Wajah Baru Ethiopia: Addis Ababa Jadi Hutan Gedung Belantara, Macet Mulai Tiru Jakarta
Dengar rintihan berjuta kepalaWaktu lapar menggilaHamparan manusia tunggu matiNyawa tak ada artiKering kerontang meradangEntah sampai kapanDatang tikam nuraniSelaksa doa penjuru duniaMengapa tak rubah bencanaMenjerit Afrika mengerang Ethiopia
Ethiopia.... Ethiopia....Ethiopia.... EthiopiaEthiopia.... Ethiopia... Ethiopia... Ethiopia
Lirik lagu 'Ethiopia' yang diciptakan Iwan Fals tersebut begitu menyayat. Cara Iwan yang menyanyikan lirik dengan penuh ratapan kian membuat orang yang mendengarnya hatinya teriris penuh lara. Merasakan penderitaan rakyat Ethiopia dan jutaan orang yang kehilangan nyawa akibat kelaparan serta kemiskinan hebat tak terkira.
Namun, lagu yang sangat familiar bagi generasi milineal, X dan ke atas itu kini seolah tinggal kenangan. Ethiopia pun perlahan telah berubah wajah. Tak lagi seperih seperti yang coba dilukiskan oleh Iwan Fals lewat nyanyian, empat dasawarsa silam.
Jurnalis Sindonews.com yang berkesempatan melihat langsung Ethiopia lebih dekat merasakan betul perubahan dan kemajuan negara dengan penduduk terbesar kedua di Benua Afrika itu. Ethiopia hari ini terus bersolek, berusaha keras lepas dari ketertinggalan dan stereotip 'kemiskinan'.
Kemolekan Ethiopia tampak sekali dilihat dari fasadnya, yakni bandara. Bagi orang yang pertama kali berkunjung ke Ethiopia lewat Bandara Addis Ababa, pasti akan terasa takjub dan terheran-heran dibuatnya. Ini tak berlebihan. Sebab tak sekadar berlevel internasional, Bandara Addis Ababa dibangun dengan memakan lahan sangat luas, megah dan berkonstruksi kekinian. Bandara ini dilengkapi dua runway, panjangnya 3.800 meter, satunya lagi 3.700 meter.
Bahkan ketika Sindonews mendarat di bandara ini bersama delegasi Indonesia untuk mengikuti Indonesia-Ethiopia Interfaith Dialogue, Minggu (4/8/2024) habis subuh, renovasi di tempat ini terus dilakukan. Di area keberangkatan tampak sejumlah koridor ditutup terpal yang rapat karena di dalamnya tengah dilakukan rehabilitasi konstruksi. Kebersihan dan keteraturan juga sudah tampak seperti di bandara-bandara besar negara lain. Kemajuan Ethiopia juga terlihat dari armada pesawatnya.
Ethiopian Airlines yang menjadi maskapai pelat merah mendominasi seluruh rute domestik dan internasional. Tak mengherankan apron-apron bandara berusia 62 tahun ini dipenuhi jejeran pesawat besar dan sebagian besar keluaran terkini, seperti jenis Boeing 787-8/9 yang ditumpangi Sindonews langsung dari Jakarta. Slogan bertulis 'The New Spirit of Africa' milik Ethiopian Airlines tertempel di banyak sudut bandara. Ini seolah menegaskan bahwa Ethiopia memang benar-benar sudah bangun dari keterpurukannya, bahkan ingin menjadi yang terhebat dari 54 negara tetangganya lain sesama Afrika.
Baca Juga: Bersejarah, KBRI Addis Ababa Fasilitasi 15 MoU Antara PTKN Indonesia dan Ethiopia
Keluar dari ruangan AC bandara, udara sangat dingin, segar langsung menyergap. Ini kian membuat orang takjub. Sebab dalam benak orang luar Ethiopia umumnya, negara ini adalah gersang, panas dan penuh dengan ketidaknyamanan.
Eks Penasihat Kremlin: Moskow Harus Yakinkan Musuh Bahwa Rusia Siap Gunakan Senjata Nuklir
"Jangan kaget dengan hawanya. Di Addis Ababa ini memang udaranya seperti ini sepanjang tahun. Sulit berkeringat. Kita hampir tiap hari harus pakai jas atau jaket," ujar Syarif, salah satu staf KBRI Addis Ababa yang melakukan penjemputan di bandara sekaligus mewanti-wanti anggota delegasi untuk menjaga badan dari paparan suhu yang tak biasa dibanding Jakarta.
Foto/Abdul HakimSuhu pagi itu tercatat 14 derajat Celcius. Jalanan kota pun sangat lengang karena bertepatan hari Minggu. Namun kekaguman rombongan kembali muncul karena sejak keluar beberapa ratus meter dari bandara, gedung-gedung tinggi sudah banyak menjulang. Tak sekadar perkantoran, bangunan yang tampak masih baru-baru itu juga berfungsi sebagai apartemen atau toko. Perjalanan dari bandara ke Kantor KBRI di Egypt Street Kawasan Mekanisa pun ditempuh cukup singkat, tak lebih 20 menit.
Addis Ababa kini telah menjadi kota metropolis. Ribuan gedung telah menjejali hampir seluruh penjuru kota yang berkontur perbukitan ini. Kepadatan paling mencolok terlihat di kawasan bisnis Bole dan Central Bussiness District di Churchill Avenue. Gedung tak sebatas berupa kotak-kotak, namun sudah berarsitektur unik layaknya di Shanghai atau Dubai. Termasuk bagian tengah Gedung Markas Uni Afrika yang dibangun atas fasilitasi pemerintah China, berbentuk bulat tampak eksotis. Selain China, banyak gedung itu juga menjadi kantor bisnis perusahaan kakap asal Jepang dan Korea. Di Ethiopia, mobil-mobil bermerek Jepang memang sangat mendominasi di jalanan kota, termasuk sebagiannya yang dibuat di pabrik Indonesia.
