Kisah Yahya Assiri, Perwira AU Arab Saudi Berubah Jadi Oposisi yang Menentang Raja Salman
Yahya Assiri adalah Sekretaris Jenderal Partai Majelis Nasional (NAAS), sebuah partai oposisi Arab Saudi yang menentang rezim kerajaan yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud.
Kerajaan Arab Saudi menganut sistem pemerintahan monarki absolut—yang sudah pasti melarang partai politik apa pun, apalagi partai oposisi. Untuk itu, Assiri menjalankan NAAS di London, Inggris, tempat dia mendapat suaka politik.
Kisah hidup Assiri menjadi oposisi yang menentang kerajaan bukanlah secara tiba-tiba. Dia dulunya adalah seorang perwira Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi dan berasal dari keluarga yang kaya.
Saat aktif sebagai perwira, dia menghabiskan waktu bertahun-tahun menjalani kehidupan ganda di Arab Saudi. Pada siang hari dia bekerja pada kesepakatan senjata internasional untuk militer Saudi, tetapi pada malam hari dia berada di forum daring untuk membahas masalah kemiskinan, pengangguran, dan penindasan di negaranya.
Itu adalah kehidupan yang berbahaya dan saat Assiri melihat para aktivis ditangkap di sekitarnya, dia tahu dirinya akan berakhir di penjara atau dipaksa melarikan diri—yang terakhir terbukti menjadi pilihan yang lebih menarik dan menuntunnya, istrinya, dan dua anak kecilnya ke rumah mereka saat ini di Birmingham.
Dia pernah menceritakan kisah hidupnya menjadi tokoh oposisi Arab Saudi saat mengunjungi kantor Middle East Eye (MEE) London.
Cerita dimulai dengan menjelaskan asal usul keluarganya. Assiri lahir pada tahun 1980 di provinsi Asir, sebuah wilayah di barat daya Arab Saudi tempat suku-suku asli dengan keras menentang penyatuan Arab Saudi pada abad ke-20 di bawah keluarga al-Saud yang bersekutu dengan Wahhabi.
Konflik antargenerasi merupakan pengalaman awal yang penting bagi Assiri muda.
“Nenek saya membenci rezim itu. Dia mengatakan mereka menduduki tanah tersebut dan Asir adalah tempat yang jauh lebih baik untuk ditinggali sebelum penyebaran Wahhabisme,” katanya, mengacu pada aliran Islam ultra-konservatif yang disukai oleh para penguasa Arab Saudi.
Ibu Kota Israel yang Dulu
Namun, generasi ayahnya adalah generasi yang sangat diuntungkan dari kekayaan minyak yang disebarkan oleh keluarga kerajaan, yang berarti mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang bagaimana negara itu diperintah.
“Generasi ayah saya percaya bahwa pemerintah membantu rakyat karena mereka telah diberi uang. Mereka [rakyat] tidak tahu dari mana uang ini berasal, tetapi itu membuat mereka memandang keluarga kerajaan dengan positif," katanya.
Pandangan yang bertentangan ini memaksa Assiri untuk mengajukan banyak pertanyaan. Di usia muda, pandangannya sebagian besar mencerminkan apa yang umum pada saat itu, bahwa ancaman terbesar yang dihadapi Arab Saudi adalah budaya Barat, yang akan menghancurkan budaya kerajaan jika dibiarkan menyebar.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah pada usia 18 tahun, Assiri pindah ke Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh, dan bergabung dengan Angkatan Udara Kerajaan dengan tujuan menjadi pilot.
“Menjadi pilot adalah impian saya sejak saya masih kecil,” katanya sambil tersenyum yang kemudian berubah menjadi ekspresi kecewa.
Profil Faisal Al Musaid, Pangeran Kerajaan Arab Saudi Lulusan AS yang Menembak Mati Raja Faisal
Setelah hanya 14 jam terbang, dia gagal dalam pelatihan dan diberi tahu bahwa dia tidak bisa menjadi pilot. Namun, alih-alih meninggalkan militer, dia berhasil melamar pekerjaan di bidang administrasi dan lulus dengan gelar di bidang logistik pada tahun 2004.
