Budayawan Kepulauan Riau Turun Tangan Beber Sejarah Lengkap Sebelum Malaysia Eksis, Mahathir Minder!

Budayawan Kepulauan Riau Turun Tangan Beber Sejarah Lengkap Sebelum Malaysia Eksis, Mahathir Minder!

Global | wartaekonomi | Kamis, 23 Juni 2022 - 05:45
share

Pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad belum lama ini bahwa Kepulauan Riau (Kepri) seharusnya diklaim jadi bagian dari negara Malaysia, menjadi kontroversi.

Sejumlah tokoh dan budayawan Melayu di Kepulauan Riau akhirnya angkat bicara dan menjelaskan melalui sejarah Kepulauan Riau.

Sastrawan dan budayawan Melayu, Rida K Liamsi, menegaskan bahwa Mahathir Mohamad tidak memiliki dasar mengeklaim Kepulauan Riau. Bahkan menurut tokoh Kepulauan Riau ini, Indonesia-lah yang bisa mengeklaim Johor dan Singapura, Pahang serta Terengganu, sebagai bagian dari Indonesia.

Namun demikian, dikatakan Rida K Liamsi yang dianugerahi Datok Seri Lela Budaya ini, bahwa setelah berdirinya Malaysia sebagai negeri yang merdeka, dengan wilayah persekutuan yang ada sekarang ini, secara politik klaim berdasarkan jejak kesejarahan yang lalu itu sudah selesai dan tidak relevan lagi.

"Jauh dari kontroversi ini, dalam hal hubungan budaya rumpun bangsa Melayu ini akan tetap hidup dan tetap merasa serumpun dan sebangsa, meskipun dengan raja yang berbeda," kata Rida, Rabu (22/6/2022).

Dalam tulisannya, Rida menjelaskan ketika Sultan Mahmud Syah Melaka wafat tahun 1528 di Pekan Tua, Kampar (Indonesia sekarang), dia digantikan anaknya, Alaudin Riayat Syah, sebagaI Sultan Melaka.

Karena terus-menerus dalam ancaman Portugis dan konflik politik sesama penerus Melaka, di Pekan Tua, Alaudin pergi ke Pahang dan ingin menjadi sultan di sana, karena Pahang meski jadi kerajaan sendiri, tapi tunduk ke Melaka.

Namun, dia telah ditolak oleh penerus Melaka lainnya yang berkuasa di Pahang (dinasti Muhammad Syah), lalu Alaudin pergi ke Johor.

Dia diterima di negeri yang tidak beraja ini, dan kemudian mendirikan kerajaan di sana. Sejak 1529 itu sampai tahun 1721, kerajaan itu disebut kerajaan Johor (Pahang, Terengganu, dan Riau).

Pertanyaannya, lanjut Rida, mengapa kerajaan ini tidak disebut kerajaan Melaka. Bukankah para pendiri dan penerusnya adalah keturunan Sultan Melaka Mahmud Syah, setidaknya sampai tahun 1699, penyebabnya antara lain karena sejak eksis di tanah Johor di ujung selatan Semenanjung Melaka itu, tidak sekalipun kerajaan ini pindah pusat pemerintahannya kembali dan berpusat di Melaka.

Bahkan tahun 1641, ketika Johor yang dibantu Belanda berhasil menyingkirkan Portugis dari Melaka, Johor malah menyerahkan Melaka pada Belanda kala itu.

Rida menyampaikan kenyataan demikian juga terjadi dengan kerajaan Kesultanan Riau (Johor, Pahang, dan Lingga) yang eksis sejak 1722 di hulu sungai Riau (Sungai Carang sekarang) di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Sampai kesultanan ini runtuh ditelan Belanda tahun 1912, tidak sekalipun pindah ke Johor atau semenanjung tanah Melayu. Bahkan ibu kota pemerintahannya tahun 1787, pernah pindah ke Daik (Lingga), dan tahun 1900 pindah ke Penyengat.

