Pangeran Arab Saudi: Rencana Trump Caplok Gaza Tak Laku di Mana Pun, Rencana Marshall Solusinya
Pangeran Turki al-Faisal dari Kerajaan Arab Saudi telah menyerukan Rencana Marshall yang dipimpin Amerika Serikat (AS) sebagai solusi untuk Gaza yang hancur dibombardir Israel.
Dia tetap menolak rencana Presiden AS Donald Trump yang akan mengambil alih Gaza dengan merelokasi paksa warga Palestina dari wilayah itu ke Mesir dan Yordania. Menurutnya, rencana itu "tidak laku di mana pun."
Berbicara di Konferensi Keamanan Munich, mantan kepala intelijen Arab Saudi tersebut menolak usulan Trump sebagai hal yang tidak dapat dilaksanakan dan sebaliknya mendesak Washington untuk membantu rekonstruksi Gaza sambil mengizinkan penduduknya tetap tinggal di tanah air mereka.
"Tempat ini penuh dengan alternatif," kata Pangeran Turki al-Faisal dalam sebuah wawancara dengan Hadley Gamble dari Al Arabiya News, yang dilansir Minggu (16/2/2025).
“Ada Prakarsa Perdamaian Arab, yang merupakan alternatif yang sangat komprehensif yang akan mempertimbangkan penyelesaian akhir konflik antara Israel dan negara-negara tetangga Arabnya,” ujarnya, menyebutkan salah satu contoh solusi untuk Gaza.
Dia melanjutkan: “Mereka dapat mempertimbangkan untuk melakukan Gaza sesuai dengan Rencana Marshall di Eropa setelah Perang Dunia II. Amerika membangun kembali seluruh benua, apalagi sepetak kecil Gaza ini. Dan orang-orang tetap tinggal di tempat itu, mereka tidak memindahkan orang Eropa keluar dari Eropa untuk membangunnya.”
Komentar pangeran senior Arab Saudi ini muncul beberapa hari setelah Trump mengumumkan rencananya untuk mengambil alih Gaza dan mengusir penduduk Palestina. Berbicara dalam konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengusulkan untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”–tanpa penduduknya saat ini.
“Mereka dapat pindah ke Yordania atau Mesir atau negara lain,” kata Trump saat itu, meskipun kedua negara dengan tegas menolak gagasan tersebut.Tanggapan Pangeran Turki al-Faisal di Munich tegas. “Rencana Trump tidak laku di mana pun,” katanya.
“Jika mereka harus dipindahkan dari Gaza, mereka harus diizinkan untuk kembali ke rumah mereka dan ke kebun jeruk dan zaitun mereka di Haifa, Jaffa, dan kota-kota serta desa-desa lain tempat mereka melarikan diri atau diusir paksa oleh Israel,” paparnya.”
Amerika Harus Akui Kerugian Palestina
Kerajaan Saudi juga mengeluarkan teguran tajam terhadap kemarahan Washington atas kematian warga sipil Israel, mengingatkan AS bahwa Palestina telah menanggung beban konflik–sering kali di tangan senjata buatan Amerika.“Saya berharap orang Amerika juga mengingat bahwa sebelum 7 Oktober, dan sejak 7 Oktober, orang-orang yang paling banyak tewas adalah orang Palestina dengan senjata Amerika,” kata Pangeran Turki al-Faisal, yang merupakan putra almarhum Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud.
“Jadi jika akan ada quid pro quo—orang Amerika tewas, orang Palestina tewas, dan seterusnya—kita tidak akan pernah mengakhiri situasi dan mencapai solusi akhir. Saya pikir kita harus menantikan masa depan,” ujarnya.
Serangan Hamas pada 7 Oktober, yang menewaskan 1.200 warga Israel dan warga negara asing serta menyandera lebih dari 240 orang, memicu pengeboman berkelanjutan Israel di Gaza, yang menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan di Jalur Gaza.
Washington tetap teguh dalam dukungan militernya terhadap Israel, menyetujui penjualan senjata senilai miliaran dolar meskipun mendapat kecaman internasional.
Arab Saudi Isyaratkan Keterbukaan terhadap Trump
Meskipun menolak rencana Trump untuk Gaza, Pangeran Turki al-Faisal mengakui bahwa presiden AS tersebut telah menunjukkan minat baru untuk terlibat dengan Arab Saudi.Dia menyambut baik usulan pertemuan puncak Riyadh untuk memediasi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina, menyebutnya sebagai "penemuan yang bagus" dan mencatat bahwa Arab Saudi "telah menyambut baik" pertemuan tersebut.