Pada titik ini, hak asasi manusia (HAM) dan politik jauh dari pikiran Assiri—keuntungan materi adalah satu-satunya keinginannya.
“Saya hanya berpikir untuk mendapatkan gaji yang baik dan posisi yang baik. Itu saja," ujarnya.
Langkah berikutnya dalam hidupnya terbukti penting. Assiri pindah ke Taif, sebuah kota di lereng Pegunungan Sarawat di provinsi Makkah, tempat dia mendengarkan masalah dari 300 orang yang bekerja di skuadronnya.
Sebagian besar koleganya memiliki pinjaman bank, katanya, dan pada akhir bulan tidak punya uang.
“Mereka mendatangi saya dan bertanya: Di mana uang kita? Mengapa keluarga kerajaan sangat, sangat kaya dan rakyat sangat, sangat miskin?”
Yahya menjelaskan bahwa 80 persen pria di skuadronnya, beberapa di antaranya telah bekerja selama 30 tahun, menyewa rumah karena tidak mampu membeli rumah sendiri.
Statistik resmi sulit diperoleh di kerajaan tersebut, tetapi kemarahan terhadap gaji yang dianggap rendah pecah pada bulan September 2013 di Twitter—sekarang bernama X—, ketika tanda pagar (tagar) “gaji tidak cukup” menarik jutaan tweet. Saat itu, kepemilikan rumah di Arab Saudi diperkirakan mencapai 25 persen dan pengangguran kaum muda dilaporkan mencapai 29 persen untuk kelompok usia 16-29 tahun.
Bagi Assiri, mendengarkan kesengsaraan rekan-rekannya dan menyaksikan kemiskinan di Taif, pada usia 24 tahun dia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan internal tentang masalah-masalah ini.
"Mengapa rakyat tidak memiliki suara? Mengapa keluarga kerajaan tidak mau berbagi? Mengapa kita tidak bisa mengungkapkan pendapat kita?" adalah pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada dirinya sendiri. "Saya hanya bisa memikirkan hal ini sendirian. Saya tahu jika saya membahas masalah-masalah ini dengan siapa pun, saya akan masuk penjara," paparnya.
Assiri menggambarkan dirinya sebagai orang yang sensitif, orang yang tidak bisa mengabaikan penderitaan di sekitarnya meskipun kehidupannya sendiri nyaman. Dia berkembang pesat di Angkatan Udara Kerajaan, naik jabatan menjadi perwira senior, yang berarti dia memperoleh banyak uang.
Mampu menahan keinginan untuk berbicara, perdebatan politik tetap berlangsung di dalam diri. Namun pada tahun 2004, saat menjelajahi internet suatu malam, Assiri menemukan serangkaian situs web dan forum berbahasa Arab tempat orang-orang berdebat tentang politik.
Kebangkitan Politik
Tanpa memikirkan risiko yang terlibat, dia membuat akun dengan nama samaran—Abu Fares, nama yang selalu disukainya, disertai foto singa sebagai avatarnya.Forum-forum tersebut menjadi tempat baginya untuk mengeksplorasi identitas politiknya dan berdebat tentang politik dengan sesama warga Saudi. Dia mengekspresikan dirinya secara bebas untuk pertama kalinya—menulis artikel yang berfokus pada kemiskinan dan pengangguran.
“Sangat menyenangkan untuk mengungkapkan pendapat saya,” katanya, seraya menambahkan bahwa politik dalam negeri dan pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah isu terpenting baginya saat itu.
Tidak seorang pun tahu apa yang sedang dilakukannya, itu adalah bagian yang sepenuhnya rahasia dari hidupnya. Hal ini berakhir pada tahun 2005 ketika dia menikahi istrinya, Jamila, yang merupakan orang pertama yang menyadari kebangkitan politiknya yang terselubung.
“Istri saya dulunya mudah marah. Ia akan marah dan berkata: ‘Tidak ada yang mengenalmu, kamu hanya membuang-buang waktu'. Namun kemudian ia membaca artikel saya dan berkata: ‘Wah, saya sangat bangga padamu. Teruskan saja'.”
