Pfizer Siapkan Aplikasi Pendeteksi Covid-19 dari Suara Batuk

Pfizer Siapkan Aplikasi Pendeteksi Covid-19 dari Suara Batuk

Global | koran-jakarta.com | Senin, 3 Oktober 2022 - 00:07
share

SYDNEY - Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat (AS), Pfizer, mengakuisisi aplikasi ponsel yang dapat mendeteksi Covid-19 berdasarkan suara batuk seseorang. Hal ini dilakukan di tengah harapan teknologi tersebut pada akhirnya dapat menggantikan PCR dan rapid antigen test.

Dilansir Straits Times , aplikasi ini menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk mendiagnosa berbagai penyakit pernapasan seperti asma, pneumonia, dan bronkiolitis dengan menganalisis suara batuk seseorang. Batuk bisa spontan atau sukarela.

Itu juga memperhitungkan gejala yang dilaporkan sendiri seperti pilek atau demam saat mendiagnosis keparahan kondisi.

"Dalam uji coba terhadap 741 orang, di antaranya 446 memiliki Covid-19, aplikasi tersebut secara akurat mengidentifikasi 92 persen orang yang terinfeksi dari batuk mereka," kata perusahaan rintisan Universitas Queensland, ResApp Health,baru-baru ini.

Dikatakan aplikasinya juga memiliki tingkat akurasi 80 persen dalam mengidentifikasi kasus negatif. Di Australia, tes antigen cepat yang disetujui harus memiliki tingkat akurasi minimal 80 persen.

Uji coba menunjukkan aplikasi tersebut dapat berguna di bandara, stadion olahraga, dan fasilitas perawatan lanjut usia, di mana membutuhkan skrining segera, dan efektif tanpa biaya.

Beberapa hari yang lalu, Pfizer mengakuisisi ResApp Health seharga 179 juta dollar Australia.Teknologi di balik aplikasi ini dikembangkan oleh pakar teknik biomedis dari University of Queensland, Udantha Abeyratne.

Abeyratne mengatakan kepada The Straits Times bahwa ide tersebut muncul setelah Bill & Melinda Gates Foundation menyatakan minatnya untuk mendanai teknologi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis pneumonia pada anak-anak di bagian terpencil dunia yang tidak memiliki akses ke dokter.

Dia menerima hibah dari yayasan dan melanjutkan untuk mengembangkan teknologi. "Ketika seseorang batuk, paru-paru mereka terbuka ke atmosfer. Saluran itu memberikan banyak informasi tentang paru-paru mereka," tuturnya.

Abeyratne yakin teknologi itu memiliki berbagai potensi penggunaan di masa depan, termasuk di bandara dan untuk memantau penyakit pernapasan setelah bencana alam seperti banjir dan angin topan.

"Saya pikir kita hanya menggaruk permukaan, ada banyak hal yang ingin kita lakukan," tambah Abeyratne, yang juga menciptakan teknologi sebelumnya yang dapat mendeteksi sleep apnea dari dengkuran seseorang. Gangguan ini menyebabkan pernapasan berhenti dan mulai saat tidur.

Australia telah mengalami beberapa gelombang Covid-19 sejak membuka kembali perbatasan dan menghapus sebagian besar pembatasan akhir tahun lalu.

Namun, infeksi baru dan jumlah rawat inap telah turun, mendorong pemerintah untuk mengumumkan pada Jumat bahwa isolasi lima hari wajib untuk kasus Covid-19 akan berakhir pada 14 Oktober.

Jumlah harian rata-rata kasus baru dalam seminggu terakhir adalah 5.502, turun dari lebih dari 50.000 pada bulan Juli. Data terakhir menunjukkan ada 1.724 pasien Covid-19 di rumah sakit Selasa lalu, dibandingkan dengan lebih dari 5.000 pada awal Agustus.

Pemerintah federal mengatakan keputusan untuk membatalkan isolasi diri didasarkan pada tingkat penularan Covid-19 yang rendah di negara itu dan tingkat vaksinasi yang tinggi. Lebih dari 90 persen warga Australia berusia lima tahun ke atas telah mendapatkan dua dosis vaksin.

"Kami mengubah posisi kami berdasarkan saran dan keadaan yang berubah. Tidak ada peran pemerintah dalam menjalankan setiap kehidupan masyarakat selamanya," kata Perdana Menteri Anthony Albanese kepada wartawan, Jumat.

"Ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pandemi selesai," kata kepala petugas medis negara itu, Paul Kelly.

Asosiasi Medis Australia mengkritik keputusan tersebut, dengan mengatakan bahwa Australia memasuki era berisiko ketika orang bepergian ke luar negeri pada saat jumlah kasus di banyak bagian dunia meningkat.

"Orang-orang yang mendorong agar periode isolasi dipotong tidak melek ilmiah dan membahayakan publik," kata presiden asosiasi, Profesor Steve Robson, kepada ABC News .

Topik Menarik