Siapa Tony Blair? Mantan PM Inggris yang Lembaganya Terlibat Rencana Pembersihan Etnis Gaza Riviera Trump

Siapa Tony Blair? Mantan PM Inggris yang Lembaganya Terlibat Rencana Pembersihan Etnis Gaza Riviera Trump

Global | sindonews | Kamis, 10 Juli 2025 - 15:34
share

Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris, dikenal sebagai tokoh politik sentral dalam era modernisasi Partai Buruh Inggris melalui pendekatan "New Labour." Ia menjabat dari tahun 1997 hingga 2007.

Dia dikenal karena membawa Inggris menuju kemajuan ekonomi, memperkuat sektor publik, serta menjalin hubungan yang sangat erat dengan Amerika Serikat.

Reputasi Hancur

Salah satu warisan paling kontroversial dari masa jabatannya adalah dukungan penuh terhadap invasi Irak pada 2003, yang membuat reputasinya di dunia internasional—terutama dunia Arab—jatuh secara drastis.

Setelah mengundurkan diri dari jabatan politik formal, Blair beralih ke peran diplomatik dan filantropi global, salah satunya dengan menjadi utusan khusus Timur Tengah untuk "Quartet" (PBB, AS, Uni Eropa, Rusia) dari 2007 hingga 2015.

Dalam peran barunya, Blair memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi di Palestina, khususnya di Tepi Barat.

Ia berupaya membuka akses perbatasan, mendorong investasi, dan membangun kerangka infrastruktur sipil yang dianggap bisa menjadi jalan keluar dari kekerasan.

Namun, banyak pihak menilai Blair terlalu pro-Israel dan gagal memberikan hasil nyata bagi rakyat Palestina.

Pasca peran diplomatiknya, ia mendirikan Tony Blair Institute for Global Change (TBI), lembaga think tank dan konsultan kebijakan global yang bekerja di lebih dari 30 negara, termasuk kawasan Timur Tengah.

Di sinilah lembaganya belakangan dikaitkan dengan rencana pembangunan kontroversial yang disebut “Gaza Riviera” oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.

1. Latar Belakang dan Karir Politik

Tony Blair memulai karir politiknya sebagai anggota Partai Buruh dan dengan cepat menjadi figur sentral dalam transformasi politik Inggris pada akhir 1990-an.

Melalui doktrin “New Labour”, ia menggeser ideologi kiri klasik Partai Buruh menuju sentrisme pasar bebas, dan berhasil memenangkan tiga pemilu berturut-turut. Selama masa jabatannya, ia memperkenalkan reformasi besar dalam pendidikan, layanan kesehatan, dan hak-hak sipil.

Namun, popularitas internasionalnya mulai goyah setelah keputusan mendukung invasi ke Irak. Banyak kalangan mengecam Blair karena membenarkan perang atas dasar senjata pemusnah massal (WMD) yang tak pernah ditemukan.

Keputusan ini berdampak panjang pada pandangan dunia Arab terhadap dirinya.

Meski kontroversial, Blair tetap dipandang sebagai pemimpin yang berpengaruh di panggung global. Ia diangkat sebagai utusan khusus Timur Tengah oleh "Quartet" dan diberi tugas untuk membantu pembangunan ekonomi serta tata kelola Palestina.

Blair lebih banyak bekerja di Tepi Barat, mendorong pembangunan bisnis kecil, akses perbankan, dan diplomasi infrastruktur. Namun upayanya dinilai lambat dan terhambat oleh kompleksitas politik, terutama karena hubungan buruk dengan pihak Palestina dan fokusnya yang dianggap lebih menguntungkan Israel.

2. Tony Blair Institute for Global Change (TBI)

Setelah keluar dari tugas diplomatik formal, Tony Blair mendirikan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) pada 2016.

Lembaga ini bergerak di bidang penguatan tata kelola pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan strategi modernisasi negara-negara berkembang.

TBI membangun jaringan di berbagai negara, termasuk Nigeria, Rwanda, Arab Saudi, dan UEA. Fokus utamanya adalah membantu pemerintah memperkuat birokrasi dan layanan publik melalui pendekatan teknologi dan kebijakan pro-pasar.

Dalam praktiknya, TBI kerap bekerja sama dengan perusahaan konsultan besar seperti McKinsey, Boston Consulting Group (BCG), dan aktor-aktor bisnis besar lainnya.

Namun, TBI juga menuai kritik karena keterlibatannya dalam proyek-proyek yang kontroversial. Lembaga ini beberapa kali disorot karena memiliki relasi dengan pemerintah otoriter di Timur Tengah, termasuk dukungan teknis terhadap rezim yang memiliki catatan HAM buruk.

Beberapa pengamat juga mengkritik TBI karena tetap menjalin hubungan erat dengan korporasi dan donatur pro-Israel, yang dianggap bisa memengaruhi netralitas lembaga dalam urusan politik kawasan, khususnya Palestina.

3. Keterlibatan dalam Rencana “Gaza Riviera”

Keterlibatan TBI dalam proyek “Gaza Riviera” muncul ke publik melalui laporan eksklusif Financial Times dan The Guardian.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa lembaga konsultan Boston Consulting Group (BCG) mengembangkan proposal besar untuk merekonstruksi Gaza dengan membangun pelabuhan, resort, kawasan industri, dan infrastruktur modern.

