White Paper Baru China Hindari Kata Tibet, Diganti dengan Xizang

White Paper Baru China Hindari Kata Tibet, Diganti dengan Xizang

Global | sindonews | Senin, 21 April 2025 - 11:08
share

China merilis Buku Putih (White Paper) terbarunya tentang Tibet, berjudul “Hak Asasi Manusia di Xizang di Era Baru”, pada 28 Maret lalu. Partai Komunis China (CCP) menyebut tanggal tersebut sebagai "Hari Emansipasi Pekerja”, merujuk pada peringatan pembubaran pemerintah Tibet yang sah oleh CCP pada tahun 1959.

Setelah 70 tahun berkuasa, legitimasi China di Tibet tetap menjadi masalah internasional yang belum terselesaikan. Situasi ini disorot oleh fakta bahwa ini adalah White Paper ke-18 China tentang Tibet. Itu lebih banyak daripada yang pernah dibuat negara lain tentang wilayah yang diklaimnya. Penerbitan White Paper yang berlebihan hanya memperkuat citra rezim yang rapuh yang menggunakan propaganda serta disinformasi.

“Buku Putih tersebut menunjukkan seberapa jauh CCP akan memaksakan kebohongannya yang terang-terangan kepada rakyatnya dan masyarakat internasional, serta secara keliru menggambarkan Tentara Pembebasan Rakyat China sebagai pembebas Tibet dari pasukan imperialis dan penguasa feodal,” ucap Dr Arya Tsewang Gyalpo, Perwakilan Kantor Penghubung Yang Mulia Dalai Lama untuk Jepang dan Asia Timur, dalam keterangan di Japan Forward, Senin (21/4/2025).

“Beijing telah menyerang dan mendistorsi konsep hak asasi manusia untuk melegitimasi genosida yang dilakukannya—dan terus dilakukan di Tibet dan wilayah pendudukan lainnya,” sambungnya.

“China tidak menjadi negara adikuasa yang dapat menginspirasi karena mendistorsi realitas dan fakta sejarah serta menyebarkan disinformasi,” tutur Arya.

Menghapus Tibet Melalui Bahasa

Kali ini, tidak seperti Buku Putih sebelumnya, China telah melakukan upaya disengaja untuk menghindari penggunaan kata "Tibet”. Sebaliknya, China menggunakan nomenklaturnya sendiri, Xizang, untuk menyebut Tibet.

Ini mencerminkan perubahan kebijakan yang disengaja: menghapus Tibet secara historis—U-Tsang, Amdo, dan Kham—dan menggantinya dengan Daerah Otonomi Tibet, yang kini telah diubah namanya oleh Beijing menjadi Daerah Otonomi Xizang.

Buku Putih terbaru terdiri dari delapan bab dan pernyataan penutup. Buku Putih tersebut berfokus pada tema hak asasi manusia dan perlindungan hak demokrasi, ekonomi, dan sosial, budaya, kebebasan beragama, dan lingkungan hidup rakyat secara efektif. Akan tetapi, ada banyak fakta yang disembunyikannya.

Bandingkan dengan Buku Putih pertama tentang Tibet yang diterbitkan pada tahun 1992. Buku Putih tersebut berjudul "Tibet—Kepemilikannya dan Situasi Hak Asasi Manusia”. Tidak peduli seberapa muluk dan bohong isinya, setidaknya Buku Putih tersebut masih membahas tentang Tibet.

Kedok Hak

Buku Putih 2025 dibuka dengan pernyataan:

“Merupakan aspirasi manusia yang umum bagi setiap individu untuk sepenuhnya menikmati hak asasi manusia mereka. Ini juga merupakan tujuan masyarakat China dari semua kelompok etnis, termasuk mereka yang berada di Daerah Otonomi Xizang.”

Andai saja itu benar.

Ya, pernyataan tersebut menggemakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah ditandatangani oleh China, dan bahkan konstitusi China. Namun, apakah rezim tersebut mempraktikkan apa yang dikhotbahkannya?

Lebih dari 157 warga Tibet telah membakar diri, menuntut hak-hak yang menurut China dilindungi. Liu Xiaobo, Pemenang Nobel Perdamaian 2010, meninggal saat mencari mereka untuk rakyat China.

“Orang-orang masih disiksa atau dihilangkan hanya karena memiliki foto Dalai Lama, atau karena berbicara tentang pentingnya bahasa, budaya, dan agama Tibet,” sebut Arya.

“Rezim tersebut meremehkan Yang Mulia Dalai Lama dan warga Tibet sebagai separatis dan anti-China. Bahkan mencoba memberikan informasi yang salah kepada rakyat China,” lanjutnya.

Arya mengatakan bahwa China telah menyembunyikan proposal Tibet tahun 2008—Memorandum tentang Otonomi Sejati bagi Rakyat Tibet—dari warga negaranya sendiri. Pendekatan "Jalan Tengah" yang damai ini untuk hidup berdampingan dengan China tetap disensor, bertentangan dengan klaim pemerintah tentang transparansi dan pluralisme.

Persatuan dengan Kekuatan, Bukan Persetujuan

Bahasa Buku Putih tersebut juga membingkai semua orang non-Han hanya sebagai "orang China”. Namun, China bukanlah negara-bangsa yang bersatu. Ini adalah kekaisaran neo-kolonial yang terdiri dari orang-orang yang dipaksa masuk.

Seharusnya ada lima kebangsaan berbeda dengan 56 kelompok etnis, termasuk Han China. Semua kebangsaan ini bukan orang Chinaーada orang Tibet, Mongolia, Turkistan Timur (Uyghur), Manchu, dan lainnya. Bahkan menurut logika Marxis-Leninis, ini bukan "etnis minoritas”. Catatan sejarah dan bahkan Tembok Besar menunjukkan di mana “China” secara historis berakhir.

Selain itu, White Paper terbaru juga mengeklaim Inggris menginvasi "Xizang" dua kali setelah Perang Candu, "menimbulkan ancaman signifikan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial China.” Itu salah, menurut Arya.

”Inggris memasuki Tibet sekali, pada tahun 1903, di bawah ekspedisi Younghusband. Pada saat itu, China sendiri diduduki oleh rezim Manchu Qing, yang tidak memiliki kehadiran administratif di Tibet. Tibet bernegosiasi dan berjuang sendirian,” jelasnya.

Klaim salah lainnya: Orang Tibet menikmati hak demokrasi penuh. Jika memang demikian, lanjut Arya, mengapa tidak ada orang Tibet yang pernah ditunjuk sebagai Sekretaris Partai Daerah Otonomi Tibet?

Semua posisi kepemimpinan utama tetap berada di tangan orang China Han. Sementara itu, komunitas pengasingan Tibet—yang tidak diakui oleh Beijing—telah membangun lembaga-lembaga demokrasi yang dihormati di seluruh dunia.

Suara yang Dibungkam dan Masa Kecil yang Dicuri

Buku Putih tersebut membanggakan tentang transparansi dan partisipasi publik melalui platform internet tempat orang dapat mengekspresikan pendapat mereka. Namun, ini semua hanyalah propaganda.

Misalnya, area tersebut dikunci selama gempa bumi Shigatse baru-baru ini. Lebih dari 20 warganet Tibet dilarang berbagi informasi. Jika hak atas informasi dihormati, orang-orang seperti Gonpo Kyi tidak akan dihalangi untuk mengetahui nasib saudaranya, Dorjee Tashi. Seharusnya tidak ada kasus orang yang menghilang dan meninggal dalam dan setelah ditahan.

Mengenai pendidikan, Buku Putih tersebut mengeklaim hak bahasa Tibet dilindungi dan bahwa kehadiran di sekolah asrama adalah opsional. Pada kenyataannya, hampir satu juta anak Tibet dipisahkan dari keluarga dan budaya mereka dan ditempatkan di sekolah asrama yang dikelola oleh orang China di mana bahasa dan sejarah Tibet sendiri tidak ada dalam kurikulum.

Pada 2020, bahasa Mandarin dijadikan bahasa pengantar utama di semua sekolah dasar dan menengah. Jika orang Tibet benar-benar dilindungi, mengapa Tashi Wangchuk dipenjara karena secara damai mengadvokasi pelestarian bahasa Tibet?

”Jika apa yang dikatakannya benar, China akan membiarkan pelapor internasional mengunjungi sekolah asrama tersebut untuk melihat sendiri,” kata Arya.

Tak Ada Kebebasan Beragama

Menurut White Paper, "Xizang mengizinkan kelompok agama untuk mengelola urusan mereka sendiri." Itu seharusnya berarti bahwa orang Tibet menikmati kebebasan beragama. Namun, di Tibet, tidak ada kebebasan beragama.

