Krisis Populasi, Banyak Warga dan Ekspatriat Tinggalkan Kota Shanghai

Krisis Populasi, Banyak Warga dan Ekspatriat Tinggalkan Kota Shanghai

Global | sindonews | Senin, 3 Maret 2025 - 11:49
share

Baru-baru ini, Shanghai mengalami eksodus besar-besaran, dengan sepertiga penduduknya meninggalkan kota terpadat di China tersebut.

Mengutip dari editorial Greek City Times edisi Senin (3/3/2025), Shanghai yang dulu ramai itu kini menghadapi transformasi mencolok karena banyak warga asing pergi dari sana, dan rumah-rumah kosong berjejer untuk dijual. Aktivitas bisnis di Shanghai relatif mandek, dan banyak warga mengurangi pengeluaran, yang menyebabkan kesulitan bagi ekonomi riil.

Jalan-jalan di Shanghai menjadi sangat sepi, menyerupai kota hantu. Kondisi sepi ini seolah memperlihatkan suasana mirip seperti dunia lain, seolah-olah Shanghai telah dipindahkan ke alam berbeda.

Warga Shanghai mencatat bahwa banyak orang telah pergi awal tahun ini untuk kembali ke kampung halaman mereka. Pada pukul 19.30 malam, jalan-jalan di Shanghai tampak benar-benar sepi. Di dekat stasiun kereta bawah tanah, yang biasanya ramai dengan penumpang, tidak ada seorang pun yang terlihat. Kondisi ini memastikan bahwa Shanghai telah mengalami transformasi yang signifikan.

Warga negara asing atau ekspatriat tidak lagi banyak terlihat di Shanghai seperti dulu. Banyak juga yang telah pergi, dan jalan-jalan tidak lagi sama. Dulu, orang asing ada di mana-mana, tetapi kini hanya sedikit di pusat kota. Di pinggiran kota Shanghai, mereka hampir tidak ada.

Pemilik toko dan restoran di Shanghai telah menguatkan kenyataan suram ini, dengan mengamati bahwa usaha fisik menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, sejumlah besar profesional dari generasi pasca-1980-an yang bekerja di sejumlah perusahaan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Situasi di Shanghai

Jadi, seberapa buruk situasi di Shanghai? Hampir 5 juta warga non-lokal telah meninggalkan kota itu. Sebelumnya, Shanghai memiliki populasi permanen sebesar 26 juta, tetapi kini telah turun menjadi sekitar 20 juta.

Pada November 2024 saja, tingkat pertumbuhan penjualan ritel Shanghai anjlok hingga 24,4 poin persentase, turun menjadi minus 13,5 persen.

Para ekonom mencatat bahwa sejak tahun 2024, belanja konsumen China secara keseluruhan, sebagaimana tercermin dalam total penjualan ritel, tetap lemah. Kota-kota lapis pertama seperti Beijing dan Shanghai telah mengalami pertumbuhan ritel yang lebih lemah, dengan penurunan tahunan selama beberapa bulan.

Shanghai dan Beijing masing-masing mencatat pertumbuhan ritel negatif selama sembilan dan tujuh bulan berturut-turut. Pada November 2024 saja, penurunan tahun ke tahun di kedua kota ini melebihi 10 persen.

Seorang analis pasar menunjukkan bahwa salah satu alasan utama penurunan tajam pertumbuhan ritel Shanghai adalah penarikan perusahaan asing dari China dalam beberapa tahun terakhir.

Hengkangnya para profesional berpenghasilan tinggi yang pernah tinggal di kota-kota ini secara langsung telah melemahkan belanja konsumen.

Ekonom di Namura China menganalisis lebih lanjut bahwa dalam keadaan normal, kaum muda memiliki daya beli yang lebih kuat daripada orang tua.

Namun, karena kemerosotan ekonomi menyusutkan kesempatan kerja di kota-kota besar, terjadi pergeseran populasi. Kaum muda meninggalkan kota-kota seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou untuk mencari peluang yang lebih baik di tempat lain.

Kemerosotan ekonomi juga berdampak buruk pada tempat makan mewah dan konsumsi mewah, yang semakin melemahkan pasar konsumen di Beijing dan Shanghai. Dengan tutupnya perusahaan dan berkurangnya kesempatan kerja, banyak penduduk non-lokal, terutama pekerja muda yang tidak lagi mampu membayar biaya hidup Shanghai yang tinggi, berbondong-bondong meninggalkan kota.

Mengingat kontrol ketat Partai Komunis China (CCP) atas data, sulit untuk mengetahui sejauh mana sebenarnya situasi ini. Jika arus keluar penduduk nonlokal terus berlanjut, siapa yang akan membeli rumah di Shanghai? Harga perumahan di kota tersebut mungkin akan terus anjlok.

Hilangnya Populasi

Selain migrasi dari kota-kota besar ke kota-kota kecil, arus keluar penduduk China secara keseluruhan juga meningkat. Semakin banyak elite kaya China yang beremigrasi. Seorang pria lokal berkomentar, “Data ini mengerikan. Pada Februari tahun lalu saja, 380.000 orang di Shanghai sedang dalam proses imigrasi, membawa serta aset setidaknya 48 miliar yuan (sekitar USD6,57 miliar).”

“Setiap tahun, tidak kurang dari 15.000 jutawan meninggalkan China. Orang-orang ini menghasilkan uang di China dan kemudian segera pergi. Mereka tidak hanya mentransfer miliaran dolar ke luar negeri; mereka juga membawa serta sejumlah besar keahlian teknologi,” ungkapnya.

Data tersebut berasal dari laporan oleh AfrAsia Bank dan kemungkinan merupakan perkiraan konservatif—angka sebenarnya bisa jadi lebih tinggi. Selain itu, imigrasi jutawan China mencakup 15 persen dari total imigran kaya di dunia.

Satu hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, 60 persen dari 100 orang terkaya di China telah menunjukkan niat untuk pergi. Jika melihat Daftar Orang Terkaya China versi Hurun, banyak dari orang-orang superkaya ini mungkin masih memegang kewarganegaraan China, tetapi pada kenyataannya, hati, uang, dan bahkan keberadaan fisik mereka sudah berada di luar China.

Hilangnya populasi juga membuat sistem pendidikan dan pendaftaran rumah tangga (hukou) Shanghai yang dulunya sangat didambakan menjadi kurang diminati. Banyak orang mengatakan bahwa mereka mendengar banyak taman kanak-kanak dan sekolah dasar di Shanghai ditutup karena angka kelahiran yang rendah.

Dengan jumlah bayi yang terlalu sedikit, Shanghai berupaya menarik orang dan pekerja migran. Warga di kota itu tidak perlu lagi meninggalkan anak-anak mereka di kampung halaman.

Sebaliknya, warga Shanghai saat ini dapat mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah umum Shanghai, yang memungkinkan mereka menyelesaikan pendidikan hingga ujian masuk perguruan tinggi nasional.