Hamas: Gaza Tak Akan Menyerah

Hamas: Gaza Tak Akan Menyerah

Global | sindonews | Rabu, 9 Juli 2025 - 21:05
share

Pejabat senior Hamas Izzat al-Rishq mengatakan bahwa Gaza tidak akan menyerah. Dia menegaskan perlawananlah yang akan menentukan syarat-syaratnya, bukan Israel.

Dalam pernyataan di akun Telegram miliknya, al-Rishq menggambarkan pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini — tentang pembebasan semua sandera dan penyerahan diri Hamas — sebagai cerminan dari "kekalahan psikologis dan delusi, bukan realitas medan perang."

Ia menambahkan bahwa "setelah para pemimpin musuh mengakui kegagalan total mereka dalam membebaskan tawanan melalui operasi militer, menjadi jelas bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan mereka adalah melalui kesepakatan serius dengan perlawanan."

Al-Rishq menekankan bahwa perlawanan Palestina telah memberlakukan dinamika dan kondisi baru di lapangan dan akan terus melakukannya. Sejak dimulainya kampanye militer Israel, yang terus berlanjut dengan dukungan penuh AS, pasukan pendudukan telah melakukan apa yang oleh kelompok hak asasi manusia digambarkan sebagai tindakan genosida di Gaza.

Serangan yang sedang berlangsung telah menewaskan atau melukai sekitar 194.000 warga Palestina — sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak — bersama dengan lebih dari 11.000 orang hilang dan ratusan ribu orang mengungsi.Baca Juga: Zohran Mamdani, Politisi Muslim Bergaya Bollywood Guncang AS

Sementara itu, seorang anggota utama tim hukum Israel dalam kasus genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) telah secara terbuka mengecam operasi terbaru militer Israel di Gaza sebagai "kejahatan perang nyata".

Profesor Eyal Benvenisti, pakar hukum internasional terkemuka dan direktur Lauterpacht Centre di Universitas Cambridge, turut menulis opini hukum yang pedas dan memperingatkan bahwa kebijakan Israel untuk "memusatkan dan memindahkan" penduduk Gaza secara paksa merupakan pelanggaran berat hukum internasional.

Diterbitkan pada 8 Juli di Haaretz, opini yang ditulis bersama filsuf hukum Profesor Chaim Gans ini mengecam kampanye IDF saat ini, yang dijuluki Operasi "Kereta Perang Gideon", sebagai kasus nyata pemindahan penduduk secara paksa, sebuah kejahatan yang dilarang berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat dan diklasifikasikan sebagai kejahatan perang sekaligus kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.

Benvenisti menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, pemindahan warga sipil selama masa perang hanya diperbolehkan dalam situasi yang sangat terbatas dan terdefinisi dengan jelas—terutama ketika sangat dibutuhkan untuk melindungi mereka dari bahaya langsung. Meskipun demikian, persyaratan yang ketat harus dipenuhi: evakuasi harus bersifat sementara, warga sipil harus dijamin rute aman dan akses bantuan, dan mereka harus diizinkan pulang setelah pertempuran berakhir.Menurut Benvenisti, perintah Israel saat ini untuk "memusatkan dan memindahkan" penduduk Gaza gagal memenuhi semua persyaratan ini. Alih-alih bertujuan melindungi warga sipil, rencana tersebut, menurutnya, dirancang untuk mengusir warga Palestina sepenuhnya dari Gaza.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan publik dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Kepala Staf IDF Moshe Ya'alon, yang secara terbuka menggambarkan kebijakan tersebut sebagai pengusiran permanen warga Palestina dari wilayah tersebut, yang merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.

Dalam pidato Knesset di bulan Mei, Netanyahu secara eksplisit mengatakan: "Kami semakin banyak menghancurkan rumah [mereka], mereka tidak punya tempat untuk kembali. Satu-satunya hasil yang jelas adalah keinginan warga Gaza untuk beremigrasi ke luar Jalur Gaza."

Para ahli hukum menafsirkan hal ini sebagai bukti langsung adanya niat untuk memindahkan warga sipil secara paksa, suatu tindakan yang menurut Benvenisti dapat dihukum berdasarkan hukum Israel dan internasional.

Pendapat tersebut mengacu pada preseden yang ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia dan menekankan bahwa hukum Israel sendiri, termasuk undang-undang tahun 1950, mendefinisikan deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk sipil sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.Yang paling penting, para penulis berpendapat bahwa perintah IDF "jelas melanggar hukum," melucuti hak pembelaan hukum apa pun bagi prajurit dan komandan berdasarkan doktrin "perintah atasan." Pasal 34M KUHP Israel, mereka menekankan, mewajibkan ketidakpatuhan terhadap perintah ilegal tersebut, yang menempatkan tanggung jawab hukum pada setiap tingkat komando, hingga dan termasuk Kepala Staf.

Perbedaan pendapat Benvenisti dengan posisi hukum pemerintah Israel sangat mencolok. Ia memainkan peran sentral dalam membela tindakan Israel di hadapan ICJ tahun lalu, ketika Afrika Selatan menuduh Israel melakukan genosida di Gaza.

Pendapat hukum ini muncul di saat kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pakar PBB telah memperingatkan bahwa tindakan Israel di Gaza, termasuk penghancuran rumah-rumah, penolakan bantuan kemanusiaan, dan pengungsian paksa yang berulang, memicu apa yang mungkin merupakan kampanye pembersihan etnis yang tak terelakkan.

Benvenisti dan Gans menyimpulkan bahwa "Tidak ada kewajiban moral atau hukum untuk mematuhi perintah tersebut, tetapi yang lebih penting: ada kewajiban moral—dan hukum—untuk tidak mematuhinya."

Topik Menarik