Jadi mengapa kesultanan ini disebut kesultanan Johor, Pahang, dan Riau, karena memang Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (Dipertuan Besar), kesultanan Riau yang pertama, adalah putra Tun Abdul Jalil, Sultan Johor yang disingkirkan Raja Kecik (keturunan darah Melaka), tapi Sultan Sulaiman sama seperti Alaudin Riayat Syah (Melaka), tidak sekalipun berniat memindahkan pusat pemerintahannya ke Johor.

Sebaliknya, Johor hanya dijadikan daerah pegangan Temenggung, bersama Singapura.

"Artinya jika mengambil kasus berdirinya kerajaan Johor, tahun 1529, maka kesultanan Riau (Johor, Pahang, Lingga) yang berdiri tahun 1722 itu, bukan lagi bahagian dan penerus kesultanan Johor yang sudah tumbang tahun 1721," jelasnya.

Dengan begitu, Kesultanan Riau (1722-1912) adalah kerajaan baru bernama kerajaan Riau, sementara nama Johor, Pahang, dan Terengganu disebut karena daerah itu merupakan daerah taklukan dan negeri pegangan.

Artinya, kesultanan Riau itu, sejak 1722, adalah bagian dari sejarah Indonesia, bukan bagian sejarah Malaysia.

Apalagi dalam aspek pemerintahan, di kesultanan Riau itu sudah bersatu dan bersebati dengan tradisi dan sistim politik Bugis. Persebatian Melayu-Bugis telah menjadi sistim dan kedaulatan politik di kesultanan ini.

Dalam sejarahnya, kata Rida kembali, yang dapat dikatakan penerus kerajaan Johor itu sebenarnya adalah kerajaan Siak Sri Indrapura, yang berpusat di Sungai Siak (Riau sekarang), karena pendirinya adalah Raja Kecik, Sultan Johor yang bergelar Abdul Jalil Rahmat Syah, karena ketika dia mendirikan kerajaan Siak, dia tetap memakai gelar Sultan Johor, Abdul Jalil Rahmat Syah. Sama seperti Alaudin Riayat Syah yang memakai gelar Sultan warisan Melaka.

"Tapi seperti Alaudin Riauat Syah, maka Raja Kecik atau Abdul Jalil Rahmat Syah itupun tidak sekalipun pernah memindahkan kembali pusat pemerintahannya ke Johor. Raja Kecik (1721-1740), tetap di Siak sampai akhir hayatnya. Demikian juga dengan para penerusnya, sampai kerajaan ini berakhir tahun 1946. Siak tetap menjadi bahagian sejarah Indonesia, sejak tahun 1723," ujar Rida menceritakan.

Pada 1819, ketika Sultan Husin Syah, putra tertua Sultan Riau, Mahmud Riayat Syah, mendirikan kerajaan Singapura dan Johor, dengan bantuan Inggris, dia tetap menyembah ke Riau dan mengaku kerajaan Riau sebagai pusat daulat dan tempat meminta tunjuk ajar dalam urusan pemerintahan dan adat-istiadat.

Demikian juga Pahang. Baru tahun 1885, Johor menjadi kerajaan baru di bawah Maharaja Abu Bakar dan tahun 1888, Pahang menjadi kerajaan sendiri di bawah Ahmad Syah, yang keduanya didukung oleh Inggris.

"Jadi kenyataan sejarah masa lalu ini, apakah sebagai dasar klaim seperti konroversi saat ini, sebenarnya bisa juga dilakukan oleh Indonesia melalui sejarah Kepulauan Riau yang mewarisi wilayah administrasi pemerintahan eks Kesultanan Riau saat itu, terhadap Singapura, Johor, dan Pahang, karena ketiga wilayah itu dahulunya adalah daerah taklukan dan kekuasaan Kesultanan Riau," kata Rida.

Klaim seperti ini, lanjut Rida, pernah dilakukan oleh Sultan Riau Mahmud Muzaffar Syah (1843-1857) yang minta Inggris mengembalikan Pahang, Johor, dan Terengganu kepada Kesultanan Riau.

Bahkan tahun 1852, Sultan Singapura dan Johor, Ali Iskandar Syah, pernah hendak mengembalikan Singapura dan Johor kepada Riau, tapi telah digagalkan oleh Inggris dan Belanda.

