Pasukan Israel Gunakan Penghancuran untuk Bangun Zona Penyangga Gaza
Penciptaan "zona penyangga" yang merusak oleh Israel di Jalur Gaza dapat dianggap sebagai kejahatan perang, menurut temuan Amnesty International.
Analisis yang dilakukan kelompok hak asasi manusia itu, Menemukan satu pola di sepanjang batas timur Gaza yang konsisten dengan penghancuran sistematis seluruh wilayah."
"Rumah-rumah ini tidak hancur akibat pertempuran yang hebat," ujar Erika Guevara-Rosas dari Amnesty. "Sebaliknya, militer Israel sengaja meratakan tanah setelah mereka menguasai wilayah tersebut."
Amnesty menyebut kampanye ini sebagai "penghancuran yang tidak bertanggung jawab", atau penghancuran properti sipil yang dirampas oleh musuh tanpa adanya kebutuhan militer.
Israel mengatakan penghancuran tersebut merupakan tindakan keamanan setelah serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober.
Lahan yang dibuka di sepanjang batas timur Gaza berkisar antara 1 km hingga 1,8 km lebarnya.
"Zona penyangga" yang diperluas mencakup sekitar 58 km persegi, atau 16 dari seluruh Jalur Gaza, dan menyaksikan penghancuran 90 bangunan di daerah tersebut, atau lebih dari 3.500 bangunan hingga Mei tahun ini.
Amnesty mengatakan penghancuran massal bangunan dan lahan pertanian di sepanjang batas timur merupakan hukuman kolektif bagi warga sipil Palestina, meskipun properti sipil mungkin telah digunakan kelompok bersenjata di masa lalu.
Israel telah dituduh menghancurkan secara paksa daerah perbatasan Gaza sejak bulan-bulan awal perang, dengan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan tindakan ini mungkin merupakan kejahatan perang pada Februari.
Osama Hamdan, pejabat Hamas yang bermarkas di Lebanon, mengatakan pada Januari bahwa, Israel berupaya membangun sabuk keamanan di sepanjang perbatasan jalur tersebut dengan meratakan seluruh blok perumahan dan dengan menghancurkan pertanian dan infrastruktur sipil."
"Ini adalah kejahatan dan agresi terang-terangan terhadap tanah dan tempat-tempat suci kami," tambahnya, dengan mengatakan, "Rakyat kami dan perlawanan kami akan menggagalkan upaya ini."
Rencana Netanyahu
Laporan tersebut muncul setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan Israel akan melanjutkan kehadirannya di koridor Philadelphia, sebidang tanah sempit di sepanjang perbatasan Gaza dengan Mesir.Koridor Philadelphia adalah zona penyangga yang didemiliterisasi berdasarkan perjanjian Israel-Mesir pada tahun 1979 dan 2005, tetapi diduduki pasukan Israel pada bulan Mei.
Dalam dua konferensi pers terpisah, satu dalam bahasa Ibrani dan satu dalam bahasa Inggris, Netanyahu berdalih zona penyangga tersebut telah digunakan Hamas untuk menyelundupkan senjata ke Gaza, dengan mengklaim kendali Israel atas zona tersebut akan memastikan tindakan seperti serangan 7 Oktober tidak akan terjadi lagi.
Pemerintahnya juga dilaporkan bersikeras mempertahankan pasukannya di koridor Netzarim, jalan yang dibangun tentara Israel selama invasi darat ke Gaza yang pada dasarnya membelah daerah kantong Palestina itu menjadi dua.
Rute tersebut, yang sekarang terdiri dari beberapa pangkalan militer, telah digunakan pasukan Israel untuk memantau dan mengendalikan pergerakan warga Palestina antara Gaza utara dan selatan dan melancarkan beberapa operasi militer.
Pengamat lain memperingatkan rencana ini mungkin akan lebih jauh lagi.
Itay Epshtain, penasihat khusus di Norwegian Refugee Council, mengunggah gambar di X yang menunjukkan apa yang dia katakan sebagai rencana Israel untuk Gaza pascaperang.
Gambar dan rencana tersebut dibagikan Menteri Urusan Diaspora Israel, Amichai Chikli, pada bulan Januari.
Chikli adalah bagian dari partai Likud milik Netanyahu.
Gambar tersebut menunjukkan area hijau yang luas yang memperluas "zona penyangga" yang dilaporkan Amnesty digunakan sebagai perimeter keamanan, sementara kota-kota Gaza akan dibagi oleh dua koridor, Netzarim di utara dan satu lagi di selatan.
Kota Gaza akan dibiarkan tak berpenghuni sementara Khan Younis, Rafah, dan Deir al-Balah akan berada di bawah kendali Israel dengan kemungkinan mempekerjakan pemerintahan sipil setempat.
Menurut Epshtain, "Netanyahu membuka pintu air."