40 Persen Penduduk Dunia Belum Divaksinasi

40 Persen Penduduk Dunia Belum Divaksinasi

Global | koran-jakarta.com | Selasa, 15 Februari 2022 - 05:32
share

LONDON - Pekan ini, tercatat satu miliar dosis vaksin Covid-19 telah disumbangkan ke negara-negara yang kurang mampu. Angka ini mungkin tampak seperti tonggak baru yang menggembirakan.

Namun ternyata, 40 persen populasi dunia masih belum menerima vaksin Covid sama sekali. Padahal sudah 11 miliar vaksin Covid-19 diproduksi dan jumlah itu cukup untuk memvaksinasi setiap orang dewasa di dunia sebanyak dua kali.

"Bahkan sampai sekarang, lebih dari 70 persen vaksin diterima oleh negara-negara G20, yang berarti 175 negara lainnya ketinggalan," kata mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, yang sekarang berperan sebagai Duta Organisasi Kesehatan Dunia untuk pembiayaan kesehatan global.

Akibatnya, sebagian besar negara kaya telah memvaksinasi lebih dari 60 persen dari populasi mereka, sementara rata-rata di antara negara-negara berpenghasilan rendah hanya mencapai 10 persen penduduk.

Sementara itu, inisiatif Covax telah didirikan pada 2020 untuk memastikan akses vaksin yang setara. Tetapi pada paruh pertama tahun lalu, persaingan terhadap akses itu menjadi sangat ketat. Negara-negara kaya menuntut pesanan mereka dipenuhi terlebih dahulu.

Pada April 2021, Inggris meminta lima juta dosis AstraZeneca dari pabrik produksi di India. Tetapi pada pertengahan Mei, lebih dari 4.000 orang meninggal karena Covid-19 di India setiap hari. Kondisi itu mendorong India untuk menerapkan larangan ekspor.

Pasokan Tak Menentu

Covax kemudian kalah saing dalam prioritas antrean akses vaksin. Covax kemudian menjadi bergantung pada sumbangan dosis berlebih yang tidak dibutuhkan oleh negara-negara kaya. Tapi ini berarti pasokannya tidak menentu.

"Untuk pengiriman pertamanya tahun lalu, Kenya mengharapkan tiga juta dosis dan malah menerima 1,1 juta. Kemudian selama tiga bulan mereka tidak menerima apa pun," kata Dr Catherine Kyobutungi, dari Pusat Penelitian Kependudukan dan Kesehatan Afrika, yang berbasis di Nairobi.

Kenya harus mengubah rencana vaksinasinya beberapa kali untuk beradaptasi dengan pengiriman yang tidak dapat diprediksi. Dr Kyobutungi meyakini bahwa hal ini menyebabkan gangguan serius pada upaya vaksinasi negara itu.

"Ketika orang siap untuk divaksinasi, mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan vaksin mereka dan mereka ditolak. Siapa yang punya waktu untuk pergi ke tiga tempat berbeda untuk mendapatkan vaksin?" ungkap dia.

Pada Oktober dan November, sejumlah besar dosis akhirnya mulai diberikan. Namun selang beberapa bulan, jumlah orang yang divaksinasi di Kota Nairobi hanya mampu mencapai 40 persen. Banyak bagian pedesaan negara itu hanya mendekati 5 persen.

"Dan pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi bulan depan ketika sebagian dari dosis itu kedaluarsa? Kita mungkin akan kembali ke posisi semula," ungkap Kyobutungi.

Pada Januari, Uganda mengatakan harus memusnahkan 400.000 dari 500.000 dosis vaksin Moderna yang diterimanya, karena tidak mungkin untuk memberikannya sebelum tanggal kedaluwarsa. Nigeria menghancurkan satu juta dosis vaksin pada Desember, dan mengumumkan tidak akan lagi menerima dosis dengan sisa masa simpan yang pendek. Sekitar sepertiga dari satu miliar vaksin yang disumbangkan belum disuntikkan, tidak jelas berapa banyak yang terbuang.

Beberapa negara Afrika juga menjadi frustrasi saat berupaya membeli vaksin. Sama seperti yang terjadi pada vaksin Covax yang disumbangkan, pesanan sering gagal datang saat dibutuhkan. Sementara itu virus dibiarkan menyebar dan bermutasi.

Dr Kyobutungi mengatakan penting untuk bergerak cepat. "Menunggu sampai akhir tahun depan untuk memvaksinasi dunia tidak ada gunanya," ucap Kyobutungi. SB/BBC/N-3

Topik Menarik