Iran 2 Tahun Setelah Gelombang Protes Kematian Mahsa Amini
Kematian tragis Jina Mahsa Amini di Iran memicu gerakan "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan" dan menjadikan perempuan yang meninggal pada usia 22 tahun itu sebagai simbol perlawanan.Otoritas Iran mengumumkan kematian Jina Mahsa Amini pada 16 September 2022. Dia diketahui ditangkap polisi moral Iran tanggal 13 September 2022. Beberapa rekaman video yang tersebar menunjukkan dia dipukuli polisi di jalanan. Alasan resmi penahanannya: Jina Mahsa Amini tidak mengenakan jilbab dengan benar di depan publik seperti aturan yang berlaku untuk perempuan di Iran. Perempuan kelahiran 21 September itu kemudian dibawa ke kantor polisi dan setelah itu ke rumah sakit. Pihak rumah sakit kemudian menyatakan, Jina Mahsa Amini sudah meninggal ketika tiba di rumah sakit. Pemerintah Iran baru mengumumkan kematiannya secara resmi pada 16 September. Dia meninggal pada usia 22 tahun. Kematian Jina Mahsa Amini segera menyulut aksi protes yang maikn lama makin luas dan akhirnya menjadi gerakan massal"Perempuan, Kehidupan, Kebebasan”. Ribuan warga Iran di seluruh dunia juga melakukan aksi turun ke jalan sebagai bentuk solidaritas terhadap para pengunjuk rasa dan menyerukan diakhirinya penindasan di Iran. Namun rezim Iran bereaksi secara brutal dan menindas gerakan protes dengan kekerasan. Setidaknya 500 orang terbunuh dan lebih dari 20.000 orang ditangkap selama penindakan gerakan protes, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia. Harapan Generasi Z Iran memperjuangkan kebebasan Meskipun rezim Mullah Iran berhasil mempertahankan kekuasaan, kematian Jina Mahsa Amini dipandang sebagai titik balik gerakan pembangkangan di Iran. Banyak perempuan, terutama di perkotaan, yang sekarang tetap menolak mengenakan jilbab sesuai aturan rezim, sekalipun ada ancaman hukuman penjara.. Jurnalis Iran Hedieh Kimiaee mengatakan, perkembangan ini menunjukkan "kemarahan yang dipendam perempuan Iran selama bertahun-tahun, dan pembunuhan Jina Mahsa Amini telah membawa kemarahan ke jalan." "Perjuangan mereka melawan kewajiban berjilbab terus berlanjut,” katanya kepada DW. "Generasi Z akan melakukan perjuangan ini dengan lebih serius, karena generasi yang marah ini melihat kebebasannya dalam penggulingan rezim dan bertekad untuk mencapainya.” Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! Setelah Presiden Iran Ebrahim Raisi meninggal dalam kecelakaan helikopter bulan Mei tahun ini, Masoud Pezeshkian terpilih dalam pemilu presiden untuk menggantikannya. Namun pemilu itu tidak mengakhiri represi politik. Bulan Agustus saja, sekitar 100 orang dieksekusi mati dan setidaknya enam tahanan politik dijatuhi hukuman mati. Selain itu, permasalahan perekonomian, khususnya inflasi dan pengangguran yang tinggi, masih belum terselesaikan. Menurut banyak analis, kondisi ini kemungkinan besar dapat memicu babak baru protes terhadap rezim. Kimiaee mengatakan, "kejahatan Republik Islam terhadap rakyat Iran terus berlanjut" dan "kejadian apa pun yang tidak dapat ditoleransi di masa depan dapat kembali membuat rakyat Iran bangkit." Para Mullah masih tetap berkuasa Namun saat ini, rezim Iran masih memegang kendali yang kuat. Banyak yang mengkaitkan kelangsungan hidup kelompok ini dengan penindasan dan memperluas aparat keamanan, sementara yang lain menyebutkan gara-gara perpecahan di antara kelompok oposisi. Pengacara Iran dan anggota Asosiasi Pengacara Internasional, Saeed Dehghan, menunjukkan Republik Islam Iran telah memiliki pengalaman selama empat dekade dalam menekan protes, menciptakan perpecahan di antara kelompok oposisi, dan mengandalkan dukungan politik, keamanan dan militer dari negara-negara otoriter seperti Cina dan Rusia. "Tujuh belas institusi keamanan dan militer, khususnya Korps Garda Revolusi Islam, berkontribusi dalam menstabilkan posisi mereka dengan menerapkan kontrol ketat terhadap masyarakat, melakukan penangkapan secara luas, menggunakan kekerasan fisik dan psikologis terhadap pengunjuk rasa, dan bahkan menggunakan kekerasan. senjata untuk menekan perbedaan pendapat,” kata Saeed Dehghan. Baru-baru ini, seorang pendukung rezim ulama Iran menghina Jina Mahsa Amini di televisi pemerintah. Ucapannya memicu kemarahan luas, terutama di media sosial, sehingga memaksa dia dan produser program untuk meminta maaf. Karena tekanan publik, orang tersebut diberhentikan dari jabatannya di universitas. Pemilihan presiden baru-baru ini juga memperlihatkan banyak orang yang memilih memboikot pemilu tersebut dan menggunakan media sosial untuk menyoroti para korban tindakan kekerasan pemerintah baru-baru ini. Bagi Saeed Dehghan, Jina Mahsa Amini telah menjadi simbol bagi semua perempuan yang memperjuangkan hak dan kebebasan mereka di Iran, dan terus menentang penindasan atau bahkan ancaman kematian. Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris