4 Negara Muslim yang Sudah Hilang, Salah Satunya Dibentuk untuk Melawan Dominasi Barat
Terdapat empat negara muslim yang sudah hilang atau runtuh. Keruntuhan beberapa negara ini disebabkan oleh berbagai sebab, seperti perang dan perpecahan internal.
Sepanjang sejarah, kawasan Timur Tengah didominasi sejumlah negara-negara muslim yang kuat. Namun, negara-negara itu sudah runtuh dan berubah menjadi negara baru.
4 Negara Muslim yang Sudah Hilang
1. Kekaisaran Persia
Kekaisaran Persia merupakan sebuah negara yang diciptakan oleh Koresh Agung atau Cyrus the Great sekitar 550 SM. Masa kejayaan Kekaisaran Persia berlangsung pada saat Darius Agung berkuasa (522-486 SM).
Pada periode ini, kekuasaan Kekaisaran Persia membentang dari Kaukasus dan Asia Barat ke Makedonia (sekarang Balkan), Laut Hitam, Asia Tengah, dan bahkan Libya serta Mesir.
Banyak orang menganggap Persia identik dengan Islam, padahal Islam baru menjadi agama dominan di Kekaisaran Persia setelah penaklukan Arab pada abad ke-7 Masehi.
Baca Juga: Pangeran Arab Saudi Salahkan Inggris karena Menciptakan Negara Israel
Pada awal berdirinya kekaisaran ini, agama yang dianut masyarakatnya adalah Zoroastrianisme. Kepercayaan ini adalah salah satu agama monoteistik tertua di dunia yang saat ini masih dianut oleh beberapa masyarakat Iran dan India.
Kekaisaran Persia memasuki periode kemunduran setelah invasi yang gagal ke Yunani oleh Xerxes I pada 480 SM. Pada 330, Akhemeniyah akhirnya jatuh ke tangan Alexander Agung dari Makedonia.
Setelah runtuhnya Kekaisaran Persia Pertama, terdapat beberapa dinasti yang berkuasa di wilayah ini, seperti Kekaisaran Sassania (226-651 M), Islam Persia (700-1400 M), dan Dinasti Qajar hingga abad ke-20. Saat ini Kekaisaran Persia dikenal sebagai Iran.
2. Turki Utsmani
Kesultanan Turki Utsmani atau Kekaisaran Ottoman telah mampu mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari 600 tahun (1300-1922). Saat itu wilayah kekuasaan Turki Utsmani meliputi Yunani, Bulgaria, Rumania, Makedonia, Hongaria, Palestina, Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir dan sebagian besar pesisir utara Afrika.
Turki Utsmani merupakan negara muslim yang dipimpin oleh seorang khalifah—yang dalam kepercayaan Islam merupakan pemimpin seluruh umat muslim.
Kemunduran Turki Utsmani mulai tampak saat Perang Lepanto (1571). Kala itu, Turki Utsmani yang ingin menguasai Pulau Venesia, kalah dari pasukan Kristen Holy League.
Sedangkan kehancuran kesultanan ini dimulai ketika Perang Dunia I berlangsung. Turki Utsmani yang berkoalisi dengan Jerman, Austria, Hongaria, dan Bulgaria harus kalah dari sekutu.
Kekalahan itu mengakibatkan Turki Utsmani kehilangan hampir seluruh wilayah mereka di Eropa dan Afrika. Hal itu diperparah ketika Inggris dan sekutunya mengeluarkan Arab dari kekuasaan mereka pada 1920.
Hal tersebut mencetuskan revolusi Turki Muda berhasil mendorong perubahan pemerintahan ke bentuk parlementer, sehingga melemahkan kekuasaan sultan. Turki berganti sistem pemerintahan menjadi negara republik pada 1922.
3. Republik Arab Bersatu
Pada dasarnya Republik Arab Bersatu adalah persatuan politik Mesir dan Suriah diproklamasikan pada 1 Februari 1958. Kala itu, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan Presiden Suriah Shukri al-Quwatli menandatangani Pakta Persatuan.
Gerakan penyatuan ini adalah sebagai bentuk nasionalisme dan solidaritas bangsa Arab melawan kolonialisme Barat. Sebab, kawasan Arab terpecah-pecah menjadi sejumlah kekuatan yang mendapat pengaruh dari negara Barat.
Namun setelah beberapa tahun berjalan, Republik Arab Bersatu hancur. Suriah memisahkan diri karena merasa hanya menjadi "kendaraan" bagi kekuasaan pemerintahan Mesir.
Republik Arab Bersatu berakhir pada 28 September 1961. Meski begitu, Mesir tetap menggunakan nama Republik Arab Bersatu hingga 2 September 1971, setelah kematian Nasser.
4. Yaman Utara dan Selatan
Yaman yang dikenal saat ini merupakan unifikasi atau penyatuan dari Yaman Utara dan Selatan pada tahun 1990. Sebelum penggabungan itu, negara tersebut telah dilanda berbagai konflik dan perang saudara.
Konflik diketahui disebabkan karena kawasan Yaman Utara diabaikan oleh rezim Sana’a dalam hal infrastruktur, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan.
Keterbelakangan ini membuat wilayah utara mendapatkan stigma dari elite-elite politik di Sana’a (Ibu Kota Yaman) sebagai ”kampungan”, ”bodoh”, dan ”kasar” sehingga pantas untuk terus mendapatkan pengawasan.
Akibatnya, tumbuh semacam kesadaran komunal bersama di Utara, yang di kemudian hari membesar dan melampaui batas-batas desa, distrik, dan provinsi. Kondisi ini semakin menggerakkan Houthi untuk melancarkan kritik keras terhadap rezim Sana’a, terutama melalui ceramah-ceramah Hussein al-Houthi.
Meski saat ini wilayah utara dan selatan Yaman telah disatukan, konflik antara Yaman Utara dan Sana’a masih kerap terjadi.