7 Fakta Kenapa Tentara Israel juga Menembaki Gereja di Palestina?

7 Fakta Kenapa Tentara Israel juga Menembaki Gereja di Palestina?

Global | sindonews | Jum'at, 18 Juli 2025 - 15:38
share

Sejak meletusnya kembali konflik antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, Jalur Gaza menjadi medan perang paling berdarah dalam dua dekade terakhir. Dalam situasi perang yang brutal dan serangan udara tanpa henti, banyak warga sipil mencari perlindungan di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja.

Salah satu lokasi perlindungan utama bagi komunitas Kristen dan Muslim di Gaza adalah Gereja Katolik Keluarga Kudus (Holy Family Church), satu-satunya gereja Katolik yang tersisa di wilayah tersebut.

Namun, ironisnya, gereja ini justru menjadi target serangan Israel yang menyebabkan korban jiwa dan memunculkan kecaman luas dari dunia internasional, termasuk dari Vatikan dan organisasi kemanusiaan.

Penyerangan terhadap gereja bukan hanya menjadi tragedi kemanusiaan, tapi juga mengguncang prinsip dasar hukum perang internasional yang secara jelas melindungi tempat ibadah dari tindakan militer, kecuali jika digunakan untuk aktivitas bersenjata.

Dalam beberapa insiden penting, termasuk penembakan dua perempuan oleh sniper Israel di kompleks gereja pada Desember 2023 dan ledakan akibat serangan peluru tank pada Juli 2025, Israel selalu berdalih kejadian itu adalah "kesalahan" atau "tidak disengaja".

Namun pertanyaannya tetap: mengapa gereja—tempat perlindungan sakral—bisa menjadi sasaran serangan militer?

Berikut beberapa fakta lapangan, pernyataan resmi, dan analisis hukum internasional terkait aksi brutal militer Israel tersebut.

1. Gereja Sebagai Tempat Perlindungan Sipil yang Rentan

Selama konflik berlangsung, warga Gaza sering kali berlindung di tempat-tempat yang dianggap aman dari serangan, termasuk sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah.

Gereja Holy Family menjadi lokasi utama perlindungan warga Kristen Gaza, yang jumlahnya sangat kecil, hanya beberapa ratus orang dari populasi lebih dari 2 juta.

Tak hanya warga Kristen, warga Muslim yang kehilangan tempat tinggal akibat pemboman juga turut berlindung di gereja tersebut.

Di dalam gereja terdapat anak-anak, orang tua, bahkan disabilitas yang tergantung pada alat bantu medis. Tempat ini seharusnya berada di luar sasaran militer, karena tidak ada indikasi aktivitas bersenjata.

Namun dalam praktiknya, tempat perlindungan ini justru menghadapi ancaman. Kompleksitas medan perang yang padat dan sempit membuat tempat ibadah yang ramai bisa menjadi collateral damage dari operasi militer yang agresif.

Pihak gereja menegaskan tidak pernah memperbolehkan pihak pejuang menggunakan tempat tersebut untuk aktivitas perang. Oleh karena itu, serangan ke gereja oleh Israel bukan hanya salah sasaran, tapi juga melanggar prinsip perlindungan sipil dalam konflik bersenjata.

2. Kasus Penembakan Sniper Israel di Gereja (Desember 2023)

Pada 16 Desember 2023, dua perempuan—Nahida Khalil Anton dan putrinya Samar—ditembak mati oleh sniper Israel saat sedang berjalan di halaman Gereja Holy Family di Gaza.

Mereka hanya hendak menuju kamar kecil, namun tiba-tiba ditembak tanpa peringatan. Tujuh orang lainnya terluka saat mencoba menolong mereka.

Pihak gereja menyatakan tidak ada aktivitas militer sama sekali di dalam kompleks saat itu. Ini memperkuat dugaan bahwa penembakan dilakukan dengan kesengajaan atau minimal kelalaian berat oleh pihak tentara penjajah Israel.

Israel awalnya menyangkal keterlibatan langsung, namun kemudian menyatakan mereka tengah merespons tembakan dari wilayah sekitar. Klaim ini ditolak mentah-mentah oleh Patriarkat Latin Yerusalem yang menyatakan gereja benar-benar bebas dari aktivitas pejuang.

Paus Fransiskus saat itu mengecam keras serangan ini dan menyebut tindakan tersebut sebagai pembunuhan "in cold blood".

Serangan ini menjadi simbol kegagalan Israel dalam membedakan target militer dan warga sipil, yang menjadi dasar utama dalam hukum konflik bersenjata.

3. Serangan Tank ke Gereja (Juli 2025)

Pada 17 Juli 2025, peluru tank Israel menghantam kompleks Gereja Holy Family, menyebabkan tiga orang tewas dan lebih dari sepuluh lainnya luka-luka, termasuk Pastor Gabriel Romanelli.

Sebagian besar korban adalah lansia dan petugas kebersihan gereja. Serangan ini terjadi ketika gereja masih menjadi tempat perlindungan bagi ratusan orang yang kehilangan tempat tinggal.

Serangan ini terjadi di siang hari dan mengenai bagian belakang gereja yang digunakan sebagai ruang perawatan anak-anak disabilitas.

Militer Israel menyebut serangan ini sebagai “kecelakaan” akibat fragmen peluru yang menyasar lokasi terdekat dari posisi Hamas.

Namun, banyak yang meragukan penjelasan ini, karena posisi gereja sudah diketahui dan dilaporkan ke PBB serta organisasi kemanusiaan internasional.

