Sekjen PBB Meminta Iran untuk Menahan Diri dalam Menghadapi Pengunjuk Rasa

Sekjen PBB Meminta Iran untuk Menahan Diri dalam Menghadapi Pengunjuk Rasa

Global | koran-jakarta.com | Rabu, 28 September 2022 - 15:00
share

NEW YORK - Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, baru-baru ini meminta Presiden Iran, Ebrahim Raisi, untuk tidak menggunakan "kekuatan yang tidak proporsional" terhadap pengunjuk rasa yang turun ke jalan, pasca kematian Mahsa Amini, seorang wanita muda yang meninggal dalam tahanan polisi moral Iran.

Menurut juru bicaranya, Stephane Dujarric, dalam pertemuan bilateral pekan lalu selama Sidang Umum PBB, Guterres menekankan kepada Presiden Raisi perlunya menghormati hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai.

"Kami semakin prihatin dengan laporan meningkatnya korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak, terkait protes," kata Dujarric dalam sebuah pernyataan.

"Guterres menyerukan pasukan keamanan untuk menahan diri dari menggunakan kekuatan yang tidak perlu atau tidak proporsional dan meminta semua untuk menahan diri sepenuhnya untuk menghindari eskalasi lebih lanjut," tegasnya.

Dia juga menyerukan "penyelidikan yang cepat, tidak memihak dan efektif" atas kematian Mahsa Amini, yang memicu protes nasional yang telah menewaskan sedikitnya puluhan orang. Raisi lewat kantornya pada Sabtu menyebut protes itu sebagai "kerusuhan" dan mendesak "tindakan tegas terhadap penentang keamanan dan perdamaian negara dan rakyat".

Prancis pada Senin mengeluarkan "kecaman paling keras" atas "penindasan kekerasan" oleh pasukan keamanan Iran. Jerman memanggil Duta Besar Iran di Berlin untuk meminta keterangan, dan Kanada mengumumkan sanksi baru.

Sehari sebelumnya, Uni Eropa menyatakan menyesalkan tindakan keras itu. Iran menerangkan sudah memanggil pulang duta besarnya dari Inggris dan Norwegia.

"Kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk secara tegas dan bersatu mengambil langkah-langkah praktis untuk menghentikan pembunuhan dan penyiksaan para pengunjuk rasa," kata direktur IHR Mahmood Amiry-Moghaddam.

Setidaknya 76 pengunjuk rasa tewas oleh tindakan pasukan keamanan Iran selama 11 hari kerusuhan yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini.

Lembaga Hak Asasi Manusia Iran (IHR), sebuah organisasi yang berbasis di Norwegia, menuduh pihak berwenang menggunakan kekuatan yang tidak proporsional serta peluru tajam untuk meredam aksi para demonstran.

Namun, media pemerintah Iran menyebut jumlah korban tewas sebanyak 41 orang, termasuk beberapa petugas keamanan, dan menyalahkan para "perusuh".

Ratusan orang juga telah ditangkap, dan Komite Perlindungan Jurnalis CPJ mengatakan setidaknya 20 jurnalis telah ditangkap.

Rekaman video dan sertifikat kematian yang diperoleh IHR menunjukkan "amunisi tajam telah ditembakkan langsung ke pengunjuk rasa".

"Risiko penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap pengunjuk rasa adalah hal serius dan penggunaan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa adalah kejahatan internasional," kata Direktur IHR, Mahmood Amiry-Moghaddam.

"Dunia harus membela rakyat Iran yang menuntut hak-hak dasar mereka," sambungnya.

Kantor hak asasi manusia PBB juga mengatakan sangat prihatin dengan sikap pihak berwenang yang merespons demonstrasi dengan aksi kekerasan seraya mendesak mereka untuk menghormati hak untuk melakukan protes secara damai.

Bentrokan antara polisi dan warga berlangsung di ibu kota Iran, Teheran, di tengah makin meluasnya aksi unjuk rasa yang dipicu tewasnya Mahsa Amini setelah ditangkap polisi moral.

Amini, 22 tahun, ditangkap dengan tuduhan "tidak sempurna mengenakan hijab".

Beberapa laporan menyebutkan bentrok di Teheran adalah yang terburuk dalam tiga tahun. Seorang warga kepada BBC Persian mengatakan kawasan tempat ia tinggal sudah mirip "medan pertempuran".

