8 Kesamaan Ibrahim Traore dengan Muammar Gaddafi yang Ditakuti Barat

8 Kesamaan Ibrahim Traore dengan Muammar Gaddafi yang Ditakuti Barat

Global | sindonews | Jum'at, 20 Juni 2025 - 17:15
share

Ibrahim Traoré dan Muammar Gaddafi muncul dari konteks sosial-politik Afrika yang sedang bergejolak. Keduanya naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer, dengan mengusung agenda besar: membebaskan rakyat mereka dari cengkeraman pengaruh asing, memperkuat kedaulatan nasional, serta menata ulang struktur sosial dan ekonomi negara.

Meski berasal dari latar waktu dan negara yang berbeda, Traoré dari Burkina Faso (2022–sekarang) dan Gaddafi dari Libya (1969–2011), mereka menunjukkan sejumlah kesamaan mencolok yang mengingatkan dunia pada pola kepemimpinan yang menentang status quo global.

Pemimpin LibyaMuammar Gaddafi

Kedua tokoh ini juga sama-sama menyulut kekaguman dan kontroversi. Di satu sisi, mereka dipuji oleh sebagian rakyat dan pendukung anti-imperialisme karena keberanian dan sikap berani mereka terhadap Barat.

Di sisi lain, keduanya juga dikritik karena potensi otoritarianisme dan kebijakan keras terhadap oposisi.

Kesamaan Kedua Pemimpin

Dengan latar ini, mari kita telaah lebih dalam poin-poin kesamaan antara Ibrahim Traoré dan Muammar Gaddafi.

1. Anti-Kolonialisme dan Sentimen Anti-Barat

Baik Traoré maupun Gaddafi sama-sama dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme modern yang masih melekat dalam bentuk dominasi ekonomi, politik, dan militer oleh negara-negara Barat.

Gaddafi menentang keras campur tangan Amerika Serikat dan Eropa dalam urusan Timur Tengah dan Afrika, serta mendorong pengusiran pangkalan militer asing dari Libya.

Ia juga menjadi pendukung gerakan pembebasan di seluruh benua, termasuk ANC di Afrika Selatan dan gerakan kemerdekaan di Chad dan Eritrea.

Traoré, sebagai pemimpin muda Burkina Faso, mengambil sikap serupa terhadap Prancis, yang secara historis adalah penjajah negaranya.

Ia memutuskan kerja sama militer dengan Prancis dan mengganti dukungan asingnya ke Rusia dan negara-negara Afrika lainnya.

Dalam setiap pidatonya, ia mengangkat pentingnya kedaulatan sejati Afrika dan menolak "neo-kolonialisme", kekuasaan terselubung yang menurutnya masih mengatur negara-negara Afrika melalui utang, militer, dan korporasi asing.

2. Pan-Afrikanisme sebagai Visi Politik

Gaddafi menjadikan pan-Afrikanisme sebagai salah satu dasar ideologi politiknya. Ia mengusulkan pembentukan “United States of Africa”, konfederasi negara-negara Afrika yang bersatu secara politik dan ekonomi.

Ia juga mencetuskan ide mata uang tunggal Afrika berbasis emas dan menyerukan penghapusan ketergantungan Afrika terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank.

Traoré, meski belum seluas Gaddafi dalam menyusun struktur pan-Afrika formal, menunjukkan gejala yang sama: membangun aliansi dengan pemimpin junta militer Mali dan Niger, serta menyerukan blok militer dan ekonomi baru di wilayah Sahel yang terbebas dari kontrol negara-negara Barat.

Ia juga menggunakan simbolisme Afrika dalam retorikanya, serta menyerukan solidaritas antarnegara di kawasan yang terkena dampak konflik dan intervensi asing.

3. Naik Lewat Kudeta Militer yang Dipopulerkan sebagai “Revolusi Rakyat”

Gaddafi merebut kekuasaan di Libya melalui kudeta terhadap Raja Idris I pada tahun 1969, yang ia sebut sebagai revolusi rakyat untuk membebaskan Libya dari sistem monarki yang korup dan tunduk pada Barat.

Ia membentuk pemerintahan baru dengan ideologi yang diklaim berdasarkan sosialisme Islam dan demokrasi rakyat, meskipun dalam praktiknya kekuasaan sangat tersentralisasi pada dirinya.

Traoré naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer pada 2022, menggulingkan Presiden Paul-Henri Damiba.

Ia digambarkan sebagai sosok sederhana, dekat dengan rakyat, dan menyebut pemerintahannya sebagai lanjutan dari revolusi Thomas Sankara, pahlawan revolusioner Burkina Faso yang juga pernah menggulingkan kekuasaan korup dan pro-Barat.

Seperti Gaddafi, ia menggunakan bahasa revolusioner untuk memberi legitimasi pada kekuasaannya.

4. Gaya Kepemimpinan yang Karismatik dan Simbolik

Gaddafi dikenal dengan penampilan nyentrik, pidato retoris yang membakar semangat, serta pemanfaatan simbol-simbol budaya dan keagamaan untuk mengukuhkan citra dirinya sebagai pemimpin revolusioner sejati.

Ia menolak tinggal di istana, lebih memilih tenda Bedouin sebagai simbol kesederhanaan dan keterikatan pada akar rakyatnya. Ia juga membangun personifikasi sebagai “Raja Raja Afrika” dan pemimpin moral dunia Islam-Afrika.