Serangan ini kembali membuktikan bahwa meskipun tempat ibadah telah dilindungi oleh hukum internasional, dalam praktiknya tidak ada jaminan perlindungan dari kebrutalan militer Israel.

4. Doktrin Militer Israel dan Strategi Escalation Dominance

Israel secara terbuka mengadopsi doktrin militer yang dikenal sebagai Dahiya Doctrine, yang memungkinkan penggunaan kekuatan besar terhadap infrastruktur sipil sebagai cara untuk memberikan tekanan pada kelompok bersenjata seperti Hamas.

Dalam kerangka ini, kerusakan pada bangunan sipil—termasuk tempat ibadah—bukan dianggap sebagai kegagalan, tetapi sebagai alat tekanan psikologis dan moral terhadap masyarakat Gaza.

Strategi ini digunakan untuk membuat masyarakat sipil menekan kepemimpinan Hamas agar menghentikan perlawanan.

Dengan dalih Hamas beroperasi di wilayah sipil, militer Israel menjustifikasi serangan terhadap fasilitas sipil yang "berdekatan" atau "berpotensi digunakan" Hamas.

Namun pendekatan ini sangat dikritik oleh lembaga HAM internasional karena membaurkan batas antara target militer dan warga sipil.

Gereja, dalam konteks ini, bisa menjadi korban dari pendekatan militer Israel yang sangat brutal dan mengedepankan penghancuran total tanpa evaluasi proporsional.

5. Kompleksitas Perang Asimetris di Gaza

Salah satu alasan yang sering dikemukakan Israel adalah Hamas menempatkan infrastruktur militer di dekat sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah.

Dalam situasi perang asimetris seperti di Gaza, pihak non-negara seperti Hamas tidak memiliki markas militer konvensional, sehingga bergerak di antara populasi sipil.

Israel sering menyatakan mereka hanya menyerang target yang diketahui digunakan oleh pejuang, namun pada kenyataannya sulit membedakan antara warga sipil dan pejuang, terutama di lingkungan padat penduduk seperti Gaza.

Namun, tetap menjadi kewajiban hukum Israel sebagai pihak dengan kekuatan militer dominan untuk memastikan serangan mereka tidak mengenai objek sipil yang dilindungi.

Ketika Israel menyerang dekat tempat ibadah tanpa bukti kuat bahwa tempat tersebut digunakan untuk aktivitas militer, maka tindakan tersebut tetap dianggap melanggar hukum internasional.

Pembenaran strategis tidak membebaskan mereka dari tanggung jawab kemanusiaan.

6. Aspek Hukum Humaniter Internasional

Dalam hukum humaniter internasional, terutama Konvensi Jenewa dan Statuta Roma, tempat ibadah termasuk gereja dan masjid adalah objek yang dilindungi, selama tidak digunakan untuk kegiatan militer.

Menyerang gereja tanpa bukti bahwa tempat itu digunakan untuk tujuan militer adalah kejahatan perang.

Pelanggaran terhadap prinsip distinction (pembedaan) dan proportionality (kesepadanan) adalah bentuk pelanggaran serius dalam hukum perang.

Jika terbukti Israel tidak melakukan verifikasi yang cermat atau melakukan serangan sembarangan, maka tindakan tersebut dapat diproses sebagai pelanggaran hukum perang.

Saat ini, sejumlah organisasi seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan bahkan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tengah memantau berbagai insiden di Gaza untuk menentukan apakah terdapat bukti cukup untuk membawa kasus ini ke ranah hukum internasional.

7. Reaksi Dunia Internasional

Insiden serangan ke gereja mendapat tanggapan luas dari berbagai pemimpin dunia. Paus Leo menyampaikan duka mendalam dan menyeru agar semua pihak menahan diri serta menghentikan serangan terhadap warga sipil.

Vatikan menilai bahwa serangan terhadap gereja adalah penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Pemerintah Italia menyatakan tidak ada teroris yang bersembunyi di dalam gereja, sehingga tidak ada alasan pembenaran bagi serangan brutal Israel tersebut.

Banyak negara anggota Uni Eropa juga menyerukan gencatan senjata dan pengiriman tim pemantau ke Gaza.

Kecaman global ini memperlihatkan tindakan militer Israel tidak dapat begitu saja dibenarkan atas nama perang melawan teror, terutama ketika menyasar objek-objek yang seharusnya netral dan suci.

Serangan terhadap gereja di Gaza oleh tentara Israel tidak bisa dipandang sebagai peristiwa kebetulan atau kecelakaan semata.

Dari segi hukum, moral, dan strategi militer, serangan ini mengandung unsur pelanggaran terhadap perlindungan sipil yang dijamin hukum internasional.

Gereja adalah tempat suci dan perlindungan, dan menjadikan tempat ini sebagai korban perang hanya menambah penderitaan warga sipil yang sudah kehilangan segalanya.

Israel memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk mencegah hal ini terulang kembali dan membuka jalur investigasi serta akuntabilitas terhadap tindakan militer mereka.

Dalam konflik yang penuh penderitaan ini, dunia memerlukan standar moral yang jelas: tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah bukanlah medan tempur.

Jika prinsip ini dilanggar, maka yang hancur bukan hanya bangunan, tapi juga harapan kemanusiaan itu sendiri.

Baca juga: Terungkap, Amerika Serikat Bisa Kehabisan Rudal Hanya dalam 8 Hari Berperang

Topik Menarik