Setahun setelah menikah, Assiri siap mengambil risiko yang lebih besar untuk terlibat dalam politik. Di forum-forum tersebut, dia bertemu dengan Saud al-Hashimi, seorang aktivis hak asasi manusia Saudi yang kemudian ditangkap dan dipenjara pada tahun 2011 selama 30 tahun, menurut Amnesty International, atas tuduhan “mendukung terorisme”.
Assiri mendengar Hashimi sedang membuka forum publik mingguan di rumahnya di Jeddah. Dia hadir lima atau enam kali, bertemu dengan tamu istimewa yang meliputi pemimpin Hamas Palestina, Khaled Meshaal, dan Rashid Ghannouchi dari gerakan Ennahda di Tunisia. Peserta hadir secara anonim, tidak menyebutkan nama mereka, hanya Hashimi yang mencatat siapa saja yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Assiri menggambarkan Hashimi sebagai tokoh penting dalam hidupnya, seorang pria yang katanya memiliki hubungan baik dengan semua orang dalam upaya menyatukan oposisi politik Saudi yang baru lahir dan terpecah belah.
Penangkapan Hashimi pada tahun 2007 seperti "lampu yang dinyalakan" bagi Assiri, menuduh pemerintah berbohong ketika mereka menuduh Hashimi mendanai terorisme.
"Saya tahu tuduhan itu salah, Saud telah muncul di televisi pemerintah untuk meminta sumbangan guna membantu warga Irak yang menderita akibat perang Amerika, dan pemerintah telah menggunakan ini untuk menuduhnya mendanai terorisme," katanya.
Assiri yakin bahwa kemampuan Hashimi untuk menyatukan gerakan politik bawah tanah di Arab Saudi yang menyebabkan dia dijebloskan ke penjara.
"Keinginannya untuk menyatukan orang-orang benar-benar berbahaya bagi pemerintah. Namun, hal itu sungguh hebat bagi rakyat,” katanya, menuduh pemerintah memiliki kebijakan jangka panjang untuk menebar perpecahan di antara rakyat, mendorong sektarianisme antara Sunni dan Syiah, serta mendorong perpecahan di antara kaum liberal dan Islamis.
Di tengah kekecewaan yang disebabkan oleh penangkapan Hashimi, Assiri masih mempertahankan kedok sebagai perwira militer yang baik di tempat kerja dan telah memperoleh cukup uang untuk membeli rumah keluarga yang bagus. Hal ini terbukti berguna karena pada tahun 2007 anak pertamanya lahir, seorang putri; Lubna, yang segera diikuti oleh seorang putra, bernama Fares sesuai dengan nama samaran daringnya.
Meskipun memiliki dua anak kecil dan pekerjaan yang menegangkan di Angkatan Udara, Assiri tetap menjalankan aktivitas daringnya, menjalani kehidupan ganda yang mengingatkan kita pada Winston Smith dalam novel negara polisi ikonik George Orwell, 1984.
“Saya seperti dua orang yang berbeda. Pada siang hari saya menjadi perwira Angkatan Udara dan pada pukul 17.00 sore saya akan pulang, masuk, dan mulai berdebat politik di forum," tuturnya.
Ada bahaya besar penangkapan dan hal ini menjadi fokus utama suatu hari di tempat kerja pada akhir tahun 2008 ketika intelijen Angkatan Udara memanggilnya untuk diinterogasi.
"Mereka bertanya kepada saya tentang Abu Fares," katanya.
Para perwira intelijen mengatakan rekan sipil mereka telah mengirim surat yang menanyakan tentang Assiri dan apakah dia menulis tentang politik dengan nama Abu Fares.
"Saya benar-benar takut. Saya bilang saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan," ujarnya, mengetahui bahwa jika dia ketahuan, dia kemungkinan akan menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
Untungnya, catatan teladannya di tempat kerja membuat para perwira mempercayai penyangkalannya dan memberi tahu intelijen sipil bahwa Assiri bukanlah orang yang menulis dengan nama samaran Abu Fares.
Tak lama setelah dipanggil oleh intelijen, Assiri diberi kelonggaran dari apa yang menjadi situasi yang menyesakkan ketika dia dipilih untuk bekerja pada kesepakatan yang menguntungkan antara Arab Saudi dan perusahaan senjata Inggris; BAE Systems.