Aksi protes dilaporkan meluas ke setidaknya 80 kota. Televisi pemerintah mengatakan, 17 orang tewas sejauh ini, tiga di antaranya adalah anggota aparat keamanan.

Di Kota Mashhad di timur, seorang pemrotes perempuan berdiri di atas mobil polisi dan berteriak, "Kami tidak menginginkan republik Islam".

Garda Revolusi, yang sangat berpengaruh, sudah meminta aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas bagi mereka yang dianggap menyebarkan berita bohong ataupun rumor.

Pihak berwenang juga dilaporkan berusaha memblokir akses internet.

Dalam unjuk rasa Rabu (21/9), ratusan demonstran berteriak "matilah diktator" dan "perempuan, kehidupan, kebebasan" di sejumlah lokasi, termasuk Universitas Teheran.

Di berbagai kota di seluruh penjuru Iran, orang-orang melempar batu atau membakar mobil-mobil polisi. Para demonstran perempuan membakar hijab atau memotong rambut mereka di depan umum.

Di wilayah Sari, di utara Teheran, kerumunan besar demonstran bersorak ketika para perempuan membakar hijab mereka dalam aksi protes yang menantang.

Wartawan BBC , Kasra Naji, mengatakan beberapa kawasan di Teheran utara dan tengah, penuh dengan gas air mata pada Rabu malam ketika polisi antihuru-hara, dengan dukungan aparat keamanan tak berseragam, menyerang para pemrotes di sejumlah lokasi.

Di beberapa ruas jalan, demonstran membakar sampah dan melakukan pemblokiran seraya meneriakkan slogan-slogan yang mengecam pemimpin terrtinggi Iran.

Demonstrasi di Iran

Ayah Amini, Amjad mengatakan, putrinya terlihat mengalami memar saat berada di kantor polisi dan sebelumnya tak punya masalah kesehatan.

Amjad mengatakan dirinya dilarang memeriksa jenazah putrinya sebelum dimakamkan. Ia mengatakan, dirinya hanya dibolehkan melihat jenazah di bagian wajah, namun dilarang melihat kepala bagian belakang.

"Dibolehkan juga melihat kedua kaki, yang ia katakan memar," ujarnya.

Mahsa Amini meninggal di rumah sakit pada hari Jumat (16/9), setelah sebelumnya dirawat tiga hari dalam keadaan koma. Amini ditangkap di ibu kota pekan lalu oleh polisi moral Iran, dan mengalami koma tak lama setelah pingsan di pusat penahanan.

"Sejumlah laporan menyebutkan polisi memukul kepala Amini dengan tongkat dan membenturkan kepalanya ke salah satu kendaraan mereka," kata Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Nada al-Nashif.

Polisi membantah bahwa Amini dianiaya dan mengatakan dia menderita "gagal jantung mendadak". Namun, keluarga Amini membantah dan mengatakan dia bugar dan sehat.

Perempuan berusia 22 tahun itu berasal dari Provinsi Kurdistan di Iran barat, di mana tiga orang tewas pada Senin lalu ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah pengunjuk rasa.

Pemakaman berlangsung di Saqez, kampung halaman Amini, yang terletak di Kurdistan, Iran bagian barat.

Dalam video lain yang beredar di media sosial, penduduk setempat berkumpul pagi-pagi sekali demi menghindari pasukan keamanan Iran mencegah mereka melakukan demonstrasi di pemakaman.

Laporan menunjukkan beberapa pengunjuk rasa yang marah berbaris menuju kantor gubernur setempat untuk memprotes kematian Amini.

Menurut video yang diterima dan diverifikasi oleh BBC Persia , pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa.

Dalam sebuah video yang dipublikasikan di Twitter , pasukan keamanan terlihat menjaga kantor gubernur dan menangkap pengunjuk rasa yang mencoba mendekati gedung.

Sementara, unggahan lain menunjukkan nisan Amini beredar di dunia maya. Nisan itu bertuliskan: "Kamu tidak mati. Namamu akan menjadi kode (untuk panggilan berunjuk rasa)".

Media pemerintah melaporkan, seorang ajudan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengunjungi keluarga Amini pada hari Senin dan mengatakan kepada mereka bahwa "semua lembaga akan mengambil tindakan untuk membela hak-hak yang dilanggar".

