Upaya Myanmar Menghapus Kewarganegaraan Etnis Rohingya

Upaya Myanmar Menghapus Kewarganegaraan Etnis Rohingya

Global | koran-jakarta.com | Selasa, 29 November 2022 - 15:01
share

BANGKOK - Kakek-nenek Zaw Win memiliki kartu identitas yang sama dengan warga di Myanmar pada umumnya, tetapi generasi orangtuanya diberi kartu identitas terpisah untuk minoritas Rohingya.

Dengan demikian, Zaw Win saat ini digolongkan sebagai imigran ilegal di tanah kelahirannya sendiri.

Selama lebih dari tiga dekade, penguasa Myanmar menggunakan sistem kartu identitas negara itu untuk melakukan penganiayaan, pengucilan, dan pengawasan dengan target komunitas etnis Muslim, kata kelompok hak asasi manusia.

Zaw Win, 37, seorang aktivis HAM yang melarikan diri dari Myanmar pada 2014 karena takut akan keselamatannya, mencoba melacak pencabutan kewarganegaraannya melalui status identitas anggota keluarganya yang semakin dibatasi.

"Kakek nenek saya memiliki kewarganegaraan penuh, mereka memiliki jenis kartu identitas yang sama dengan yang dimiliki Daw Suu Kyi," kata Zaw Win mengacu pada Aung San Suu Kyi, pemimpin politik yang digulingkan dan dipenjara setelah kudeta militer awal tahun lalu.

"Orang tua saya memiliki kartu hijau yang hanya dimiliki oleh etnis Rohingya, dan saya mendapat selembar kertas yang mengkategorikan saya sebagai Muslim dan ras saya sebagai Bengali, imigran ilegal. Jadi selama bertahun-tahun, mereka mencabut kewarganegaraan kami dan mencoba untuk menghapus kami," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Ketika Zaw Win meninggalkan Myanmar delapan tahun lalu, dia memiliki kartu pendaftaran sementara yang dikeluarkan untuk etnis Rohingya, tetapi setahun kemudian bentuk KTP itu juga dibatalkan oleh pemerintah.

Sejak saat itu, etnis Rohingya diperintahkan untuk mendapatkan Kartu Verifikasi Nasional (NVC) yang mengidentifikasi mereka sebagai bukan warga negara. Pada waktu yang sama, petugas juga mulai mengumpulkan data biometrik mereka seperti sidik jari.

Selama dua tahun berikutnya, kelompok hak asasi manusia melaporkan pemaksaan oleh pejabat pemerintah dan pasukan keamanan yang mengeluarkan NVC.

Selain itu, mereka juga melaporkan meningkatnya serangan kekerasan termasuk pemerkosaan dan pembunuhan massal yang mendorong lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada Agustus 2017 dan mencari perlindungan di Bangladesh.

Sistem kartu identitas yang dipaksakan memainkan peran penting dalam penganiayaan terhadap Rohingya, kata Kyaw Win, direktur Jaringan Hak Asasi Manusia Burma yang berbasis di London.

"NVC, meski dipromosikan sebagai batu loncatan menuju kewarganegaraan, memaksa Rohingya ke status yang lebih rendah yang menyangkal etnis mereka, mengecualikan mereka dari masyarakat, menolak hak mereka dan menghapus sejarah mereka," katanya.

"Itu sengaja dirancang untuk menjaga Rohingya dalam keadaan non-kewarganegaraan."

Perwakilan pemerintah militer Myanmar tidak menanggapi permintaan komentar.

Pemerintah sipil Suu Kyi, yang sebelumnya mendorong NVC, mengatakan bahwa identitas itu diperlukan untuk tujuan keamanan, dan pemegangnya memiliki kesempatan untuk mengajukan kewarganegaraan.

Topik Menarik