Berunjuk Rasa di London
Dia pergi ke Inggris pada awal tahun 2009 selama 18 bulan untuk mengikuti pelatihan logistik terkait pesanan negaranya untuk 72 jet tempur Typhoon produksi BAE Systems senilai £4,5 miliar.Di London, dia mempertimbangkan untuk bertemu dengan para pembangkang Saudi yang tinggal di pengasingan, tetapi menyimpulkan, tanpa menyebut nama, bahwa para pembangkang itu terlalu peduli dengan pertikaian internal.
Dia juga merasa persuasi politik mereka—baik liberal maupun Islamis—tidak menarik. Assiri tidak menempatkan dirinya dalam kategori tertentu dalam hal politik, dan lebih memilih untuk berpegang pada dua prinsip inti.
"Saya sangat percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, saya juga sangat percaya tidak ada konflik antara nilai-nilai tersebut dan Islam," ujarnya.
Meskipun dia telah mencari gerakan Saudi untuk bergabung yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini, dia berkata: "Belum ada gerakan politik di negara saya yang saya setujui."
Meskipun dia kecewa karena tidak menemukan oposisi politik yang kuat di London, Assiri mengambil kesempatan untuk bergabung dalam protes di Inggris, karena kedatangannya bertepatan dengan serangan mematikan Israel selama tiga minggu—yang dikenal sebagai Operasi Cast Lead—di Jalur Gaza yang menewaskan sekitar 1.400 warga Palestina.
Ribuan mil dari rumah, jauh dari jangkauan fisik otoritas Saudi, Assiri tetap takut akan konsekuensi dari ikut serta dalam demonstrasi publik dan menutupi wajahnya di pawai London.
"Tidak masalah bahwa itu adalah protes untuk Palestina," katanya, bahwa itu sebuah tujuan yang didukung oleh pemerintahnya secara terbuka.
"Demonstrasi dilarang di negara kami. Jika Anda berpartisipasi dalam protes di London, pemerintah khawatir Anda akan menyukainya dan membawanya pulang."
Di luar pengalaman baru protes publik, Assiri menikmati pelatihan dengan BAE Systems, dan ketika tiba saatnya untuk pulang, dia meminta untuk tetap tinggal dan belajar untuk gelar pascasarjana dalam bidang logistik di Universitas Lincoln.
Permintaannya ditolak oleh Angkatan Udara Kerajaan Arab Saudi. Mereka mengatakan kepadanya bahwa dia "memiliki kesempatan" dan yang lain harus diberi kesempatan untuk penempatan di luar negeri, jadi pada pertengahan tahun 2010 dia kembali ke Arab Saudi.
Selama dua tahun berikutnya, Assiri berjuang untuk kembali ke kehidupan lamanya sebagai perwira Angkatan Udara di siang hari dan pembangkang politik daring yang tidak dikenal di malam hari.
Akhirnya dia berhasil mengundurkan diri dari Angkatan Udara pada tahun 2012 dan keputusan pertamanya setelah keluar adalah mengganti avatar daringnya dari Abu Fares menjadi Yahya Assiri, lengkap dengan foto dirinya sendiri, bukan singa.
Dia melakukan ini karena dia sudah lelah menjalani kehidupan yang penuh rahasia. Keputusan ini harus dibayar dengan harga yang mahal; dia kini bersiap untuk diselidiki dan ditangkap, yang berpotensi menghadapi hukuman penjara yang panjang.
Namun, tidak ada yang mengetuk pintu, dan setelah gagal mendapatkan pekerjaan baru di dalam negeri, yang katanya mungkin karena rumor tentang aktivitas politiknya, dia menemukan kursus hak asasi manusia di Universitas Kingston di London.
Jadi, setelah berhasil mendaftar kursus tersebut, Assiri dan keluarga mudanya berangkat ke Inggris pada awal tahun 2013. Dia bepergian dengan visa pelajar, masih berharap untuk kembali ke Arab Saudi setelah menyelesaikan gelarnya, karena, meskipun banyak orang ditangkap, dia tahu beberapa teman aktivisnya diizinkan untuk beroperasi, meskipun di bawah pengawasan.