Proyek ini dijuluki “The Great Trust”, dan dianggap sebagai bagian dari upaya Trump dan Netanyahu mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”—sebuah kawasan wisata dan investasi.

Masalah utamanya adalah, dalam rencana itu juga terdapat opsi relokasi massal warga Gaza ke negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania.

TBI dikabarkan terlibat dalam diskusi awal dan pembentukan rencana tersebut. Beberapa staf TBI dilaporkan hadir dalam pertemuan dan ikut membahas dokumen ekonomi dan teknis yang menjadi fondasi proposal.

Meskipun TBI membantah mereka menyetujui atau menandatangani proposal akhir, mereka mengakui telah membaca dokumen, memberikan masukan, dan “menjadi bagian dari diskusi profesional awal.”

Ketika rencana ini bocor dan menuai kritik internasional karena berpotensi menjadi bentuk pembersihan etnis terselubung, TBI mengeluarkan pernyataan mereka “tidak terlibat dalam ide relokasi” dan hanya fokus pada rencana rekonstruksi ekonomi Gaza.

4. Respons dan Kontroversi

Keterlibatan Tony Blair dan TBI dalam proyek ini segera memicu kemarahan banyak pihak, terutama kalangan aktivis Palestina, akademisi Timur Tengah, dan kelompok HAM internasional. Mereka menilai proyek “Gaza Riviera” bukanlah sekadar pembangunan ekonomi, tetapi bagian dari rencana sistematis untuk mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya.

Blair dianggap menyalahgunakan reputasinya sebagai tokoh pembangunan damai dengan ikut serta, langsung atau tidak langsung, dalam proyek yang berpotensi menjadi pembersihan etnis terselubung.

Banyak yang menyebut proyek itu sebagai bentuk “ethnic cleansing by economic means”.

TBI membela diri dengan menyatakan mereka hanya hadir dalam diskusi teknis dan tidak mengetahui rencana relokasi akan dimasukkan dalam proposal akhir.

Namun klaim ini ditanggapi dengan skeptisisme. Beberapa jurnalis investigatif mengungkap TBI menerima dana dari organisasi pro-Israel dan terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur yang mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Kritikus menyebut hubungan keuangan dan politik seperti ini menciptakan konflik kepentingan serius, yang melemahkan posisi moral lembaga seperti TBI dalam isu-isu Palestina.

5. Capaian & Posisi Resmi TBI

Di sisi lain, pendukung Blair dan TBI menyatakan lembaga tersebut telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan kelembagaan di banyak negara.

Dalam konteks Palestina, TBI memang mendorong pembangunan pelabuhan, infrastruktur teknologi, dan modernisasi sistem layanan publik.

Namun semua itu dilakukan dengan asumsi penduduk Gaza tetap tinggal di wilayah mereka. Posisi resmi TBI adalah menolak relokasi penduduk dan menekankan setiap pembangunan harus menghormati hak-hak rakyat Palestina di tanah mereka sendiri.TBI juga menyampaikan staf mereka yang hadir dalam diskusi awal proyek “Gaza Riviera” telah bertindak secara independen dan tidak mendapat mandat untuk menyetujui atau mewakili institusi. BCG, sebagai mitra dalam proyek ini, dilaporkan kemudian memecat beberapa staf internal karena terlibat dalam proyek tanpa izin resmi. Namun, kerusakan citra sudah terjadi.

Dalam banyak narasi media dan publik, nama Tony Blair kini dikaitkan dengan proyek yang dipandang sebagai skenario pengosongan paksa Gaza demi investasi dan kepentingan politik Israel dan AS.

6. Evaluasi Moral dan Dampak

Keterlibatan Tony Blair, baik secara langsung maupun melalui lembaganya, mengangkat pertanyaan besar tentang peran mantan pemimpin dunia dalam konflik yang masih berlangsung.

Apakah pemimpin seperti Blair, yang sebelumnya berperan dalam diplomasi damai, masih bisa dianggap netral ketika terlibat dalam proyek pembangunan yang memiliki konsekuensi politik besar?

Dalam kasus ini, posisi Blair tampak ambigu. Di satu sisi, ia mendorong pembangunan; di sisi lain, ia dituding memfasilitasi pembersihan etnis terselubung melalui jalur ekonomi dan infrastruktur.

Kritik terhadap Blair bukan hanya soal politik, tetapi juga soal etika dan moral. Dengan pengaruh dan reputasi yang ia miliki, kehadirannya dalam proyek semacam ini memberikan legitimasi diam-diam terhadap rencana yang bisa berdampak besar pada masa depan warga Gaza.

Hal ini menunjukkan dalam konflik modern, kekuatan tidak hanya datang dari tentara atau senjata, tetapi juga dari narasi, jaringan diplomatik, dan proyek ekonomi.

Apa yang terlihat sebagai pembangunan bisa jadi adalah bentuk kontrol dan kolonisasi baru. Dan dalam konteks itu, nama Tony Blair kini tak bisa dipisahkan dari kontroversi besar abad ke-21 ini.

Baca juga: 2 Negara Pendukung dan 12 Penentang Keras Rencana Gaza Riviera Trump