China Banyak Menjebak Negara Miskin dengan Utang, Nilai Pinjamannya Ampun-ampunan!

China Banyak Menjebak Negara Miskin dengan Utang, Nilai Pinjamannya Ampun-ampunan!

Global | wartaekonomi | Jum'at, 7 Januari 2022 - 08:32
share

China menghadapi kritik atas praktik pinjamannya ke negara-negara miskin. China dituduh membuat "jebakan utang" terhadap negara-negara miskin dan berkembang.

China adalah salah satu negara kreditur tunggal terbesar di dunia. Pinjamannya ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah telah meningkat tiga kali lipat selama dekade terakhir, yaitu mencapai 170 miliar dolar AS pada akhir 2020.

Kepala badan intelijen luar negeri Inggris MI6, Richard Moore dalam suatu kesempatan seperti dilansir BBC, mengatakan, China menggunakan "jebakan utang" untuk mendapatkan pengaruh atas negara lain.

Jebakan utang yang dimaksud adalah Beijing memberikan pinjaman uang ke negara lain dengan jaminan aset utama. Jika negara yang bersangkutan tidak dapat membayar utang, maka mereka harus menyerahkan kendali atas aset utamanya.

Salah satu contoh yang sering dikutip oleh kritikus China adalah Sri Lanka, yang bertahun-tahun lalu memulai proyek pelabuhan besar-besaran di Hambantota dengan investasi China. Namun proyek miliaran dolar yang menggunakan pinjaman dan kontraktor dari China itu menjadi kontroversi, dan membuat Sri Lanka semakin terbebani dengan utang yang terus meningkat.

Pada 2017, Sri Lanka setuju untuk memberikan kepemilikan 70 persen saham pengendali kepada China Merchants di pelabuhan tersebut, dengan sewa 99 tahun sebagai imbalan atas investasi China lebih lanjut.

Contoh terbaru yaitu China memberikan pinjaman kepada Uganda dengan jaminan bandara internasional milik negara tersebut. Namun pihak Uganda membantah telah menggadaikan asetnya ke China.

Penelitian oleh AidData, sebuah badan pembangunan internasional di William & Mary University di AS, menemukan bahwa, setengah dari pinjaman Cina ke negara-negara berkembang tidak dilaporkan dalam statistik utang resmi.

Catatan pinjaman itu sering disimpan di neraca pemerintah, termasuk perusahaan milik negara, bank, usaha patungan atau lembaga swasta.

Menurut AidData, ada lebih dari 40 negara berpenghasilan rendah dan menengah yang berutang kepada China. Ukuran utang mereka lebih dari 10 persen, dari ukuran output ekonomi tahunan (PDB) mereka sebagai akibat dari "utang tersembunyi" ini.

Beberapa negara seperti Djibouti, Laos, Zambia, dan Kirgistan memiliki utang ke China yang setara dengan setidaknya 20 persen dari PDB tahunan mereka.

Sebagian besar utang ke China terkait dengan proyek infrastruktur besar seperti jalan, kereta api, dan pelabuhan. Termasuk industri pertambangan dan energi, di bawah Inisiatif Belt and Road oleh Presiden Cina Xi Jinping.

China tidak mempublikasikan catatan pinjaman luar negerinya, dan sebagian besar kontraknya mengandung klausul non-disclosure yang mencegah peminjam mengungkapkan isinya.

Profesor Lee Jones dari Queen Mary University of London, mengayakan, kerahasiaan seperti itu adalah praktik umum untuk kontrak pinjaman internasional.

"Perjanjian kerahasiaan sangat umum dalam pinjaman komersial internasional. Dan sebagian besar pembiayaan pembangunan China pada dasarnya adalah operasi komersial," ujar Jones, dilansir BBC, Kamis (6/1/2022).

China cenderung memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang lebih tinggi daripada pemerintah barat, yaitu 4 persen. Tingkat bunga tersebut sekitar empat kali lipat lebih tinggi dari pinjaman Bank Dunia atau negara individu seperti Prancis atau Jerman.

Selain itu, jangka waktu pembayaran yang diperlukan untuk pinjaman China umumnya lebih pendek yaitu kurang dari 10 tahun. Sementara pemberi pinjaman lainnya memiliki jangka waktu sekitar 28 tahun.

China biasanya mengharuskan peminjam untuk mempertahankan saldo kas minimum di rekening luar negeri, yang dapat diakses oleh pemberi pinjaman. Pendekatan ini, sangat jarang dilakukan oleh pemberi pinjaman dari negara-negara Barat.

"Jika peminjam gagal membayar utangnya. Cina dapat dengan mudah mendebit dana dari rekening [ini] tanpa harus menagih utang macet melalui proses peradilan," ujar Direktur Eksekutif AidData, Brad Parks.

Pihak China berulangkali membantah bahwa bantuan mereka digunakan sebagai alat politik untuk mengintervensi negarai lain. Bantuan itu diberikan sebagai bentuk itikad baik dari Beijing.

Topik Menarik