Namun, saat mempelajari hak asasi manusia di Kingston, situasi aktivis di Arab Saudi memburuk dengan cepat. Assiri menyaksikan banyak orang yang dikenalnya dijatuhi hukuman penjara yang panjang.
Pada bulan Maret 2013, Mohammed Fahad al-Qahtani dan Abdullah Hamid Ali al-Hamid—anggota pendiri Asosiasi Hak Sipil dan Politik Saudi—dijatuhi hukuman 10 dan 11 tahun penjara masing-masing atas tuduhan yang mencakup "melanggar kesetiaan dengan penguasa".
Hukuman berat bagi aktivis hak asasi manusia membuat Assiri mempertimbangkan untuk mencari suaka politik di Inggris, sebuah keputusan yang ditegaskan ketika teman dekatnya dan sesama aktivis hak asasi manusia Waleed Abu al-Khair ditangkap pada bulan April 2014.
Assiri tidak hanya putus asa dengan penangkapan Abu al-Khair, seorang pria yang dia gambarkan sebagai "sangat berani"—itu adalah berita yang disampaikan kepadanya oleh sesama aktivis pada saat itu yang berarti akan sulit baginya untuk menghindari penjara saat kembali ke Arab Saudi.
“Teman-teman memberi tahu saya bahwa pasukan keamanan bertanya tentang saya. Mereka bertanya kepada orang-orang apakah saya akan kembali dari Inggris. Saat itu saya tahu bahwa saya tidak bisa kembali.”
Memulai Hidup Baru di Inggris
Assiri mengajukan suaka di Inggris pada bulan yang sama saat Abu al-Khair ditangkap. Hampir setahun kemudian, dia masih menunggu kabar apakah permohonannya telah diterima.Meskipun hidup dalam ketidakpastian, dia tetap yakin Inggris akan menerimanya sebagai pengungsi, yang keselamatannya akan terancam jika dia dipulangkan, tetapi kehidupannya jauh dari kemewahan yang dinikmatinya sebagai perwira Angkatan Udara.
Karena tidak diizinkan bekerja, tidak memiliki gaji dan tabungan yang habis, Assiri harus bergantung pada kesejahteraan negara untuk memberinya rumah dan penghasilan kecil. Ternyata sulit untuk menyesuaikan diri dengan keluarga.
“Kami dulu kaya. Kami dulu memiliki mobil bagus, rumah yang bagus di Arab Saudi. Sekarang, kami berada di Inggris, sebagai pengungsi, dan kami hidup dari kesejahteraan negara. Kami tidak punya apa-apa," ujarnya.
Namun, pengorbanan itu tetap berharga bagi Assiri, dan perjuangan untuk hak asasi manusia adalah sesuatu yang terus dia kejar dengan penuh semangat. Dia mendirikan kelompok hak asasi manusianya sendiri pada bulan Agustus 2014 bernama Al Qst, nama yang dia dipilih dengan hati-hati untuk memastikan orang Saudi memahami tujuannya.
Assiri mengatakan pihak berwenang biasanya mengabaikan kelompok hak asasi manusia internasional karena mencoba memaksakan nilai-nilai Barat pada kerajaan konservatif itu, itulah sebabnya dia memilih nama Al Qst, yang merupakan istilah Al-Quran yang berarti keadilan.
“Saya menggunakan nama ini untuk berbicara kepada orang-orang. Nama itu berasal dari agama kami, jadi tidak seorang pun bisa mengatakan organisasi hak asasi manusia saya merupakan serangan terhadap budaya orang-orang kami," katanya.
Organisasi itu dijalankan secara sukarela, meskipun Assiri saat ini sedang mencari dana untuk itu, dan dia menggunakan jaringan aktivis bawah tanah yang luas di negaranya untuk terus mengikuti perkembangan. Dia memiliki delapan grup di aplikasi pesan Telegram yang membahas berbagai topik termasuk hak-hak perempuan, kemiskinan, dan isu-isu regional tertentu.
Di X, organisasi itu sudah memiliki puluhan ribu pengikut, dan rencana Assiri adalah membangun inisiatif yang dijalankan secara eksklusif oleh Saudi itu menjadi organisasi masyarakat sipil yang kuat.