Anggota parlemen senior Jalal Rashidi Koochi secara terbuka mengkritik polisi moral, mengatakan pasukan itu adalah "kesalahan" karena hanya menghasilkan "kerugian dan kerusakan" bagi Iran.

Setelah Revolusi Islam tahun 1979, pihak berwenang di Iran memberlakukan aturan berpakaian yang mewajibkan semua perempuan mengenakan hijab dan pakaian longgar yang menyamarkan lekuk tubuh di depan umum.

Polisi moralitas, yang secara resmi dikenal sebagai "Gasht-e Irsyad" (Patroli Pembimbing), ditugaskan, antara lain, untuk memastikan perempuan sesuai dengan interpretasi pihak berwenang tentang pakaian "yang pantas".

Petugas memiliki kewenangan untuk menghentikan perempuan dan menilai apakah mereka memperlihatkan terlalu banyak rambut; celana panjang dan mantel terlalu pendek atau pas; bahkan memakai terlalu banyak rias wajah.

Hukuman jika melanggar aturan termasuk mulai dari denda, penjara hingga cambuk.

Hengaw, organisasi berbasis di Norwegia yang memantau HAM di daerah yang didominasi Kurdi, mengatakan, 38 orang terluka pada Sabtu dan Minggu.

Polisi anti huru hara menembakkan peluru tajam, peluru karet, dan gas air mata kepada para demonstran di Saqez dan Sanandaj, ibu kota provinsi Kurdistan Iran.

Kelompok tersebut melaporkan tiga pengunjuk rasa pria ditembak dan tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan pada Senin, satu di Saqez dan dua lainnya di kota Divandarreh dan Dehgolan, ketika kerusuhan meningkat.

Di Teheran, video yang diunggah daring menunjukkan perempuan melepas hijab mereka dan meneriakkan "matilah diktator" nyanyian yang sering digunakan untuk merujuk pada Pemimpin Tertinggi.

Yang lain meneriakkan "keadilan, kebebasan, tidak untuk kewajiban hijab". Di provinsi utara Gilan, pengunjuk rasa juga bentrok dengan polisi.

Seorang perempuan yang ikut serta dalam protes pada Senin malam di kota utara Rasht mengirim foto-foto ke BBC Persia .

Foto itu berisi apa yang dia katakan sebagai memar yang dideritanya akibat dipukuli oleh polisi anti huru hara dengan tongkat dan selang. "Polisi terus menembakkan gas air mata. Mata kami terbakar," katanya.

"Kami melarikan diri, mereka memojokkan saya dan memukuli saya. Mereka menyebut saya pelacur dan mengatakan saya berada di jalan untuk menjual diri," tambahnya.

"Saat kami melambaikan hijab kami ke langit, saya merasa sangat emosional dikelilingi dan dilindungi oleh pria lain. Senang rasanya melihat persatuan ini. Saya harap dunia mendukung kami," kata perempuan lain yang berdemo di pusat kota Isfahan.

PBB telah menyampaikan kekhawatiran atas tindakan pihak berwenang di Irak dalam merespons aksi protes yang dipicu oleh meninggalnya Mahsa Amini, perempuan yang ditahan karena melanggar aturan hijab.

PBB mendesak para pemimpin Iran untuk mengizinkan unjuk rasa damai dan menggelar investigasi yang transparan atas meninggalnya Amini.

Baru-baru ini, Kepala Peradilan Iran, Gholamhossein Mohseni-Ejeie, menyarankan kekuatan asing berada di balik kampanye tersebut, menginstruksikan badan-badan intelijen untuk menemukan "tangan di balik cadar".

Banyak orang Iran menyalahkan Pemimpin Tertinggi, Ali Khamenei, secara langsung.

Pidato lamanya dibagikan kembali di media sosial di mana ia membenarkan peran polisi moral dan menegaskan bahwa di bawah pemerintahan Islam, perempuan harus dipaksa untuk mematuhi aturan berpakaian Islami.

Episode terbaru yang melibatkan kematian Amini, hanya akan memperdalam kesenjangan antara sebagian besar generasi muda Iran dan para penguasa radikalnya, sebuah keretakan yang tampaknya semakin sulit untuk diperbaiki.

Topik Menarik