Pusat-pusat biara besar seperti Larung Gar dan Yachen Gar telah dihancurkan. Patung-patung keagamaan telah dirobohkan. Anak-anak dilarang memasuki biara. Perintah seperti No 5 (2007) dan No 19 (2024) memberi CCP kekuasaan untuk mencampuri reinkarnasi dan penunjukan agama—sesuatu yang tidak akan diterima oleh masyarakat yang benar-benar bebas beragama.

”Jika menghormati kebebasan beragama, China harus mengungkap keberadaan Panchen Lama yang hilang, Gedhun Choekyi Nyima. Dan harus menjelaskan kematian biksu Tibet yang sangat dihormati, seperti Hungkar Rinpoche, yang meninggal di Vietnam,” tegas Arya.

Eksploitasi Alam

Dalam Bab VI, White Paper memuji pengelolaan lingkungan China di Tibet. Namun selama berabad-abad, orang Tibet memiliki undang-undang perlindungan lingkungan mereka sendiri. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, melindungi aliran air tawar ke Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, China, Myanmar, Thailand, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Apa yang telah dilakukan China? China telah membendung sebagian besar sungai yang mengalir dari Tibet, membahayakan seluruh wilayah tersebut. Bendungan tersebut telah menyebabkan kerusakan ekologi yang sangat besar dan menggusur lebih dari 23 juta orang. Bendung itu menempatkan hak-hak riparian negara-negara lain pada belas kasihan "kebijakan keran air terbuka dan tertutup" China.

Sementara itu, aktivis lingkungan Tibet seperti Tsongon Tsering, Karma Samdup, Dhongye, dan Anya Sengdra, telah dipenjara dan disiksa karena berbicara. Jika China benar-benar menghargai hak lingkungan, mereka akan membebaskan para aktivis ini.

Kebohongan yang Diulang Ribuan Kali

Buku Putih itu diakhiri dengan klaim "Peningkatan Tetap dalam Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia" dan supremasi hukum. Kenyataannya, orang Tibet terus ditangkap, disiksa, dan dijatuhi hukuman secara sewenang-wenang tanpa proses hukum yang semestinya.

Sebelum dapat berbicara secara sah tentang supremasi hukum di Tibet, China harus terlebih dahulu mengungkapkan keberadaan Panchen Lama, kata Arya. Demikian pula, China harus menjelaskan apa yang terjadi pada Tulku Tenzin Delek Rinpoche dan Hungkar Dorje Rinpoche, dan menjelaskan status terkini Tashi Wangchuk dan Dorjee Tashi.

Mungkin kalimat yang paling terbuka dalam buku putih itu adalah ini: "Kebohongan yang diulang seribu kali tetaplah kebohongan." Hal ini secara langsung bertentangan dengan diktum Mao Zedong yang terkenal: "Kebohongan yang diulang seratus kali menjadi kebenaran."

”CCP telah mengikuti diktum Mao selama tujuh dekade. Disengaja atau tidak, dengan membalikkannya, laporan tersebut mengakui bahwa isi buku putihnya, pada kenyataannya, adalah sebuah kebohongan,” ungkap Arya.

“Suara untuk yang Tak Bersuara”

White Paper tersebut ditutup dengan mengeklaim, "Hak asasi manusia yang utama adalah bahwa orang dapat menjalani kehidupan yang bahagia." Yang Mulia Dalai Lama, telah berkata berkali-kali, "Jika orang Tibet di Tibet bahagia, maka kita tidak punya argumen."

Dalam bukunya Voice for the Voiceless, Dalai Lama menulis: "Jika China ingin Tibet tetap bersama China, maka China harus menciptakan kondisi yang diperlukan untuk ini. Sekarang saatnya bagi China untuk menunjukkan jalan bagi Tibet dan China untuk hidup bersama dalam persahabatan."

Jika para pemimpin China serius dalam menyelesaikan konflik China-Tibet, mereka harus memperhatikan kata-kata Dalai Lama. Dia menjelaskan, "Tibet saat ini masih merupakan wilayah pendudukan, dan hanya orang Tibet yang dapat memberikan atau menolak legitimasi atas keberadaan China di dataran tinggi Tibet."

”Daripada menerbitkan dokumen resmi yang penuh dengan disinformasi, China harus terlibat dengan warga Tibet dalam dialog bermakna,” ucap Arya,

”Hanya dengan menghormati sentimen warga Tibet dan berbicara langsung dengan mereka, solusi yang dapat disetujui bersama dan langgeng dapat dicapai,” pungkasnya.

Topik Menarik