Traoré tampil sebagai sosok karismatik dalam balutan pakaian militer dan senyum yang jarang pudar. Ia sering terlihat berada di antara pasukan garis depan melawan kelompok teroris, dan menggunakan gaya komunikasi yang sederhana namun tegas.

Ia juga menjadikan simbol-simbol lokal seperti kerajinan dan bendera tradisional dalam pertemuan politik untuk menunjukkan keterikatannya dengan budaya asli rakyatnya.

5. Nasionalisasi Sumber Daya Alam dan Kedaulatan Ekonomi

Gaddafi mengambil langkah tegas dalam nasionalisasi sumber daya Libya, khususnya minyak, yang sebelumnya dikendalikan perusahaan-perusahaan asing.

Dengan pendapatan minyak, ia membiayai program sosial, kesehatan, pendidikan, serta mendukung pembangunan di negara-negara Afrika lainnya.

Ini menjadikan Libya sebagai salah satu negara dengan tingkat pembangunan manusia terbaik di Afrika sebelum tahun 2011.

Traoré, dengan sumber daya emas dan logam langka di Burkina Faso, juga mulai mendorong kebijakan serupa.

Ia mengusulkan agar perusahaan tambang asing diregulasi lebih ketat, dan sebagian kontraknya ditinjau ulang.

Ia menekankan pentingnya kedaulatan ekonomi dan pembagian hasil sumber daya secara adil, khususnya untuk mendanai pendidikan dan sektor pertanian rakyat kecil.

6. Penggunaan Retorika “Kedaulatan Rakyat” dan Anti-Elitisme

Gaddafi dan Traoré sama-sama memosisikan diri sebagai anti-elit, anti-korupsi, dan wakil dari rakyat kecil.

Gaddafi dalam Green Book-nya menolak demokrasi parlementer gaya Barat, menyebutnya sebagai bentuk tirani elit, dan mengusulkan sistem komite rakyat. Traoré menyerukan pembaruan struktural dalam pemerintahan Burkina Faso, menolak pengaruh elite politik lama, dan mengangkat perwira muda dan aktivis sipil ke dalam sistem kekuasaan.

Keduanya juga mengkritik sistem internasional yang menurut mereka hanya melayani negara-negara kaya dan kuat.

Dalam pidato-pidatonya, Traoré menyebut organisasi-organisasi global seperti IMF dan PBB tidak pernah berpihak pada rakyat Afrika.

Ini mencerminkan semangat Gaddafi yang selama puluhan tahun menyerukan reformasi radikal terhadap tata dunia internasional.

7. Pendekatan Keamanan Berbasis Militer dan Potensi Otoritarianisme

Kedua pemimpin menghadapi situasi keamanan yang sulit: Gaddafi menghadapi tekanan eksternal dan pemberontakan internal; Traoré memimpin negara yang dikepung kelompok jihad dan konflik etnis.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, keduanya menggunakan kekuatan militer sebagai alat utama untuk mempertahankan stabilitas.

Ini membawa hasil di satu sisi, tapi juga membuka jalan pada kritik terhadap pendekatan otoriter dan pembatasan kebebasan sipil.

Di Libya, Gaddafi membungkam lawan politik, membatasi media, dan membangun jaringan intelijen domestik yang luas.

Di Burkina Faso, Traoré telah menangguhkan pemilu dan memperpanjang masa transisi, dengan alasan bahwa prioritas utama adalah stabilitas dan keamanan.

Aktivitas jurnalis dan aktivis sipil dibatasi, dan suara oposisi diredam dengan dalih keselamatan nasional.

8. Dukungan dari Rakyat Kecil dan Kalangan Muda

Gaddafi dan Traoré sama-sama mendapat simpati besar dari kalangan rakyat miskin, petani, dan anak muda yang merasa terpinggirkan oleh sistem lama. Di era awal kekuasaannya, Gaddafi digandrungi karena membawa layanan kesehatan dan pendidikan gratis.

Traoré juga mendapat pujian dari kaum muda Burkina Faso yang memandangnya sebagai simbol harapan baru, seorang tentara muda yang bangkit dari bawah untuk menantang ketidakadilan sistem lama.

Keduanya memanfaatkan media nasional, simbol-simbol perjuangan, dan gaya hidup sederhana untuk mengokohkan citra sebagai pemimpin rakyat.

Meski demikian, dukungan ini juga diuji oleh situasi ekonomi, keamanan, dan tekanan luar negeri yang terus berkembang.

Kesamaan antara Ibrahim Traoré dan Muammar Gaddafi bukan sekadar kebetulan historis, melainkan cerminan dari dinamika kekuasaan dan perjuangan di Afrika, di mana rakyat kerap merindukan pemimpin yang tegas, nasionalis, dan anti-Barat.

Kedua pemimpin ini muncul di saat bangsa mereka berada dalam tekanan luar biasa, baik secara militer, ekonomi, maupun ideologis.

Mereka mengambil jalan berani, kadang kontroversial, untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan membentuk arah baru yang mereka yakini lebih adil dan mandiri.

Namun sejarah juga memperingatkan bahwa jalan revolusioner kerap berujung pada konflik baru jika tidak diiringi dengan reformasi kelembagaan dan ruang dialog yang sehat.

Gaddafi akhirnya tumbang akibat intervensi asing yang tidak suka dengan kepemimpinannya.

Masa depan Traoré masih terbuka, tetapi tantangan yang ia hadapi mengingatkan kita bahwa semangat revolusioner harus diseimbangkan dengan kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam mengelola kekuasaan.

Baca juga: Trump Setuju AS Serang Iran secara Langsung, tapi Kapan?

Topik Menarik