Bea Ekspor Emas hingga 15 Persen, Intip Emiten yang Paling Terdampak
IDXChannel – Rencana pemerintah mengenakan bea ekspor emas hingga 15 persen mulai tahun depan menjadi sorotan pelaku pasar.
Sejumlah emiten diperkirakan menghadapi tantangan tambahan, terutama yang mengandalkan penjualan ke luar negeri, sementara sebagian lainnya diyakini tetap aman berkat dominasi pasar domestik.
Pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai rencana bea pajak tambahan ekspor emas bakal menekan kinerja sebagian emiten tambang. Ia memandang kebijakan tersebut tidak akan berdampak sama rata di seluruh sektor.
“Bea pajak tambahan ekspor untuk emiten emas memberikan tantangan tersendiri untuk emiten emas,” kata Michael, Selasa (18/11/2025).
Ia kemudian menjelaskan bahwa tekanan terbesar bakal dirasakan oleh perusahaan dengan ketergantungan tinggi pada pasar luar negeri. “Salah satu yang paling terkena dampak adalah PSAB, diketahui 100 persen penjualan PSAB tujuannya untuk ekspor,” tuturnya.
Namun ia menambahkan bahwa tidak semua emiten berada dalam posisi yang rentan. “Sementara untuk ARCI dan BRMS, dampaknya tidak signifikan mengingat lebih dari 95 persen penjualan terserap pasar domestik,” imbuh Michael.
Ia juga menggarisbawahi bahwa efek kebijakan terhadap ANTM relatif minim, sejalan dengan porsi ekspor yang kecil. “Untuk ANTM, kurang dari 5 persen penjualan Antam terjadi secara ekspor,” ujarnya.
BRMS Buka Suara
Dalam siaran pers Senin (17/11/2025), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menyampaikan klarifikasi resmi terkait kekhawatiran pasar atas rencana pemerintah mengenakan bea ekspor emas mulai tahun depan. Manajemen memastikan kebijakan tersebut tidak akan mempengaruhi pendapatan perusahaan.
BRMS menegaskan bahwa seluruh penjualan emas dan perak PT Citra Palu Minerals (CPM), anak usaha yang mengoperasikan tambang di Sulawesi Tengah dan Selatan, sepenuhnya dilakukan di pasar domestik. Laporan keuangan konsolidasi per 30 September 2025 mencatat 100 persen pendapatan CPM berasal dari penjualan kepada pembeli lokal.
Pembeli emas BRMS meliputi PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA), PT Simba Jaya Utama, PT Swarnim Murni Mulia, PT Pegadaian Galeri Dua Empat, dan PT Elang Mulia Abadi Sempurna. Untuk perak, pembeli domestik mencakup perusahaan-perusahaan yang sebagian besar sama.
Saat ini CPM menambang bijih berkadar emas dan perak di Blok 1 Poboya, Palu, serta mengoperasikan dua pabrik Carbon in Leach (CIL). Produk akhir yang dijual berupa emas dan perak murni, bukan dore bullion.
BRMS menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen untuk terus mengoptimalkan margin dan meningkatkan nilai bagi pemegang saham.
Bea Ekspor Emas
Pemerintah bakal mengenakan pungutan bea keluar (BK) atas komoditas emas. Langkah ini dilakukan untuk memastikan ketersediaan pasokan emas di dalam negeri.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu mengatakan, Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan mengatur pungutan bea keluar emas segera terbit.
“Tadi kami sudah laporkan bahwa saat ini PMK untuk penetapan bea keluar dari emas ini sudah dalam proses hampir pada titik akhir,” kata Febrio dalam Rapat Dengar Pendapat di Ruang Komisi XI, Gedung DPR-RI, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Febrio menjelaskan, regulasi ini disusun untuk menjaga ketersediaan pasokan emas di dalam negeri, mengingat permintaan domestik yang terus meningkat dan mendorong harga emas semakin tinggi.
“Harga emas saat ini diketahui naik cukup tinggi. Terakhir di kuartal I-2025 harga emas sudah mencapai di atas USD4 ribu per troy ons,” ujar Febrio.
“Sehingga ini harus kita pastikan bahwa sebanyak-banyaknya suplai dari emas ini tersedia di dalam negeri. Di dalam negeri pun selain tadi kita dorong untuk hilirisasi, untuk smelter,” katanya.
Dalam PMK tersebut, beberapa jenis emas akan dikenakan tarif bea keluar, yaitu dore, granules, cast bars, dan minted bars. “Ini sesuai dengan usulan dari Kementerian ESDM, kementerian teknisnya,” ujar Febrio.
Tarif bea keluar untuk komoditas emas itu ditetapkan dalam rentang 7,5 persen hingga 15 persen. Penetapan tarif ini mengikuti dua prinsip utama yakni produk hulu dikenakan tarif lebih tinggi dibanding produk hilir untuk mendorong hilirisasi dan penambahan nilai dan struktur tarif bersifat agresif, yakni tarif lebih besar untuk harga yang lebih tinggi, mengikuti dinamika harga komoditas.
“Nah ini sudah melalui tahap harmonisasi dan ini akan segera kita undangkan untuk kemudian kita pastikan nanti di 2026 memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” kata Febrio. (Aldo Fernando)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.