"Trump telah memiliki pengalaman dengan kami sejak masa jabatan pertama," katanya.
"Dia mengatakan ingin mengunjungi wilayah tersebut, dan saya akan mendorongnya untuk melakukan itu. Dia ingin lebih banyak terlibat, misalnya, dengan Arab Saudi."
Gamble bertanya kepada sang pangeran apakah penyelesaian damai Palestina dapat ditengahi di Riyadh. Jawabannya? "Mengapa tidak?"
Tepuk Tangan yang Diredam untuk Pidato Wapres AS
Di luar Gaza, Pangeran Turki al-Faisal juga mengarahkan pandangannya pada pemerintahan baru AS, dengan menyampaikan kritik terselubung terhadap Wakil Presiden JD Vance, yang pidato bombastisnya di Munich mengejutkan para pemimpin Eropa.Vance, yang berpidato pada hari Jumat, menyampaikan pidato berapi-api yang menyerang pemerintah Eropa atas migrasi massal, pelanggaran kebebasan berbicara, dan pemilihan umum, sambil menghindari pembahasan terperinci tentang pertahanan atau keamanan.
"Ancaman yang paling saya khawatirkan terhadap Eropa bukanlah Rusia," kata Vance. "Bukan China, bukan aktor eksternal lainnya. Dan yang saya khawatirkan adalah ancaman dari dalam—mundurnya Eropa dari beberapa nilai paling fundamentalnya, nilai-nilai yang dianut Amerika Serikat."
Pangeran Saudi tersebut menggambarkan suasana di ruangan itu sebagai suasana yang tidak tenang, dan mengatakan pidatonya tidak diterima dengan baik oleh para hadirin.
"Ada tepuk tangan, tetapi sangat sedikit," katanya. "Dan saya tidak tahu apakah ada yang merasakan apa yang saya rasakan, tetapi yang pasti itu adalah tanda bahwa kata-katanya tidak mendapat tepuk tangan yang mungkin diharapkannya atau diinginkannya."
“Dan saya rasa dia tidak menginginkan tepuk tangan,” ujarnya.
Pidato Vance yang bergaya “MAGA [Make America Great Again]” sudah diduga untuk fokus pada keamanan, tetapi sebaliknya, Wapres Vance melontarkan kritik pedas terhadap pemerintah Eropa, menuduh mereka mengekang kebebasan berbicara, mengabaikan kebebasan beragama, dan membatalkan pemilu.
Sembilan hari sebelum pemilu nasional di Jerman, dia menanggapi perdebatan sengit di negara itu seputar partai politik arus utama yang menempatkan apa yang disebut "tembok api" untuk tidak bekerja sama dengan partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD).
"Demokrasi bertumpu pada prinsip sakral bahwa suara rakyat itu penting," kata Vance. "Tidak ada ruang untuk tembok api. Anda harus menegakkan prinsip itu atau tidak."
Wapres AS juga mengangkat kasus di mana seorang veteran Inggris yang berdoa dalam hati di luar klinik aborsi dihukum karena tindak pidana, dan contoh-contoh polisi Inggris yang memenjarakan warga negara karena tweet yang mengkritik migrasi, atau insiden teror.
"Di Washington, ada sheriff baru di kota ini," kata Vance. “Di bawah kepemimpinan Donald Trump, kami mungkin tidak setuju dengan pandangan Anda, tetapi kami akan berjuang untuk membela hak Anda untuk menyampaikannya di ruang publik, setuju atau tidak. Menutup media, menutup pemilu—tidak melindungi apa pun. Itu adalah cara paling jitu untuk menghancurkan demokrasi.”
Dia juga merujuk pada pemilihan presiden di Rumania, yang dibatalkan pada bulan Desember setelah para pejabat menyatakan bahwa pemilihan itu telah menjadi sasaran campur tangan negara Rusia.
“Jika demokrasi Anda dapat dihancurkan dengan iklan digital senilai beberapa dolar AS dari negara asing, maka demokrasi Anda tidak akan kuat sejak awal,” kata Vance dalam konferensi tersebut.
Pernyataan tersebut mengejutkan para diplomat dan pejabat keamanan yang berkumpul, dengan mantan Duta Besar AS untuk NATO Ivo Daalder menggambarkan pidato tersebut sebagai “gila.”