di pemerintahan Prabowo akibat warisan dari Jokowi. Untuk itu, ia menyarankan pemerintah mengendalikan utang di masa yang akan mendatang demi menjaga beban fiskal.
Apalagi, ia menilai dengan program-program berkelanjutan bisa mendorong peningkatan defisit. Hal itu bisa terjadi jika penerimaan pajak stagnan atau menurun.
"Terlebih dengan porsi pembayaran bunga utang yang besar pada komposisi belanja. Sementara porsi belanja modal semakin turun. Kualitas belanja APBN perlu memberikan dampak pada sektor produktif pada perekonomian, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara," ucap Eisha.