“Saya yakin Al Qst akan menjadi organisasi terpenting yang menangani hak asasi manusia di Arab Saudi. Ini karena kami—orang Saudi—adalah orang-orang terbaik yang memahami masalah rumit yang dihadapi negara kami," katanya.
Dia menggunakan contoh hukuman mati untuk menjelaskan pendekatannya terhadap advokasi hak asasi manusia. Assiri mengatakan meskipun hukuman mati ditetapkan dalam Al-Quran untuk kejahatan tertentu, hukuman tersebut seharusnya mencegah orang melanggar hukum, bukan digunakan untuk membunuh banyak tahanan.
Dia menunjuk pada maraknya penggunaan hukuman mati di Arab Saudi.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa nilai-nilai hak asasi manusia tidak bertentangan dengan Al-Quran. Kami ingin mereka mengerti bahwa hukuman ini (hukuman mati) dirancang untuk mencegah aktivitas kriminal tetapi di Arab Saudi sejumlah besar kejahatan masih dilakukan. Jika kejahatan tidak dapat dihentikan dengan menggunakan pencegah ini, kita perlu berpikir apa yang salah? Orang-orang seringkali dieksekusi di Arab Saudi tanpa pengadilan yang adil. Ketidakadilan ini terkait dengan rezim dan bukan Al-Quran," paparnya.
Assiri yakin pemerintah terintimidasi oleh pendekatan terhadap hak asasi manusia ini, pendekatan yang menarik bagi rakyat dan lebih sulit didiskreditkan dengan argumen serangan budaya Barat.
"Saya punya sesuatu yang baru untuk dikatakan. Saya tahu pemerintah akan melawan saya. Tapi ini bukan masalah," katanya sambil terkekeh.
Di media sosial, Assiri telah diserang oleh apa yang disebutnya sebagai akun troll yang dioperasikan pemerintah, terutama setelah dia muncul di televisi France 24 ketika dia menyerang berbagai dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Arab Saudi.
Setelah wawancara, tagar "Yahya Assiri mewakili rakyat" dengan cepat menjadi populer. Namun, keesokan harinya, tagar tersebut dibanjiri dengan pelecehan yang ditujukan kepada Assiri, dari sebagian besar akun X anonim, dan dia yakin pemerintah berada di balik pembajakan dukungan untuknya.
Pengaruh pemerintah melampaui dugaan pelecehan media sosial, kata Assiri, dan dia mengakui keluarga kerajaan kuat dan ia tahu mereka telah mempertahankan hubungan yang langgeng dengan sekutu-sekutu Barat yang kuat.
Namun, dia tetap berharap untuk masa depan, menggantungkan optimismenya pada generasi muda yang memiliki akses ke informasi— melalui internet—dengan cara-cara baru yang membuat mereka cenderung tidak menerima status quo di mana pengangguran tinggi dan kemiskinan meluas.
“Situasi seperti ini tidak akan berlanjut. Rakyat tidak akan diam lebih lama lagi. Generasi tua diam karena mereka tidak memiliki alat untuk berkomunikasi. Sekarang kita memiliki alat dan generasi baru dipenuhi dengan orang-orang yang sangat marah," paparnya.
Kemarahan ini, katanya, bahkan telah mencapai mereka yang dibuat sangat kaya oleh pemerintah. Dia merujuk pada seorang penyair Saudi yang “sangat terkenal”—yang tidak akan disebutkan namanya—dan mengatakan pria ini, yang memiliki hubungan “dekat” dengan pemerintah, mengatakan kepadanya bahwa dia “muak” dengan para penguasa.
“Rakyat marah—bahkan mereka yang dibuat kaya oleh pemerintah," ujarnya.
Ketika didesak apakah akan ada perubahan struktural di Arab Saudi dalam waktu dekat, Assiri berhenti sejenak, berpikir dengan hati-hati, dan menjawab dengan percaya diri.
"Saya yakin perubahan akan terjadi dalam lima atau 10 tahun ke depan. Harus ada reformasi yang nyata atau rakyat akan menyingkirkan keluarga kerajaan," ujarnya.