Pengadilan Guantanamo Tetapkan Sidang Praperadilan untuk Tersangka Bom Bali

Pengadilan Guantanamo Tetapkan Sidang Praperadilan untuk Tersangka Bom Bali

Global | koran-jakarta.com | Rabu, 24 Agustus 2022 - 03:27
share

ARLINGTON COUNTY - Terdakwa terorisme asal Indonesia, Encep Nurjaman alias Hambali dan dua warga negara Malaysia yang telah dipenjara selama lebih dari 15 tahun di Teluk Guantanamo, Kuba, atas tuduhan terorisme terkait dengan Bom Bali 2002, akan hadir di sidang praperadilan pada akhir Oktober.

Pejabat Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengumumkan hal itu Senin (22/8) dan jika semuanya berjalan sesuai jadwal, Hambali dan dua rekannya asal Malaysia, Nazir Bin Lep dan Farik Bin Amin, akan muncul di pengadilan militer di Guantanamo dari 31 Oktober hingga 4 November.

Kemunculan mereka di ruang sidang akan menjadi kehadiran mereka yang kedua sejak mereka ditangkap di Thailand pada 2003. Sidang pengadilan mereka akan berlangsung sekitar dua minggu setelah peringatan 20 tahun bom Bali. Bom yang terjadi pada 12 Oktober 2002 dan menewaskan 202 orang itu merupakan serangan teroris paling mematikan dalam sejarah Indonesia.

Menurut laporan Senat AS 2014, saat ketiganya ditangkap 19 tahun lalu, mereka dikirim ke lokasi yang disebut sebagai situs hitam Badan Intelijen Pusat (CIA), di mana mereka disiksa sebelum akhirnya dipindahkan ke penjara militer AS di Kuba pada 2006.

Pengadilan militer dan Departemen Pertahanan AS tidak merilis rincian dari sidang yang direncanakan untuk ketiganya, dan hanya menyebutkan dalam pernyataan singkat kepada media yang tertarik untuk meliput proses di Pangkalan Angkatan Laut AS di Guantanamo bahwa "ketiganya telah didakwa bersama sehubungan dengan dugaan peran mereka dalam pemboman tahun 2002 dan 2003 di Indonesia".

Ajukan Protes

Ketiga pria ini pertama kali muncul di pengadilan militer di Guantanamo selama masa dakwaan mereka pada Agustus 2021. Pada saat itu, pengacara mereka mengajukan protes di hadapan hakim militer, Hayes Larsen atas buruknya kualitas terjemahan yang diterima oleh klien mereka.

Hambali, Nazir, dan Farik disebut sebagai "musuh asing yang tidak memiliki hak" dalam beberapa dokumen pengadilan. Mereka menghadapi dakwaan terkait dengan serangan bom Bali pada 2002 dan pengeboman di JW Hotel Marriott di Jakarta pada 2003. Tak satu pun dari mereka mengajukan pembelaan atas tuduhan terhadap mereka setelah dakwaan mereka dibacakan Agustus tahun lalu.

Untuk meningkatkan kualitas terjemahan bagi ketiga terdakwa, Hakim Larsen memerintahkan jaksa militer untuk menyewa dan menugaskan penerjemah yang memenuhi syarat untuk setiap tindakan pengadilan yang akan datang.

"Semua tim pembela mengindikasikan mereka membutuhkan jaminan agar dapat menggunakan penerjemah dari Departemen Pertahanan yang disediakan pemerintah untuk komunikasi antara pengacara dan klien," tulis Larsen dalam dokumen pengadilan yang diajukan Januari lalu sebelum jadwal yang seharusnya menjadi sidang praperadilan pada akhir Februari.

Jaksa menanggapi hakim dalam dokumen pengadilan 1 Februari bahwa mereka sedang mencari empat penerjemah, masing-masing dua penerjemah untuk setiap bahasa yang digunakan, untuk bekerja penuh waktu.

"Karena batas waktu yang tidak pasti untuk memperoleh izin bagi karyawan baru yang tidak memiliki izin keamanan, terlalu spekulatif untuk memperkirakan kapan penerjemah penuh waktu yang telah mendapat izin sepenuhnya akan tersedia untuk membantu komisi," tulis mereka.

James Hodes, pengacara yang mewakili Hambali, mengecam jaksa dan menyebutkan jaksa memiliki waktu selama18 tahun untuk mempersiapkan berkas dakwaan mereka terhadap kliennya, termasuk mempekerjakan "penerjemah berkualifikasi untuk komisi".

"Hal ini telah ditugaskan kepada mereka dan mereka telah gagal menjalankannya," ujar Hodes kepada Benarnews awal tahun ini, sambil menyebut ketiadaan penerjemah menjadi "hambatan besar bagi pengadilan yang adil".

Hodes tidak dapat segera dihubungi pada Senin untuk mengomentari tanggal pengadilan yang diusulkan.

Pengumuman dari Pentagon tentang sidang praperadilan Hambali keluar beberapa hari setelah pemerintah Indonesia mengatakan Umar Patek, narapidana teroris yang dijatuhi hukuman penjara lebih dari 20 tahun pada 2012 karena terlibat dalam bom Bali akan dibebaskan dengan pembebasan bersyarat. Pengumuman itu menyulut kemarahan pemerintah Australia yang 88 warganya tewas dalam serangan itu.

Menurut beberapa pejabat, Umar bisa dibebaskan dalam beberapa hari ke depan karena dia telah menjalani cukup waktu untuk memenuhi syarat pembebasan bersyarat, setelah mendapat remisi hukuman lima bulan pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus lalu, yang ditambah dengan remisi yang sudah didapat sebelumnya. Namun menurut laporan media, dia bisa tetap dipenjara hingga 2029 jika pembebasan bersyaratnya ditolak.

"Bebasnya Umar Patek kita harapkan bisa dilibatkan lebih masif lagi dalam program deradikalisasi," ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Akhmad Nurwahid.

Menurut Nurwahid, Umar sudah moderat dan tidak anti pemerintah setelah berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia di Lapas Kelas I Surabaya di Porong, Sidoharjo, Jawa Timur.

Dyah Ayu Kartika, peneliti di Institute for Policy Analysis of Conflict, lembaga kajian di Jakarta yang mengkhususkan diri dalam penelitian terorisme, mengatakan selama di penjara, Umar telah membantu pemerintah dalam program deradikalisasi.

"Dia banyak dibantu pemerintah, termasuk menjadikan istrinya yang sebelumnya berkewarganegaraan Filipina, menjadiWNI (Warga Negara Indonesia). Ini juga faktor penting dalam proses deradikalisasinya," ujar Dyah.

Topik Menarik