Banyaknya gedung ini otomatis diikuti dengan kepadatan penghuninya. Jalan-jalan utama sangat padat dengan kendaraan. Bahkan pemandangan kemacetan layaknya di Jakarta terlihat di beberapa titik seperti dekat Monumen Tligachin. Kendati tidak separah Jakarta, namun tren kemacetan yang terus meningkat ini bisa mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang meningkat di kota.
Kamis (8/8/2024) siang, kemacetan parah juga melanda kota ini. Begitu parahnya, rombongan delegasi Indonesia yang menuju ke bandara dibuat deg-degan karena khawatir tertinggal pesawat. Untung, Tesfaye, sopir kepercayaan KBRI, lincah melakukan manuver-manuver dengan mobil vannya di tengah kemacetan. Sesekali mobil hampir menabrak karena tiba-tiba ada penyeberang atau mobil menyerobot tanpa aba-aba.
Macet jalanan pun jelas menjadi tantangan Addis Ababa saat ini. Hebatnya, Ethiopia ternyata selangkah lebih maju dari Indonesia untuk penyediaan moda transportasi mass rapid transit (MRT). Sejak 2017, Ethiopia telah mengoperasikan MRT di Addis Ababa atau dua tahun sebelum Jakarta. Namun MRT di kota ini hanya sebanyak dua gerbong, tak sebanyak di Jakarta. Demikian pula rutenya masih terbilang pendek hanya terkonsentrasi di tengah kota.
Kota seluas 530,14 kilometer persegi ini seolah hanya hidup dari pagi hingga petang. Malam hari, kota yang dalam bahasa Amharik, bahasa resmi Ethiopia bermakna 'Bunga Baru' ini ibarat kota mati. Tak ada mal atau toko buka hingga larut malamnya atau 24 jam layaknya Jakarta. Selain suhu udara yang dingin, keamanan di kota ini masih jadi persoalan.
Addis Ababa tentu bukanlah potret Ethiopia seluruhnya. Namun dibandingkan 40 tahun silam, tepatnya ketika kelaparan sangat parah melanda kawasan Ethiopia utara nan menggegerkan dunia, tepatnya di Tigray dan Wollo, kota berjuluk ibu kotanya Afrika ini telah sangat banyak berubah.
Baca Juga: Kunjungi Ethiopia, Rektor IAKN Manado Promosikan Best Practice Desa Moderasi Beragama Minahasa Utara
Seiring berakhirnya paceklik dan diikuti ambruknya rezim Derg yang dipimpin Mangistu Haile Mariam pada 1991, Ethiopia perlahan bangkit. Reformasi politik dan ekonomi pun akhirnya pecah layaknya Indonesia pada 1998. Tepat mulai 1995, terbentuklah babak baru yakni Republik Federal Demokratik Ethiopia. Konstitusi ini benar-benar merampungi rezim militer yang bercokol sejak 1974.
Ekonomi perlahan tumbuh baik, bahkan secara umum menjadi yang tertinggi di kawasan. Pada 2008-2017 misalnya, pertumbuhan ekonominya rata-rata mencapai di atas 10.
Lebih-lebih di bawah kendali Perdana Menteri Abiy Ahmed yang memimpin sejak April 2018, Ethiopia tampak melakukan eskalasi dalam bidang ekonomi. Langkah strategis yang dilakukan antara lain adalah privatisasi perusahaan milik negara dan menarik investasi asing sebanyak-banyaknya. Kemudahan izin, akses transportasi, kemurahan biaya listrik dan kemurahan upah pekerja menjadi tawaran yang terus didengungkan ke penjuru dunia.
Di balik kerja keras melakukan transformasi dan promosi itu, sekurangnya dua perusahaan Indonesia pun kini masih berdiri di Ethiopia. Yakni pabrik tekstil Century Garment Plc, anak perusahaan PT Ungaran Sari Garmen (Apparel Group), Kabupaten Semarang yang berdiri di Kawasan Industri Hawassa, 300 km tenggara Addis Ababa. Satunya lagi pabrik mi instan Salim Wazaran Yahya Food Manufacturing Plc, anak perempuan PT Indomie Sukses Makmur di Kawasan Industri Bishoftu. Sejak masuk di Ethiopia 2005 silam, Indomie kian jadi favorit. Sembilan tahun berselang, Indomie akhirnya membangun pabrik di Ethiopia.
Jumlah itu telah berkurang karena pada 2021 lalu, tercatat masih ada lima perusahaan Indonesia yang beroperasi di Ethiopia. Tiga perusahaan lainnya adalah Peace Success Industry Plc yang merupakan anak perusahaan PT Sinar Antjol, Sumbiri Intimate Apparel Plc, anak perusahaan Sumber Bintang Rejeki dan Golden Sierra Abyssinia Plc, anak perusahaan PT Bukit Perak.
"Peluang investasi di bidang infrastruktur, tekstil, pertanian dan energi terbarukan masih sangat terbuka di Ethiopia. Apalagi di bawah PM Abiy Ahmed banyak proyek infrastruktur pendukung dibangun. Bahkan kini sudah ada jalur kereta khusus yang tembus ke Djibouti untuk memperlancar arus perdagangan melalui jalur laut," ujar Dubes RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika Al Busyra Basnur.