Karena rencana politiknya itu, Mahmud Muzaffar Syah dimakzulkan oleh Belanda, diawasi tindak tanduknya oleh Inggris di kawasan Semenanjung. Mahmudc Muzaffar Syah pernah menggunakan seorang pengacara asing untuk mewujudkan klaimnya itu, menyatukan kembali wilayah kekuasaan Kesultanan Riau yang sudah tercabik cabik itu.

"Namun, Belanda dan Inggris lah yang memisahkan kedaulatan Kesultanan Riau (Johor, Pahang, Lingga) melalui Traktat London 1824," jelasnya.

Dan Belanda-lah yang paling kukuh menggunakan istilah kerajaan Johor, Riau dan Pahang, dalam dokumen-dokumen perjanjian, kontrak politik dan administrasi pemerintahan nya karena kepentingan politik mereka ingin tetap menjadikan kawasan Semenanjung tanah melayu ini, sebelum tahun 1824, tetap di bawah kendali Gubernur Belanda di Melaka. Dokumen-dokumen Belanda itulah yang kemudian dijadikan sumber primer dalam penulisan sejarah kawasan Semenanjung ini.

Dikatakan Rida, sejarah yang ditulis dari sudut pandang penjajah Belanda dan Inggris dan bukan dari sudut pandang Indonesia.

Penulisan sejarah yang hanya mengakui eksistensi Kesultanan Riau itu sebagai bahagian sejarah Indonesia, mulai tahun 1824 sampai 1912 dan seterusnya sampai masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Itupun masih terus di obok-obok Belanda sampai tahun 1950, sebelum Belanda benar-benar angkat kaki dari Kepulauan Riau.

"Fakta sejarah mana yang bisa mengklaim Kepulauan Riau. Bukankah dari keturunan Raja Bintan lah (Sang Nila Utama dan Wan Seri Beni) adanya Raja Raja Melaka. Bukankah dahulu wilayah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit juga sampai ke tanah Semenanjung," tegas Rida.

Berterima Kasih pada Mahathir Mohamad

Namun demikian, Rida menyampaikan ucapan terima kasih kepada Mahathir Mohamad karena telah membantu Indonesia untuk melawan lupanya, dan agar tidak melalaikan kewajiban menjaga dan merawat jejak sejarahnya.

Selama ini, lanjut Rida, meskipun Kesultanan Riau yang jatuh bangun hampir 200 tahun itu dahulunya sudah menyumbang bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa kebangsaan Indonesia dan tiga pahlawan nasional (Raja Haji Fisabillah, Raja Ali Haji dan Mahmud Riayat Syah) berasal dari era Kesultanan Riau.

"Tapi dalam buku sejarah nasional Indonesia, sejarah Kesultanan Riau itu cuma dicatat dalam satu dua alenia saja. Elit politik, termasuk para sejarawan Indonesia itu memang agak abai, dan baru terperanjat dan kelang kabut mencari jejak dan rujukan sejarah, ketika ada Tokong Pulau diklaim negara lain.

"Jadi tulis ulang lah buku sejarah nasional Indonesia itu. Pidato Dr M sebuah peringatan, bahwa sejarah itu penting. Tak ada masa depan kalau tak ada masa lalu. Dan masa lalu itu adalah sejarah," pungkas Rida yang merupakan anggota kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Sementara itu, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau, Abdul Razak juga menyampaikan sejarahnya bahkan Malaysia dan Singapura masuk dalam wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang saat ini berada di Indonesia.

"Namun dalam Traktat London 1824 itu terbagi lah dua kekuasaan jajahan antara Inggris dan Belanda. Sehingga Semenanjung Malaya dan Singapura dibawah kekuasaan Inggris, sedangkan Riau Kepulauan dan daerah yang berada di selatan Singapura jatuh ke tangan Belanda," ujarnya.

Dirinya, sedikit terkekeh (tertawa) mendengar ada yang mengeklaim bahwa Kepulauan Riau masuk ke Negara Malaysia. Dari sejarah dan faktanya, pusat kerajaan Melayu berada di Kepulauan Riau.

Topik Menarik