Skema Power Wheeling di RUU EBET Dinilai Bakal Bebani APBN
JAKARTA, iNews.id - Pemerintah melalui Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM saat ini membahas Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Pembahasan ini sempat mandek karena adanya skema power wheeling (sewa jaringan).
Skema tersebut pada awal 2023 sudah dibatalkan oleh MK. Namun, muncul kembali masuk dalam RUU EBET sehingga dibahas kembali dan sudah dalam tahap perumusan dan sinkronisasi.
Merespons hal tersebut, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menjelaskan bahwa masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET merupakan pelanggaran konstitusi. Hal itu pun harus dihapus karena bisa mengurangi pendapatan negara, dan menggerus APBN.
Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, ucap dia dikutip Minggu (8/9/2024).
Menurutnya, power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara. Sebab, 90 persen penjualan listrik berasal dari pelanggan industri.
"Selain menggerus pendapatan negara, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermitten dipengaruhi matahari dan angin," tutur dia.
Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Pasalnya, tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, sehingga negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.
Sebagai informasi, power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau IPP untuk membangun pembangkit listrik EBET sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.