Rahasia Keberhasilan Sistem Pengembalian Barang Hilang dan Tertinggal di Jepang

Rahasia Keberhasilan Sistem Pengembalian Barang Hilang dan Tertinggal di Jepang

Global | koran-jakarta.com | Sabtu, 26 Februari 2022 - 05:01
share

Jepang punya sistem pelaporan serta penampungan barang hilang dan tertinggal yang efisien, yang membuat kehilangan barang menjadi nyaris mustahil. Sistem itu membuat warganya hampir mustahil benar-benar kehilangan barang. Padahal setiap tahun, jutaan barang hilang dan tertinggal di Jepang.

Tidak seperti di negara-negara lain, di Jepang kemungkinan besar Anda akan mendapatkan lagi ponsel atau dompet yang hilang. Semua barang hilang dan tertinggal disimpan di Tokyo, tepatnya di Pusat Penampungan Barang Hilang dan Tertinggal Lostabashi.

Pada 2019, jumlah barang hilang yang dikirim ke tempat ini mencapai rekor, yaitu 4,15 juta benda. Saat ini, lokasi tersebut menyimpan lebih dari 600.000 barang hilang.

Yukiko Igarashi, kepala Pusat Barang Hilang dan Tertinggal di Tokyo, mengatakan ada sekitar 7.700 barang yang dikirim ke tempatnya setiap hari. "Sebanyak 20 persen barang hilang di Jepang berada di Tokyo," kata Yukiko.

Adapun barang yang paling cepat dijemput pemiliknya adalah telepon seluler. "Sekitar 90 persen ponsel yang hilang dikembalikan ke pemiliknya," ungkap Yukiko.

Barang kedua paling cepat dikembalikan adalah dompet dengan persentase hampir 70 persen. "Satu benda lainnya yang jamak hilang adalah dokumen-dokumen resmi, seperti surat izin mengemudi, kartu asuransi kesehatan, kartu kredit atau kartu diskon," imbuh dia.

Sebagian besar barang dikembalikan ke pemiliknya pada hari yang sama ketika benda itu hilang. Meski demikian, ada pula barang yang diabaikan pemiliknya.

"Barang yang paling jarang dijemput pemiliknya adalah payung, kurang dari 1 persen. Orang dengan mudah membeli lagi payung plastik murah sehingga orang jarang mencarinya," papar Yukiko.

Namun, apa rahasia kesuksesan sistem pengembalian barang hilang dan tertinggal di Jepang?

"Semua barang hilang pada dasarnya diserahkan ke \'Koban\' atau kantor polisi," kata Yukiko.

"Tugas polisi di Koban mencakup patroli area, menerima barang hilang, dan mengisi laporan barang hilang," kata petugas polisi bernama Wada yang bertugas di kantor polisi Sukiyabashi.

"Kepolisian juga mengurus orang yang tersasar atau mabuk, mendengarkan laporan warga soal beragam hal yang bisa menimbulkan masalah, dan menangani kecelakaan atau pelaku tindak kriminal," imbuh Wada.

Petugas di Koban juga menampilkan gambaran berbeda jika dibandingkan dengan polisi-polisi di tempat lain. Pendekatan berbasis komunitas dan keberadaan Koban yang mudah dijangkau membuat warga dapat dengan mudah melaporkan barang hilang dan tertinggal.

"Rata-rata kami menerima tujuh barang hilang sehari di Koban Sukiyabashi," kata Wada.

Lalu apa yang terjadi jika tidak ada seorang pun mengklaim barang hilang? "Jika pemilik tidak muncul dalam waktu tertentu (di Koban), barang itu akan dikirim ke Pusat (Penampungan Barang Hilang dan Tertinggal)," kata Yukiko.

Kemudian, jika tidak ada orang yang mengambil barang itu di Pusat Barang Hilang dan Tertinggal, orang yang pertama kali menyerahkan ke Koban bisa mengklaimnya setelah tiga bulan. Namun jika orang itu memilih tidak ingin mengambilnya, kepemilikan bisa diputuskan oleh pemerintah kota melalui lelang.

"Benda yang paling saya ingat adalah amplop berisi uang tunai sebesar 8.800 dollar AS (126,5 juta rupiah) yang diserahkan ke saya," kata petugas Wada. "Saya amat kaget waktu itu!" seru dia.

Yukiko mengatakan bukan hal aneh menemukan uang tunai seperti yang dilaporkan kepada polisi. "Bagi saya, benda yang paling saya ingat adalah gigi palsu dan tongkat berjalan. Saya heran, bagaimana pemiliknya bisa pulang ke rumah tanpa benda-benda itu? Ada begitu banyak barang unik yang hilang!" ungkap dia.

Konsep "Hitono-Me"

Sistem pelaporan dan penampungan barang hilang dan tertinggal di Jepang memang efisien. Akan tetapi, prosesnya tidak akan mungkin bisa berjalan tanpa kedisiplinan warga Jepang itu sendiri.

"Selama lebih dari 1.000 tahun, Jepang punya hukum mengenai barang hilang," jelas Yukiko. "Saya pribadi meyakini bahwa pendidikan moral Jepang memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku kami terhadap barang hilang," papar dia.

Sejak dini, anak-anak diajari bagaimana cara mengembalikan barang hilang. "Anda kerap melihat anak-anak menyerahkan barang hilang ke Koban bersama orang tua mereka, meskipun barang itu hanya koin 100 Yen (12.500 rupiah)," papar Yukiko.

Profesor Masahiro Tamura dari Universitas Kyoto Sangyo menengarai kali pertama warga Jepang berinteraksi dengan polisi dalam hidup mereka kemungkinan ketika mereka menyerahkan barang hilang ke Koban. "Ini menciptakan hubungan dekat dengan petugas polisi dan warga awam," ucap dia.

Konsep Jepang hitono-me yang berarti "mata masyarakat" adalah bagian penting dalam proses itu. Konsep ini mencegah orang-orang Jepang melakukan hal tercela, walaupun tidak ada polisi. "Moral diri kami kerap membantu kami memodifikasi perilaku kami. Tapi begitu pula dengan \'mata masyarakat\'," imbuh Profesor Tamura.

Menurut Profesor Tamura, masyarakat Jepang sangat peduli tentang bagaimana orang lain memandang perilaku mereka. Karenanya, perilaku dalam menangani barang hilang terkait dengan citra mereka di masyarakat.

"Karena itu, kekuatan pandangan masyarakat terhadap kami lebih besar ketimbang kekuasaan aparat publik," tambahnya. BBC/I-1