The Fed Dinilai Masih Perlu Menaikkan Bunga ke Level 4,5-5%

The Fed Dinilai Masih Perlu Menaikkan Bunga ke Level 4,5-5%

Global | koran-jakarta.com | Sabtu, 1 Oktober 2022 - 00:02
share

SAN FRANCISCO - Presiden Bank Federal Reserve San Francisco, Mary Daly, pada Kamis (29/9) waktu setempat, merasa yakin akan perlunya menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) ke kisaran 4,5-5,0 persen dan menahannya di level tersebut sampai akhir 2023 untuk mengendalikan inflasi. Dia pun masih bisa mendukung untuk mengambil kebijakan lebih lanjut jika inflasi tidak turun seperti yang diharapkan.

"Saya cukup nyaman" dengan proyeksi pembuat kebijakan yang diterbitkan minggu lalu yang menunjukkan mayoritas melihat suku bunga kebijakan the Fed naik menjadi 4,0- 4,5 persen tahun ini dan 4,5-5,0 persen tahun depan," kata Daly kepada wartawan seusai mengikuti acara di Boise State University. "Ini akan mengambil kebijakan restriktif untuk jangka waktu tertentu guna mendapatkan bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa inflasi kembali ke 2,0 persen.

Dari pikiran saya, itu setidaknya sampai tahun depan," kata Daly seperti dikutip dari Antara. Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, pekan lalu, memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya 75 basis poin untuk kali ketiga berturut-turut. Keputusan itu, mengangkat kisaran target suku bunga kebijakan menjadi 3,00-3,25 persen.

Saat ditanya, apakah gejolak pasar global dapat mendorongnya untuk mendukung penghentian kenaikan suku bunga, Daly menjawab kalau pasar keuangan global hanyalah salah satu bagian dari persamaan. "Saya benar-benar melihat kondisi keuangan yang diperketat lebih dari pengetatan suku bunga dana (fund rate), dan lebih dari yang diproyeksikan, karena sekarang orang menyadari ada pengetatan global di mana-mana dan pasar keuangan benar-benar merespons.

Jika itu masalahnya, kemudian Anda tahu, memperlambat laju kenaikan, tetapi tetap menuju suku bunga yang terminal (titik puncak suku bunga acuan) yang tepat dan sesuai," kata Daly. Namun demikian, kalau inflasi terus melonjak tinggi dan tidak mendapatkan ruang untuk meredamnya, termasuk peluang pelonggaran pasar tenaga kerja, maka pada dasarnya itu adalah ekonomi yang masih mendapat banyak momentum.

"Inflasi masih terlalu tinggi, kita akan terus bergerak naik karena kita akan memahami bahwa suku bunga terminal tidak sedekat yang seharusnya," kata Daly.

Langkah Agresif

Pengamat Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan langkah the Fed dalam mempertahankan suku bunga acuan memang ciri khas hawkish atau cenderung konstraktif dengan harapan negara-negara lain termasuk Indonesia bersiap mengantisipasi dampaknya. "Sebetulnya langkah the Fed ini sudah bisa diduga karena sesuai dengan gaya hawkish-nya selama ini dalam mengatasi keadaan. Pengamat juga sudah banyak memprediksi.

Langkah agresif itu tentu berdampak pada hot money di banyak negara. Sekali lagi, ini menunjukkan hot money kurang bisa diandalkan dalam perekonomian karena sifatnya yang sangat liquid," katanya. Berbeda dengan Foreign Direct Investment (FDI) atau penanaman modal asing langsung yang akan berubah menjadi bisnis dan mempunyai banyak dampak ikutan positif seperti berjalannya supply and chain, penyerapan dan seterusnya.

Makanya, pemerintah harus mengembangkan iklim bisnis yang ramah investasi, supaya bisa terus berproduksi, dengan harapan menjaga ketercukupan suplai barang, sehingga dapat meredakan inflasi. Selain keluarnya hot money, tekanan yang dialami rupiah juga disebabkan lemahnya struktur ekspor Indonesia yang lebih banyak bertumpu pada komoditas primer. Sementara imported inflation juga menekan inflasi yang diakibatkan barang-barang impor.

Topik Menarik