Kurban dan Solidaritas Sosial

Kurban dan Solidaritas Sosial

Terkini | inews | Jum'at, 21 Juni 2024 - 13:15
share

Zainal Abidin
Kandidat Doktor Ilmu Manajemen Universitas Jenderal Soedirman

DI PARUH awal Bulan Zulhijjah, beruntunglah orang-orang yang berhaji, seperti dibanggakan Allah dalam Hadits Qudsi: "Lihatlah para hamba-Ku di Arafah dengan wajah yang lelah dan berdebu. Mereka semua datang dari seluruh penjuru dunia. Mereka datang memohon rahmat-Ku. Mereka berharap perlindungan dari azab-Ku, sekalipun mereka tidak melihat-Ku.

Pada hari itu, Allah senang sekali jika hamba-Nya berdoa. Dia berjanji akan mengabulkan semua doa mereka di sana, sebagaimana tersebut dalam Sabda Rasullullah SAW lainnya: "Di antara berbagai jenis dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan melakukan wukuf di Arafah."

Allah juga memberikan kebanggaan-Nya kepada orang-orang di luar Arafah yang melaksanakan penyembelihan hewan kurban dengan keikhlasan sempurna. Kata Allah, bukan daging dan darah hewan qurban yang membuat-Nya ridha, melainkan keikhlasan mereka dalam melakukannya.

Dalam banyak khutbah yang berkenaan dengan Idul Adha, salah satu hikmah yang terpenting dari ibadah kurban adalah nilai-nilai solidaritas kepada orang-orang yang terpinggirkan.

Daging yang dibagikan kepada kaum papa itu dimaksudkan agar mereka ikut merasakan kegembiraan di hari raya. Keterbatasan pendapatan membuat mereka mengalami kesulitan menikmati makanan lezat itu dalam frekuensi yang cukup, sekadar memenuhi norma gizi paling minim sekalipun.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di tanah air belakangan ini, memang meningkatkan konsumsi bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani, seperti daging, susu, dan ikan. Rerata Angka Kecukupan Gizi protein hewani asal daging saat ini sudah mencapai 21,8 gram/kapita/hari, sudah melebihi target sebesar 16,5 gram/kapita/hari. Sayangnya, isu kesenjangan konsumsi masih menjadi kendala.

Impor daging ke negeri ini cenderung naik setiap tahun guna memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Desa-desa pun menjadi pemasok daging bagi penduduk di kawasan itu. Hewan ternak yang mereka pelihara, mengalir ke pasar-pasar di kota. Keterbatasan ekonomi membuat masyarakat desa kesulitan untuk menikmati dagingnya. Kesenjangan itu berdampak buruk bagi kesehatan dan kecerdasan masyarakat.

Sejatinya, kurban bisa menjadi peredam bagi kesenjangan itu. Lembaga riset Dompet Dhuafa, IDEAS, menyebutkan potensi sebanyak 1,21 juta ekor kambing/domba dan 587.000 ekor sapi yang disembelih pada hari raya kurban 2024. Jumlah itu setara dengan putaran dana Rp28,2 triliun yang berasal dari 2,16 shahibul qurban, yang menghasilkan distribusi daging sebanyak 117,2 ribu ton.

Kesenjangan juga tetap terjadi pada distribusi daging kurban. Surplus daging kurban didominasi kawasan perkotaan di Pulau Jawa, antara lain Jakarta (9.905 ton); Bandung, Cimahi dan Sumedang (6.355 ton); Sleman dan Bantul (4,975 ton); Bogor, Depok, dan Sukabumi (2.381 ton); Surabaya dan Sidoarjo (1.952 ton); Tangerang Selatan dan kota Tangerang (1.699 ton); serta Bekasi (1.012 ton).

Sebaliknya, kawasan perdesaan di Jawa mengalami defisit, seperti di Kabupaten Grobogan, Blora, Pati, Jepara, dan Demak (-2,623 ton); kawasan utara Jawa Timur, yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (-2.484 ton); kawasan timur Jawa Timur yaitu Kabupaten Jember, Bondowoso, Probolinggo, dan Pasuruan (-1.964 ton); kawasan utara Jawa Tengah yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Pekalongan (-1.958 ton); Kabupaten Jombang, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Mojokerto dan Kota Kediri (-1.849 ton); Kabupaten Tangerang, Pandeglang, dan Lebak (-1.764 ton); Kabupaten Banyumas dan Kebumen (-519 ton); wilayah selatan Jawa Barat yaitu Kabupaten Cianjur (-590 ton), wilayah kawasan utara Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon (-94 ton), serta Kaupaten Pacitan dan Trenggalek (-71 ton).

Maka rekayasa sosial pun perlu dilakukan untuk mengatasi situasi surplus-defisit itu. Di sisi hulu, pemberdayaan harus dilakukan terhadap para peternak kecil. Selain bekal pengetahuan peternakan terkini, mereka juga butuh bantuan permodalan, agar tidak terjerat praktik-praktik lintah darat. Hasil pemeliharaan mereka pun harus dijamin bisa terjual pada Hari Raya Idul Adha dengan harga yang menyesuaikan dengan tren kenaikan di masa itu.

Di sisi hilir, data para penerima manfaat juga harus terverifikasi by name by address, untuk menghindari tumpang-tindih dalam penyaluran. Lokasi penyembelihan hewan kurban, sebaiknya tidak terlalu jauh dari lokasi distribusi, guna menekan tingginya biaya transportasi dari lokasi penyembelihan ke rumah penerima manfaat.

Saya membayangkan, kerja panitia kurban yang lebih komprehensif, bukan sekadar menyembelih dan membagikan daging, tetapi juga mengidentifikasi apa saja sesungguhnya kebutuhan kelompok miskin di wilayah kerjanya, lalu memikirkan cara-cara menyelesaikan permasalahan mereka. Jika di masa lalu sore dan malam Hari Raya Idul Adha kerap ditandai dengan orang-orang membakar sate di banyak tempat, sangat boleh jadi tanda seperti itu akan berkurang, dan masyarakat yang terpinggirkan itu bisa lebih banyak yang tertolong.

Tak kalah penting, kolaborasi Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang bertindak sebagai penyedia hewan kurban, mesti dijalin lebih komprehensif. Alih-alih bersaing satu sama lain menghimpun donatur/pekurban, mereka mestinya melakukan pemetaan kantung-kantung peternak kecil dan mustahik, dan saling berbagi tugas dan wilayah kerja. Ini akan menjadi bagian dari komitmen mengurus mereka yang terpinggirkan, tidak sekadar pada ritual Idul Adha saja.

Itulah pengejawantahan makna Idul Adha sebagai penguatan solidaritas sosial, yang pada gilirannya akan mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Langkah-langkah itu akan memastikan para mustahik bergeser menjadi muzakki, sekaligus membuktikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Topik Menarik